Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Kudus
Monday, January 2, 2012
Add Comment
|
[2] Menurut cerita tutur setempat di Sengguruh, suatu daerah di sebelah selatan Malang, sesudah kota Kerajaan Majapahit direbut oleh orang-orang Islam, kiranya seorang anak laki-laki Patih Majapahit, Raden Pramana, masih dapat bertahan untuk beberapa waktu di daerah pegunungan yang terpencit itu. Dalam buku-buku cerita di Jawa Tengah (serat kandha) ternyata Sengguruh, (Pa-)malang, dan Patih Gajah Mada (nama tradisional bagi para pemimpin pemerintahan pada zaman Majapahit akhir, dalam cerita tutur Jawa) disebut-sebut juga dalam hubungan ini. Akhirnya Raden Pramana terpaksa menyingkir juga, karena datangnya serangan oleh laskar Sultan Demak (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 61). Menurut satu cerita tutur Jawa, kiranya Brawijaya yang terakhir beserta penghuni keratonnya telah menyingkir ke Klungkung di Bali Selatan. Raja bawahan Bali di Klungkung itu agaknya (anak) menantunya; ia telah ikut berperang juga melawan orang-orang Islam. Sesudah mengalami kekalahan, raja Bali itu mengantarkan ayah mertuanya ke Bali. Cerita-cerita tutur Bali yang historis tidak memberitakan peristiwa ini. Pada paruh pertama abad ke-16, Gelgel merupakan kerajaan terpenting di Bali Selatan. Baru sesudah tahun 1687 Klungkung menjadi tempat kedudukan para dewa agung (Berg, "Traditie" dan Berg, "Gusti"). Jatuhnya Gelgel pada tahun 1687 dibenarkan oleh berita kontemporer dalam Daghregister. Mengingat hal itu, dapat diambil kesimpulan bahwa nama Klungkung baru sesudah tahun 1687 muncul dalam buku-buku cerita Jawa. Lain daripada itu, tidak adanya pemberitaan-pemberitaan cerita-cerita tutur Bali tentang nasib Brawijaya dengan keluarganya sesudah jatuhnya Majapahit cocok benar dengan berita Tome Pires tentang tidak berartinya maharaja "kafir" itu pada dasawarsa pertama abad ke-16, dan sesuai juga dengan cerita-cerita tutur, yang termuat pula dalam naskah-naskah Jawa, yang mengatakan bahwa Brawijaya musnah, "hilang" begitu saja. Sebaliknya, Gajah Mada sangat terkenal dalam cerita tutur Bali.
[3] Meskipun cerita-cerita Jawa tidak secara tegas memberitakan adanya harta yang melimpah-limpah yang ditemukan di Majapahit, boleh diduga bahwa harapan untuk dapat merampas isi istana-istana kerajaan dan tempat-tempat suci "kafir" di dalam kota kerajaan lama atau di sekitarnya merupakan satu di antara beberapa daya dorong, baik bagi barisan-barisan orang-orang alim maupun bagi para raja, untuk mengadakan serangkaian serangan. Majapahit bukan satu kota yang dikelilingi tembok, melainkan suatu kompleks yang terdiri dari sejumlah besar tempat tinggal raja-raja, pangeran-pangeran, dan orang-orang terkemuka, masing-masing dikelilingi tembok atau diperkuat dengan cara lain dan dikelilingi rumah-rumah sederhana sebagai tempat tinggal para abdi (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 528 dst.). Kompleks perkampungan ini, yang masing-masing terpisah oleh ladang atau sawah-sawah; memang sukar dipertahankan terhadap serangan musuh. Cerita-cerita Jawa masih menyimpan kenang-kenangan pada "mahkota Majapahit", yang berabad-abad kemudian telah menjadi milik raja-raja Mataram di Jawa Tengah. Ternyata, diberitakan juga bahwa raja Demak telah memerintahkan mengangkut balok-balok dari salah satu gedung penting di istana Majapahit ke ibu kotanya sendiri, untuk dipasang pada salah satu bangunan di Demak. Hal serupa itu telah diceritakan tentang Sunan Kudus dalam Serat Kandha. Agaknya ia telah menyuruh mengangkut pintu-pintu gerbang halaman muka Keraton Majapahit ke Kudus, untuk dijadikan pintu-pintu gerbang masjid. Tentu saja cerita-cerita ini mungkin dibuat-buat belaka, dengan maksud untuk menonjolkan kesinambungan Kerajaan Majapahit dengan kerajaan-kerajaan yang kemudian di Jawa. Tetapi cerita-cerita tersebut mungkin pula mengandung kebenaran. Yang dapat disebut lagi ialah bahwa cerita tutur Jawa Barat mencatat nama seorang ahli bangunan Majapahit, Kiai Sepet, yang mula-mula bekerja bagi Sultan Demak, dan kemudian, atas perintah Sultan, juga untuk Sunan Gunungjati di Cirebon. Di Cirebon atau di dekatnya ia telah membangun tempat permakaman bagi orang-orang suci yang beragama Islam. Kiai Sepet ini semula seorang abdi di keraton Majapahit yang dibawa ke Demak sebagai tawanan. Tidak mustahil bahwa sesudah runtuhnya kota kerajaan lama, para pemandu budaya (secara paksa) pergi ke Jawa Tengah dan Jawa Barat seperti halnya mereka yang telah pergi ke Bah bersama seluruh penghuni keraton.
[4] Perkawinan Paku Buwana III dengan seorang keturunan Sunan Kudus telah dipandang sebagai salah satu dari mata rantai yang menghubungkan keturunan raja Mataram di Jawa Tengah dan keturunan-keturunan orang-orang suci dalam aganna Islam. Dalam Pigeaud, Literature (jld. I, hlm. 150 dst., dan hlm. 171), dimuat catatan-catatan mengenai keturunan menurut garis Kanan (Panengen 'yang Islam, yang suci') dan yang menurut garis Kiri (Pangiwa ‘yang "kafir", yang heroik') bagi raja-raja Mataram.
[5] Ikatan antara guru dan murid diadakan hanya satu kali dan akan tetap ada selama hidup. Keyakinan ini dijunjung tinggi dalam banyak jemaah-kepercayaan; hubungan semacam itu ada pula dalam peradaban Jawa sebelum zaman Islam. Dalam hal ini mistik Islam sama sekali tidak mengajarkan barang baru. Nilai tinggi, yang terdapat pada ikatan antara guru dan murid, seperti yang dinyatakan dalam cerita-cerita babad Jawa yang dikutip dalam buku ini, ternyata sesuai dengan cerita tutur yang terkenal bahwa orang-orang suci itu adalah guru tasawuf, yang masing-masing mempunyai paham sendiri, yang juga merupakan inti ajaran mereka.
[6] Pada tahun yang sama, 1549 M. (1471 J.), waktu mihrab Masjid Kudus selesai dibuat, menurut cerita tutur Jawa, telah didirikan juga "keraton" sebagai tempat tinggal "raja imam" di Giri. Orang pasti bertanya-tanya dalam hati apakah persamaan waktu ini benar-benar hanya kebetulan. Pembunuhan terhadap Sunan Prawata telah memberikan pukulan berat terhadap kekuasaan duniawi keluarga raja Demak. Menurut satu cerita tutur Jawa, pembunuhnya - Aria Panangsang - melakukan perbuatan itu karena hasutan penasihat rohaninya, yaitu Sunan Kudus. Sudah jelas bahwa jatuhnya kekuasaan politik pemerintahan raja di pusat pasti telah memperlicin munculnya kekuasaan-kekuasaan yang setengah merdeka. Pemimpin-pemimpin rohani itu, yang menginginkan kekuasaan duniawi, dapat memanfaatkan kesempatan tadi untuk memperkuat kedudukan mereka, begitulah kiranya anggapan orang. Dapat diperkirakan, bangunan-bangunan yang mereka dirikan pada waktu itu dimaksudkan sebagai tanda akan bertambahnya kekuasaan mereka.
[7] Di antara nama-nama kota di Jawa nama Kudus, yang asalnya dari bahasa Arab, merupakan suatu keistimewaan. Memang ada cerita tutur Jawa yang menyamakan Demak dengan Mekkah, Kadilangu (tempat dimakamkannya Sunan Kalijaga) dengan Medinah (tempat dimakamkannya Nabi Muhammad saw) dan (mungkin) Pati dengan Mesir (Kairo), tetapi sepanjang diketahui orang kota-kota tersebut dalam kenyataannya tidak pernah disebut demikian.
[8] Tajug berarti "rumah-rumahan (di atas makam) dengan atap meruncing". Gaya bangunan ini agaknya dahulu kala telah mulai dipakai untuk tujuan-tujuan keramat. Berdasarkan pemikiran itu boleh diperkirakan bahwa tempat yang kelak akan diberi nama Kudus dahulu (sebelum zaman Islam) telah memiliki sifat kekeramatan tertentu. Nama Tajug terdapat dalam Serat Kandha, yang diikhtisarkan oleh Brandes (Brandes, Pararaton, hlm. 224-225) dan dalam Codex LOr no. 6379 (mungkin naskah yang berkesesuaian).
[9] Nama kota lain yang agaknya ada hubungannya dengan Tajug/Kudus ialah Undung atau Ngudung. Nama yang sesuai dengan nama tempat itu adalah sebutan yang diberikan kepada ayah Sunan Kudus, ulama yang memperoleh kemenangan yang memastikan atas laskar "kafir" raja Majapahit. Letak tempat itu belum diketahui. Tempat itu juga diberitakan dalam Codex LOr no. 6379. Pemberitaan dalam naskah itu, bahwa Pangeran Ngudung itu adalah anak Pangeran Ngampel, tidak dapat dipercaya. Menurut daftar keturunan pada Hikayat Hasanuddin, Pangeran Ngudung itu tiga generasi lebih muda dari Pangeran Ngampel; ia juga bukan keturunan langsung menurut garis lurus.
[10] Legenda setempat tentang Kudus terdapat dalam Solichin Salam, Kudus, dan dalarn sumbangan J. Knebel dalam Oudheidkundig Verslag (tahun 1910, hlm. 140-151). Pemberitaan Solichin Salam tentang Orang-orang Cina Islam itu sesuai dengan ccrita yang mengisahkan adanya tokoh-tokoh lain dari zaman Islam yang tertua di Jawa, yang keturunan Cina (Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Chinese"). Kiai Telingsing yang ditampilkan dalarn cerita Solichin Salam itu ada seorang pemahat kayu, yang akhirnya hilang dalarn Sungai Sun Ging(?). Perincian-perincian kejadian semacam ini tidak diceritakan oleh Knebel. Menurut cerita Knebel, ada empat orang bersaudara yang bemama Telingsing, yang ingin mendapat bantuan Sunan Kudus dalarn mengolah tanah mereka yang masih bera (tandus). Sunan Kudus (yang karena perselisihan dengan raja Demak tentang hari permulaan puasa telah meninggalkan Demak) dalam perjalanannya ke Ngampel (Surabaya) untuk minta nasihat kepada gurunya telah berjumpa dengan empat orang bersaudara itu. Sesudah ia kembali dari Ngampel (di sana ia mendapat gelar susuhunan). ia sebagai Sunan Kudus telah menetap bermukim bersama keempat orang bersaudara itu. Snouck Hurgronje telah menyatakan bahwa masalah yang tiap tahun lazim menjadi pangkal perselisihan di negeri-negeri Islam ialah penentuan hari permulaan bulan puasa itu. Sebagai contoh diceritakan Snouck Hurgronje terjadinya selisih paham antara seorang Sultan Aceh dari paruh kedua abad ke-16 dan Tuwan, seorang ahli agama di Bitay; akhimya ternyata bahwa ahli agama itulah yang benar. (Snouck Hurgronje, Atjehers, jil. II, hlm. 324).
Yang masih perlu diberitakan ialah tentang Kiai Cede dari Kudus, yang menurut legenda Jawa Tengah bagian selatan sebenarnya kakek Jaka Tarub, moyang bagi para pemimpin Sesela, yang mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja Mataram yang timbul kemudian (Meinsma, Babad, hlm. 36). Legenda ini mempunyai bagian-bagian yang menyerupai dongeng atau cerita mitos.
Kota Kudus yang diceritakan dalam legenda itu sukar disamakan dengan "Kota Suci" Islam itu, yang kiranya baru pada paruh pertama abad ke-16 mendapat nama demikian. Mungkin nama "Kudus" dalarn legenda itu hanya merupakan nama untuk suatu tanah asal segala asal dalam alam dewa-dewa. Atau mungkin juga nama Kudus yang baru kemudian muncul itu, dalam legenda secara anakronistis diberikan pada tempat kediaman seorang Kiai Gede, yang mestinya bernaama Kiai Gede Tajug atau Ngudung?
[11] Masalah bahwa para "kawula" dan "orang-orang tergadai" boleh jadi mempunyai kedudukan penting dalarn ekonomi di Jawa dalarn zaman sebelum Islam telah dibicarakan dalarn Pigeaud, Java jil. IV, hlm. 473 dst.). Tidak ada alasannya untuk berpendapat bahwa posisi para pekerja yang tergolong "orang-orang tergadai" telah berubah karena pengislaman golongan para penguasa. Pada abad ke-17, di bawah pemerintahan raja-raja Mataram, masih terdapat "kawula-kawula", yang menurut kenyataan harus dipandang sebagai pekerja-pekerja tidak bebas (Wertheim, Society, Bab 9). Di Kerajaan Demak, pada abad ke-16, hubungan-hubungan ekonomi dan kemasyarakatan di daerah pedesaan, kiranya hampir tidak ada bedanya dengan ikatan-ikatan yang kita dapati di daerah-daerah yang dahulu diperintah oleh maharaja "kafir" Majapahit.
[12] Para bekas pejuang "alim" ini kiranya menganggap dirinya sebagai "orang-orang merdeka" (apakah sebagian mereka semula sebelum mereka masuk Islam, mungkin merupakan "kawula" yang melarikan diri dari tuan-tuan "kafir" merdeka?). Dapat diduga bahwa "Orang-orang Alim ini", yang menganggap dirinya sebagai "petani bebas", telah mulai membuka ladang di daerah tanah tidak bertuan (mungkin dengan bantuan "kawula-kawula" yang telah mereka peroleh sendiri dalam peperangan melawan "orang-orang kalir"), di dekat "kota suci" tempat tinggal pemimpin mereka, yang disanjung-sanjungnya. Yang dapat dipermasalahkan ialah apakah menetapnya "Orang-orang Alim" bekas pejuang di sekitar "kota suci" di bawah pimpinan penghulu gagah berani yang telah menyingkir itu menyenangkan pula bagi Sultan Demak, karena dengan demikian ia terlepas dari kelompok-kelompok yang gelisah dan membahayakan kekuasaannya di dalarn kotanya sendiri, di sekitar Masjid suci (lihat juga cat. 65).
[13] Terus berlangsungnya gaya bangunan dari zaman sebelum Islam ke bangunan-bangunan Islam dari zaman Pesisir, yang dibangun atas perintah orang-orang suci Islam dan keturunan-keturunan mereka, dapat dibandingkan dengan terus hidupnya dan berkembangnya seni wayang dan seni gamelan dari zaman sebelum Islam, dan juga terus hidupnya seni sastra puisi Jawa (yang biasa disebut tembang "kecil") pada abad ke-16 dan ke-17, yang menurut cerita tutur Jawa disebabkan oleh kegiatan pelbagai tokoh wali. Cerita tutur ini telah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 245 dst. Menara Kudus dengan gaya bangunan Jawa dari zaman sebelum Islam merupakan bukti kecenderungan untuk bertahannya peradaban Jawa. Di bidang seni bangunan masih terdapat beberapa contoh lain lagi tentang bertahannya bentuk-bentuk sebelum zaman Islam dalam lingkungan masyarakat Islam: pintu-pintu gerbang pada tempat-tempat permakaman keramat Tembayat dan hiasan-hiasan pada makam-makam keramat di Giri/Gresik dan di Madura (aer Mata). Menurut Solichin Salam, kiranya ulama inilah "pencipta" tembang Mas Kumambang dan Mijil. Cerita tutur yang menghubungkan irama tembang "kecil" dengan orang-orang suci dalam agama Islam sudah dibicarakan juga dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 20 dst.
[14] Nama Ja'far Shadiq atau Ja'far Sidik terdapat beberapa kali lagi dalam naskah-naskah Jawa; tidak jelas apakah yang dimaksudkan itu orang yang sama. Dalam Djajadiningrat, Banten (hlm. 26) ayah orang suci Jumadi'l-Kubra disebut dengan nama itu, dan dalam Codex LOr, no. 1977 (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 53) orang yang bernama demikian juga dianggap sebagai penyusun karangan berbahasa Arab tentang penujuman. Kedua pemberitaan ini mungkin saja menyangkut orang yang sama (sebagai tokoh legenda?). Brandes (Pararaton, hlm. 22) menyebutkan seseorang dengan nama Ja'far Sidik dari Lemah Abang, yang melawan Majapahit. Mungkin juga Ja'far Sidik ini adalah Sunan Kudus yang pertama, yaitu pahlawan dalam pertempuran melawan Majapahit. Menurut cerita tutur yang lazim di kalangan orang Jawa, hubungan antara Sunan Kudus dan Lemah Abang hanyalah dalam hal tertentu saja, yaitu bahwa ia termasuk orang yang paling keras menentang ahli mistik Syekh Lemah Abang, yang akhirnya oleh sidang lengkap orangorang suci dihukum mati karena ajaran bid'ahnya.
[15] Giri, tempat kedudukan Sunan Giri, juga mempunyai dua masjid, seperti Kudus: kedua masjid itu telah dikunjungi oleh musafir-musafir Belanda pada abad ke-18 (Hoorn, Notitien; dan Rouffaer, "Encyclopaedie", hlm. 208). Keraton-keraton Surakarta dan Yogyakarta yang sekarang ini masing-masing juga mempunyai dua masjid: Masjid Besar di Alun-alun Utara dan Masjid Suranatan. Bangunan-bangunan itu ada persamaannya dengan bangunan-bangunan keramat bagi keluarga, yang di zaman sebelum Islam agaknya terdapat dekat tempat kediaman pribadi para raja dalam istananya.
[16] Kalimat-kalimatnya dalam bahasa Melayu berbunyi: "Hamzah Pansuri di dalam Mekkah, mencari Tuhan di bait at-Ka'bah/di Baros ka Kudus terlalu payah akhirnya dapat di dalam rumah". Baik penerbitnya (Doorenbos, Hamzah Pansuri, hlm. 45) maupun H. Kraemer telah menolak penafsiran yang sebenarnya dapat diterima juga bahwa penyair telah mengunjungi Yerusalem di Palestina. Namun, keduanya membenarkan perkiraan yang jauh lebih besar kemungkinannya, yaitu bahwa penyair tersebut telah datang di Jawa, di pusat keagamaan Islam, yang sangat terkenal di daerahnya. Syed Muhammad Naguib al-Attas juga menyebutkan Kudus dalam karangannya (Syed, Hamzah, hlm. 8). Menurut dia, "di dalam rumah" harus diartikan sesuai dengan ungkapan mistik: "(di) dalam hati sendiri".
[18] Dalam Pigeaud, Literature (jil. III di bawah "Kudus") telah disebutkan pelbagai tempat dalam kesusastraan Jawa yang memakai nama Kudus. Penting untuk disebutkan di sini ialah Codex LOr, no. 3050 (Pigeaud, Literature, jil.II, hlm 101): suatu karangan Jawa tentang pokok-pokok agama Islam ditulis dengan huruf Arab, yang menyebut Susuhunan Kudus sebagai tokoh paling utama di bidang itu. Agaknya ada kemungkinan bahwa naskah tersebut ditulis pada abad ke-17. Lain daripada itu dalam kisah "Cabolek" (abad ke-19) yang terkenal itu, yang mungkin disulam dengan cerita-cerita lama, tampil seorang kerib anom (katib muda: seorang pegawai masjid) dari Kudus dalam perdebatan melawan Haji Amad Mustakim dari Cabolek (di daerah Tuban) yang telah menyebarkan ajaran-ajaran ekstrem (lihat cat. 169). Dalam teks itu Amad Mustakim telah dibandingkan dengan Syekh Siti Jenar (yaitu Syekh Lemah Abang) dan Pangeran Panggung, yang telah dibakar di atas api unggun sebagai orang-orang bid'ah. Beberapa hal dapat dianggap sebagai petunjuk bahwa para ahli agama dari Kudus terkenal berpegang teguh pada ajaran agama, setidak-tidaknya tidak cenderung ekstrem ke mistik.
[19] Yang masih perlu disebutkan ialah bahwa kota Kudus itu pada paruh pertama abad ke-20 ini menjadi tersohor karena pabrik-pabrik "rokok (kelobot) kretek". Mulai berdirinya usaha orang Jawa yang khas ini (semula merupakan kerajinan rumah tangga) di kota "orang-orang alim" tentunya dapat dihubungkan dengan adanya masyarakat golongan menengah, yang kuat modalnya. Orang-orang alim Kudus itu telah mempunyai relasi atau memperluasnya, guna memborong tembakau dan kelobot, dengan jemaah-jemaah orang-orang alim yang sealiran, dengan orang-orang "kauman" di dusun-dusun, dan desa-desa di pelbagai daerah Jawa Tengah. Jumlah para haji di daerah-daerah ini pada abad ke-19 dan ke-20 amat besar dan sebagian anggota "Sarekat Islam" (permulaan abad ke-20) berasal dari orang-orang alim kaum menengah di kota-kota Pesisir lama di Jawa Tengah.
0 Response to "Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Kudus"
Post a Comment