Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Kudus






Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Kudus

V-1 Sejarah Kudus, Pangulu Rahmatu'llahi, saksi-imam
Pembicaraan sejarah Kudus memang sudah seharusnya ditempatkan di sini, karena keturunan yang diberi julukan sesuai dengan nama kota kecil ini, selama beberapa waktu -sebagai pemimpin agama - besar pengaruhnya terhadap jalannya sejarah. Tetapi tidak lama kemudian peranan mereka berakhir. Kekuasaan mereka berdasarkan pada wibawa rohani terhadap para jemaah orang alim. Pada suatu segi, mereka dapat dibandingkan dengan raja-raja Cirebon dan Giri-Gresik, yang memulai kegiatan mereka sebagai pemimpin agama, yang kemudian membentuk dinasti dan berhasil meraih kekuasaan politik yang cukup besar. Pada segi lain mereka dapat dibandingkan dengan para penguasa di Kajoran Tembayat di pedalaman, yang tidak memperoleh kesempatan mewujudkan kekuasaan duniawi mereka, akibat kebijaksanaan politik yang dilakukan raja-raja Mataram yang sangat berdekatan letaknya itu.[1] Pada Bab II-7, dalam pembicaraan tentang wibawa sebagai pelindung agama Islam yang telah diperoleh raja-raja Demak, telah diberitakan adanya daftar lima imam masjid suci, yang dimuat dalam Hikayat Hasanuddin di Banten. Imam yang kelima pada daftar itu adalah tokoh yang kemudian menjadi Sunan Kudus. Menurut Hikayat Hasanuddin, dinasti para khatib di masjid suci di Demak berasal dari Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta (Surabaya) dan anak perempuannya, Nyai Gede Pancuran; anak laki-lakinya, Sunan Bonang, konon adalah imam pertama. Dapat diterima bahwa keluarga Ngampel semula berasal dari Campa di Hindia Belakang.
Kecuali karena kealiman dan semangat menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah, keluarga Kudus ini berjasa karena salah seorang anggotanya telah menjadi pemuka yang telah mengorbankan hidupnya untuk berjihad melawan orang-orang kafir. "Syahid" ini ialah imam keempat; dalam Hikayat Hasanuddin ia diberi julukan Penghulu Rahmatullah di Undung atau Ngudung (mungkin sesuai dengan tempat tinggalnya).
Sejarah perjuangan orang-orang Islam Jawa Tengah melawan tentara maharaja Majapahit "kafir" yang terakhir, yang mungkin sekali telah berakhir pada tahun 1527 dengan direbutnya kota kerajaan tua itu, sudah dibicarakan pada Bab II-9 (tentang hubungan antara kerajaan Islam Demak dan kerajaan "kafir" itu). Di situ dikemukakan bahwa cerita-cerita Jawa yang paling dapat dipercaya mengenai zaman ini menggambarkan bahwa yang paling banyak berjasa dalam mencapai kemenangan ini ialah dua orang, seorang ayah dan anaknya; mereka pemimpin jemaah 'Orang Alim' yang ikut serta dalam pertempuran itu.
Dalam buku-buku cerita Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat laporan-laporan yang cukup panjang mengenai perang melawan Majapahit. Dalam buku Pararaton yang diterbitkan oleh Dr. Brandes (Brandes, Pararaton, hal. 227-228) dimuat ikhtisar versi yang panjang lebar. Sesudah meninggalnya wali yang tertua, Sunan Ngampel di Surabaya, "para santri" memutuskan untuk mengakhiri kekuasaan tertinggi raja "kafir" Majapahit, sekalipun Sunan Kalijaga menentangnya. Menurut dia, tidak pernah Brawijaya menghalangi umat Islam. Raja Bintara/ Demak juga belum menghentikan upeti (seba) ke Majapahit yang diwajibkan itu; ia masih merasa wajib menyatakan ketaatannya. Berbondong-bondong "para santri" di bawah pimpinan Pangeran Ngudung, imam Masjid Demak, dan 'pemimpin agama' lainnya bergerak untuk menyerang. Bupati Terung (keluarga raja Demak, tetapi ia sendiri bukan Islam) konon menghindarkan diri dari tugas yang telah dibebankan oleh maharaja kepadanya untuk memerangi kaum pemberontak. Patih Majapahit, Gajah Mada, sendirilah yang pertama-tama memukul mundur barisan orang-orang alim di Tuban.
Serangan yang kedua kiranya hanya dipimpin oleh Pangeran Ngudung; pemimpin agama lainnya rupa-rupanya menetapkan hanya anggota-anggota keluarga yang lebih muda untuk ikut bertempur. Kali ini barisan Majapahit dipimpin oleh para pembesar; kecuali Gajah Mada, ikut bertempur juga Aria Gugur, putra mahkota Majapahit, panca tanda Terung (yang pertama kali tidak hadir), Daya Ningrat (seorang raja bawahan dari Pengging), dan adipati Klungkung di Bali. Tetapi ada juga putra-putra maharaja dan keluarga lain, yang sudah masuk Islam; pangeran-pangeran ini konon tidak mau ikut campur.
Pertempuran yang menentukan ini telah terjadi di daerah Wirasaba (kira-kira Majagung sekarang), atau menurut versi lain, di tepi Sungai Sidayu. Dalam pertempuran ini Daya Ningrat dari Pengging gugur; tetapi orang Islam terpaksa mundur, waktu pemimpin pasukan mereka, Pangeran Ngudung, terbunuh oleh tusukan Adipati Terung. Jubah Antakusuma, yang konon pernah dikenakan oleh Rasullullah itu dan oleh ulama di Demak diterima dari angkasa, ternyata tidak bertuah. Jenazahnya diangkut kembali ke Demak oleh pengikut-pengikutnya untuk dimakamkan di sana.
Cerita panjang lebar dan jelas diromantisir tentang Penghulu Rahmatullah, pahlawan imam, terdapat dalam buku-buku cerita Jawa Tengah dan dalam bentuk beberapa versi kecuali dalam naskah yang diringkaskan oleh Brandes, juga dalam Serat Kandha yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda (Serat Kandha, hal. 322, dst.). Cerita tutur Jawa Barat yang terdapat dalam Babad Banten dan Babad Cerbon tidak sepanjang itu, tetapi di dalamnya diberikan kematian pemuka agama itu.
Dalam Sadjarah Banten kejadian di Jawa Timur ini dilukiskan sebagai peristiwa yang bertepatan waktu dengan perkawinan seorang putri Demak dengan seorang anggota keturunan pemimpin agama yang baru muncul di Cirebon. Penulis Banten ini mengira bahwa perkawinan ini terjadi antara Hasanuddin, Sultan Banten yang pertama putra raja Cirebon pertama, dan putri Sultan Tranggana dari Demak. Tetapi perkawinan ini menurut Hoesein Djajadiningrat (Djajadiningrat, Banten, hal. 115), baru terjadi pada tahun 1552, bertahun-tahun sesudah jatuhnya Majapahit. Mungkin juga dalam berita Banten itu perkawinan Hasanuddin dikelirukan dengan perkawinan ayahnya, Sunan Gunungjati dari Cirebon, dengan saudara perempuan raja Demak. Menurut cerita tutur Jawa Barat, perkawinan ini dilangsungkan kira-kira pada tahun 1524. Apabila pesta perkawinan di Keraton Demak ini memang sama tahun kejadiannya dengan pertempuran di Jawa Timur, yang mengakibatkan kematian Penghulu Rahmatu'llahi, maka perang para pejuang Islam demi agama melawan tentara maharaja itu berlangsung bertahun-tahun sebelum berakhir pada tahun 1527 dengan direbutnya Majapahit dan hilangnya Brawijaya yang terakhir.

V-2        Berdirinya Kota Kudus, "kota suci"
Menurut Hikayat Hasanuddin di Banten, imam keempat di Masjid Demak yang gugur di medan laga itu diganti oleh anaknya yang ditetapkan dalam jabatannya oleh Syekh Nurullah, yang kelak terkenal sebagai Sunan Gunungjati di Cirebon. Ini tidak mustahil, apabila kita pahami bahwa Sunan Gunungjati justru pada waktu yang sama telah menjadi ipar raja di Demak, hingga dalam kedudukan yang demikian itu ia dapat menyatakan pengaruhnya.
Penghulu muda di Demak inilah, menurut cerita tutur di Jawa Tengah, yang akhirnya dapat merebut kota kerajaan tua, Majapahit. la mencapai hasil gemilang itu terutama karena kekuatan gaibnya. Cerita yang bukan-bukan yang dimuat dalam buku-buku cerita Jawa Tengah inj menimbulkan dugaan bahwa kemudian orang sudah tidak ingat lagi akan fakta-fakta pertempuran-pertempuran itu sendiri karena memperhatikan kemenangan saja.[2]
Cerita tutur Jawa tersebut menampilkan banyak raja dari seluruh daerah, bahkan dari Palembang, dan semua "ulama". Sunan Giri konon telah memainkan peranan istimewa dengan keris ajaibnya. Cerita-cerita itu boleh dianggap pancaran daya angan-angan generasi penerus. Cerita-cerita itu juga bertentangan urutan waktunya; para sunan, dari Giri misalnya, baru mendapat kekuasaan dan kedudukan tinggi pada paruh kedua abad ke-16. Namun, mungkin sekali, raja Demak, setelah melihat bahwa serangan-serangan "para santri" yang penuh semangat tempur di Jawa Timur itu menggoyahkan kekuasaan maharaja Majapahit, ingin mengambil manfaat dari situasi untuk memperkaya diri dan memperluas wilayahnya.[3]
Dalam uraian di atas (Bab II-12) telah diberitakan, mungkin raja Islam itu sesudah jatuhnya ibu kota lama menanamkan kekuasaannya di bagian terbesar Jawa Timur dan Madura. Mungkin karena pengaruh Sunan Gunungjati, iparnya, pada waktu itu juga ia memakai gelar sultan (lihat Bab II-9).
Kemungkinan bahwa berkat sukses yang telah dicapainya dalam medan peperangan, kekuasaan penghulu Demak, yang pada waktu itu agaknya masih muda, menanjak sekali. Cerita-cerita Jawa tentang kebesaran dan tindakan-tindakan Sultan Kudus harus dianggap cerita tentang dia sendiri. Namanya disebut dalam Sadjarah Dalem, silsilah keturunan nenek moyang raja-raja Surakarta dari abad ke-19, berdasarkan sumber keterangan lama yang dapat dipercaya. la dianggap layak dicantumkan dalam buku itu, karena seorang putri keturunannya diperistri oleh Susuhunan Paku Buwana III di Surakarta (1749-1788). Sunan Kudus sendiri konon telah memperistri putri Kiai Gede Kali Podang (lebih lanjut tidak dikenal), putri bupati Terung yang sudah ditaklukkan dan telah masuk Islam (sebelumnya sudah disebutkan), dan putri Adipati Kanduruwan (mungkin masih kerabat Sultan Demak); karena itulah ia mempunyai hubungan darah dengan kalangan bangsawan pada zamannya.[4]
Sementara itu 'pemimpin rohani' yang berderajat tinggi dan penuh semangat tempur ini, yang diberi nama Sunan Kudus dalam cerita tutur Jawa Tengah, sesudah menyelesaikan tugas-tugas ketentaraan dalam perang melawan Majapahit pada tahun- 152'7, masih bertahun-tahun hidup di Demak sebagai penghulu masjid suci itu, hingga akhirnya ia mendirikan Kota Kudus, "kota suci", dan pindah sendiri ke kota itu. Menurut tambo, ia bertindak demikian karena timbulnya perselisihan dengan raja Demak, karena perbedaan pendapat mengenai permulaan bulan puasa.
Perselisihan dengan raja Demak, yang menyebabkan tokoh yang kelak bernama Sunan Kudus itu terpaksa angkat kaki dari Demak itu, karena alasan yang lebih dalam daripada sekadar salah paham tentang permulaan bulan puasa itu. Dapat diduga bahwa ada iri hati antara yang kelak bernama Sunan Kudus - yang di Demak menjadi penghulu Masjid Suci - dan Sunan Kalijaga yang dalam pemerintahan Pangeran Tranggana telah pindah ke Demak dari Cirebon. Sunan Kalijaga adalah seorang dari keturunan tinggi, yang bertalian darah dengan para penguasa di kota pelabuhan tua, Tuban. Rupanya, ia disenangi baik oleh yang kelak bernama Sunan Cirebon maupun oleh yang kelak disebut Sultan Tranggana di Demak. Sunan Kudus, seperti halnya dengan kerabatnya, Sunan Bonang, terutama adalah seorang ahli dan penyebar agama.
 Tambo Jawa Tengah memuat cerita yang menunjukkan adanya persaingan antara Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga itu. Pangeran Prawata, pengganti Sultan Tranggana di Demak, konon setelah mula-mula menjadi murid Sunan Kudus, kemudian mengakui Sunan Kalijaga sebagai gurunya. (Serat Kandha, hal. 466). Dalam buku babad yang kemudian (Meinsma, Babad, hal. 79-80) bahkan diceritakan bahwa Sunan Kudus telah menghasut, atau setidak-tidaknya telah memberi kuasa, muridnya yang paling dikasihi, Aria Panangsang di Jipang, untuk membunuh Pangeran Prawata yang pada waktu itu menjadi raja yang memerintah di Demak, karena dianggap suatu dosa besar menjadi murid pada dua guru sekaligus. Cerita-cerita ini ternyata berasal dari lingkungan "masyarakat orang-orang alim" atau masyarakat santri. Dapat dimengerti bahwa hal itu juga mencerminkan pandangan dan pendirian kelompok penganut Sunan Kudus.[5]
Akhirnya terdapat kemungkinan juga Sunan Kudus meninggalkan Demak karena keinginan untuk hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan, di luar lingkungan keraton (Demak). Sukar ditetapkan pada tahun berapa ia mengambil keputusan yang penting itu. Mungkin sekali itu terjadi beberapa tahun sebelum tahun 1549, tahun yang sesuai dengan tahun 956 Hijriah yang tahun pendiriannya dicantumkan di atas mihrab masjid besar di Kudus. Dapatlah dimengerti bahwa pembangunan masjid ini memerlukan waktu beberapa tahun, dan selain itu masjid itu bukan rumah ibadat pertama yang dipakai oleh ulama itu. Sebuah cerita Jawa (yang mungkin tidak sepenuhnya dapat dipercaya) menyatakan, Sunan Kalijaga datang dari Cirebon di Demak pada tahun 1543. Apabila dianggap benar bahwa penghulu Demak - juga karena rasa tidak senang terhadap Sunan Kalijaga - telah tergerak untuk pindah ke Kudus, maka tahun 1543 dapat dianggap sebagai batas perhitungan paling awal. Tahun itu masih berada dalam periode pemerintahan Sultan Tranggana yang pada tahun 1546 sudah wafat.[6]
Kudus (kata dalam bahasa Jawa untuk al-Quds, yaitu Baitulmukadis) ialah nama yang diberikan terhadap tempat itu, waktu tempat itu dinyatakan sebagai "tempat suci" oleh Sunan Kudus pertama, yang sebelumnya di Demak menjadi imam jemaah.[7] Nama yang lebih tua bagi tempat itu ialah Tajug.[8] Letaknya tidak begitu jauh di sebelah timur laut Demak, pada suatu jalan tua yang menuju ke timur. Tidak ada petunjuk bahwa pernah ada pelabuhan dagang di sana.[9]
Menurut legenda setempat, Mbah Kiai Telingsing-lah yang mula
mula menggarap tempat yang kemudian menjadi Kota Kudus. Beberapa orang menyebut dia seorang Cina Islam, namanya semula The Ling Sing. Adanya cerita-cerita yang demikian menunjukkan bahwa tempat itu sudah agak berarti, sebelum dijadikan "kota suci" oleh Sunan Kudus.[10]
Dari cerita setempat ini - mengenai menetapnya penghulu Demak yang menyingkir ke tengah-tengah kelompok kecil penduduk yang menghuni pedukuhan pada jalan lama menuju ke arah timur - dapat juga diambil kesimpulan bahwa yang kelak menjadi sunan di Kudus itu mula-mula memperoleh penghasilan dari tanah-tanah ladang di sekitarnya, yang diolah para pengikutnya. Boleh jadi ia sebagai panglima mempunyai kawula-kawula itu, yang semula milik para penguasa "kafir" di daerah Majapahit yang sudah ditaklukkannya.[11] Juga dapat dimengerti bahwa sebagian barisan santri, yang telah bertempur di bawah pimpinannya dalarn perang jihad melawan "orang-orang kafir" di Jawa Timur, merasa tertarik oleh pusat kehidupan Islam baru di "kota sucj" itu.[12] Anehnya, tidak ada pemberitaan dalarn cerita tutur Jawa tentang penghadiahan tanah oleh raja Demak kepada para ulama besar di Kudus. Sedangkan para ulama Kadilangu, yang termasitk keturunan Sunan Kalijaga (mungkin lawan Sunan Kudus), sepanjang masa hidup dari hasil tanah perladangan, yang telah dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak.
 "Kota Suci" Kudus Baitulmukadis sudah terkenal di Jawa dan bahkan di Nusantara sebagai pusat agama. Masjid besarnya diberi nama al-Manar atau al-Aqsa, seperti masjid suci di Baitulmukadis bagian Islam. Pengunjung-pengunjung Barat sudah sejak abad ke-17 (Antonio Hurdt, dalam ekspedisinya ke Kediri pada tahun 1678) mengagumi menara raksasanya, suatu bangunan yang kukuh tampan dan yang arsitekturnya jelas diilhami oleh candi-candi zaman pra-Islam. Penduduk "kota suci", Sunan Kudus dan "orang-orang santri"-nya, ternyata tidak merasa perlu memusnahkan segala sesuatu yang mengingatkan pada "kekafiran" zaman pra-Islam, atau melupakannya sama sekali.[13]

V-3        Para ulama besar di Kudus
Dalam cerita tutur Jawa, ulama Rahmatu'llahi dari Ngudung, penghulu Masjid Demak, kadang-kadang disebut juga Sunan Kudus, atau dicampuradukkan dengan dia. Sunan Kudus pertama yang sebenarnya ialah anaknya. Menurut cerita setempat (periksa: Solichin Salam, Kudus; Knebel, Babad Pasir; Rapporten, hal.150) Sunan ini konon bernama Ja'par Sidik. Pada mihrab masjid (dengan tahun yang sesuai dengan tahun 1549) disebutkan (menurut Solichin Salam) "al-qadhi Ja'far Shadiq" sebagai pendiri masjid.[14]
Peristiwa-peristiwa penting dalam riwayat hidup Sunan Kudus pertama, kemenangan dalam perang melawan Majapahit, dan pendirian "kota suci", sudah dibicarakan di bagian sebelum ini. Uraian tentang hal ini berdasarkan cerita-cerita atau catatan-catatan dalam karya-karya tulis Jawa saja. Berita-berita Portugis atau Belanda tentang sejarah Kudus dari abad ke-16 tidak ada. Juga yang berikut ini bersumberkan buku-buku cerita Jawa dan cerita babad.
 Dalam cerita tutur Jawa tampil Sunan Kudus sebagai penyebar agama yang ulung, yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Di samping kemenangan dalam Perang Majapahit, penaklukan Kebo Kenanga di Pengging, para Yang Dipertuan di Tingkir, Ngerang, dan Butuh di Jawa Tengah sebelah selatan (lihat Bab II-14), Sunan Kudus juga melakukan tindakan kekerasan terhadap guru mistik bid'ah Syekh Lemah Abang, yang akhirnya oleh Majelis Orang Suci dijatuhi hukuman mati. Yang dapat dibandingkan dengan peristiwa ini ialah cerita tutur tentang tindakannya yang penuh kekejaman terhadap Syekh Jangkung, yang sedianya akan dihukum mati, karena Syekh Jangkung berniat mendirikan masjid tanpa izin. Berkat usaha pembelaan Sunan Kalijaga, jiwa Jangkung masih dapat tertolong; sebagai gantinya salah seorang pengikutnya terpaksa menjalani hukuman itu. Karena itulah maka Syekh Jangkung mengikrarkan dendam abadi antara keturunannya dan keturunan Sunan Kudus (Hooykaas, "Djangkoeng"). Menurut cerita lain, seorang syekh lain, Syekh Maulana dari Krasak-Malang (dekat Kalinyamat), murid Sunan Gunungjati dari Cirebon, karena telah berani memberi malu dia dalam pertengkaran mengenai kebenaran mistik, konon juga dibunuh atas perintah Sunan Kudus (Rapporten, hal.168-175). Menurut cerita lain lagi, sebagai akibat kekuasaan Sunan Kudus yang luar biasa, Ki dan Ni Mulak, suami istri, murid-muridnya sendiri yang telah menjengkelkannya, telah berubah menjadi anjing-anjing hitam di dalam makam mereka (Codex LOr, No. 89912, koleksi Rinkes).
Terdapatnya bermacam-macam cerita tentang Sunan Kudus itu, walaupun sedikit sekali yang dapat dipercaya, menjadikan orang berpendapat bahwa Sunan Kudus telah menimbulkan kesan pada orang-orang sezaman dengan dia maupun yang hidup sesudahnya sebagai orang yang serba keras tindakannya dan sebagai penyebar agama yang ulung. Tidak dapat dikatakan bahwa semua ulama besar memiliki sifat-sifat semacam itu.
Menurut cerita Jawa Tengah yang kemudian, Sunan Kudus sebagai guru agama mempunyai hubungan yang amat erat dengan Aria Panangsang dari Jipang, sedang ia telah memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap Susuhunan Prawata dari Demak. Sebelumnya telah disebut cerita bahwa Aria Panangsang diberi kuasa oleh Sunan Kudus untuk membunuh Susuhunan. Menurut cerita lain (Serat Kandha, hal. 469), ia mau mendamaikan kembali Aria Panangsang dari Jipang dengan Jaka Tingkir yang kelak menjadi Sultan Pajang. Apa yang dituturkan sebagai contoh-contoh tindakan dalam perkembangan Kerajaan Demak adalah bukti bahwa ulama besar ini mempunyai kemauan dan perhatian terhadap masalah pemerintahan.
Di kotanya, Kudus, kecuali mendirikan masjid besar dari batu (dengan menaranya), ia membangun pula sebuah tempat kediaman yang megah bagi dirinya dan keluarganya. Lebih dahulu telah diberitakan bahwa keraton ini mempunyai masjid yang lebih kecil, yang sekarang bernama Masjid Suranata. Dapat diterima bahwa memiliki masjid sendiri dekat keraton pada abad ke-16 dan sesudahnya dipandang sebagai hak istimewa dan lambang kebesaran dan kewibawaan raja.[15]
Dalam karya tulis Melayu dan Jawa terdapat beberapa ungkapan yang menunjukkan bahwa di luar Jawa pun Kudus harum namanya sebagai pusat agama Islam. Meskipun Giri/Gresik dalam hal ini, lebih-lebih di Indonesia bagian timur, dianggap jauh lebih penting (ini akan dibicarakan pada Bab XI), Kudus dan Giri masih sebanding.
Pemberitaan Melayu tentang Kudus ditemukan dalam sajak-sajak Hamzah Pansuri, ulama-pengarang dari Sumatera Utara, yang diterbitkan oleh J. Doorenbos. Di situ dapat kita baca (Doorenbos, Hamzah Pansuri, hal. 45), bahwa sang pengarang mencari Tuhan secara berturut-turut di Mekkah, di Baros, dan di Kudus, tetapi akhirnya ia telah menemukan Tuhan di rumahnya sendiri. Hubungan antara ketiga nama kota ini perlu mendapat perhatian.[16] Dalam bahasa Jawa kisahnya terdapat dalam suatu syair tentang agama Islam, dalam bahasa Jawa-Sasak, dengan judul "Pangeran Sangu Pati".[17] Dalam sajak itu dibeda-bedakan tiga modalitas agama Islam (di Lombok): Jawa, Kudus atau Kampung, dan Arab atau Sembawa. Mungkin nama-nama ini ada kaitannya dengan daerah-daerah yang memasukkan agama Islam ke Lombok. Mungkin juga ada kaitannya dengan berbagai masjid kepunyaan para pembawa agama, seperti para pedagang-pelaut yang menetap di kota-kota pantai. Perlu diperhatikan disebutkannya Kudus, sebagai modalitas khusus, sesudah modalitas Jawa yang umum dan sudah dikenal itu (bagi pulau-pulau di sebelah timur kiranya yang dimaksud adalah Jawa Timur, Giri/Gresik, dan Surabaya).[18]

V- 4       Runtuhnya kekuasaan pemerintahan Kudus
Tidak mudah menetapkan dengan teliti kurun waktu berita-berita tersebut di atas ini menyangkut Kudus sebagai pusat agama. Yang diketahui dengan pasti tentang kronologi dinasti para ulama di Kudus itu hanya sedikit. Namun, masuk akal jika Kudus mencapai kejayaannya berkat jasa-jasa Sunan pertama, penyebar agama Islam yang gagah berani, dan berkat jasa-jasa ayahnya, seorang yang alim.
MenuIut Solichin Salam, kiranya sunan pertama telah meninggal pada tahun 1550 (Solichin Salam, Kudus), Sadjarah Dalem, silsilah keturunan raja-raja Mataram, menyebutkan tiga penguasa di Kudus, seorang sunan, seorang panembahan, dan seorang pangeran. Gelar yang kurang tinggi bagi yang kedua dan ketiga itu merupakan bukti berkurangnya kekuasaan pemerintahan, sesudah meninggalnya sunan pertama yang bersemangat itu. Kiranya dapat diperkirakan bahwa kemenangan Jaka Tingkir, Sultan Pajang, atas Aria Panangsang dari Jipang, murid tersayang Suntan Kudus, pada tahun 1549, sangat merugikan wibawa pemerintahan Kudus di Jawa Tengah.
 Menurut cerita Jawa, konon, seorang penguasa di Kudus (mungkin yang kedua itu, yaitu panembahan) telah memperistri putri dari Giri. Hubungan dengan keturunan sunan-sunan dari Giri/Gresik, yang pada paruh kedua abad ke-16 masa jayanya, mengandung kebenaran juga. Hal itu telah mewujudkan hubungan antara dua pusat keagamaan Islam yang penting di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sama sekali tidak diketahui tahun berapa panembahan dari Kudus (menurut Sadjarah Dalem) diganti oleh pangeran itu. Yang dapat dipercaya ialah bahwa bagi keturunan para penguasa di Kudus, seperti halnya juga bagi raja Demak terakhir yang setengah merdeka juga itu, ternyata 1588 merupakan tahun yang tidak menguntungkan. Kesultanan Pajang, yang didirikan oleh Jaka Tingkir, sebelumnya seorang abdi Keraton Demak, tampaknya pada perempat ketiga abad ke-16 telah memperlihatkan sikap bersahabat terhadap "para ulama" di Demak dan Kudus. Pada tahun 1588, karena meninggalnya Sultan, kekuasaan Pajang jatuh; Panembahan Senapati dari Mataram mulai memperluas daerahnya. Raja-raja dari Mataram, yang pada mulanya tidak mempunyai hubungan perkawinan atau apa pun dengan keturunan raja yang lebih tua di Pesisir, agaknya bertindak sangat keras di pusat-pusat peradaban Islam yang lebih tua di Pesisir. Lebih dahulu telah dikemukakan bahwa raja Demak yang terakhir telah melarikan diri karena terus didesak oleh Mataram, mula-mula ke Malaka, kemudian ke Banten. Masuk akal jika pangeran Kudus yang terakhir mencari perlindungan di Jawa Timur, mungkin pada sanak-saudaranya di Giri/Gresik, atau di Tuban, di kalangan mereka yang menghormati Sunan Bonang sebagai orang suci. Para sunan di Kudus masih mempunyai hubungan keluarga jauh dengan Sunan Bonang dan Sunan Ngampel Denta di Surabaya.
Di bawah kekuasaan raja-raja Mataram pada abad-abad ke-16, ke17, dan ke-18 ada hubungan pemerintahan antara Demak dan Kudus. Keduanya berada di bawah kekuasaan para penguasa Mataram. Walaupun berasal dari Mataram, beberapa di antara bupati itu dalam perang saudara di Mataram ikut menentang kekuasaan tertinggi di pusat, dan membantu para calon pengganti raja yang memberontak. Sekali bermukim di "daerah" mereka tampaknya terpengaruh oleh tradisi setempat yang berakar pada kejayaan masa lampau sebagai kerajaan merdeka. Pangeran Puger, paman Sultan Agung, sendiri diharuskan tinggal di Kudus ketika ternyata bahwa di Demak - tempat ia memerintah - ia dikhawatirkan akan memusatkan kekuasaan dan membahayakan pemerintah pusat (lihat Bab IlI-4).[19]
e-books a.mudjahid chudari




[1]       Sejarah Kajoran telah dibicarakan dalam Grad, "Kadjoran".
[2]       Menurut cerita tutur setempat di Sengguruh, suatu daerah di sebelah selatan Malang, sesudah kota Kerajaan Majapahit direbut oleh orang-orang Islam, kiranya seorang anak laki-laki Patih Majapahit, Raden Pramana, masih dapat bertahan untuk beberapa waktu di daerah pegunungan yang terpencit itu. Dalam buku-buku cerita di Jawa Tengah (serat kandha) ternyata Sengguruh, (Pa-)malang, dan Patih Gajah Mada (nama tradisional bagi para pemimpin pemerintahan pada zaman Majapahit akhir, dalam cerita tutur Jawa) disebut-sebut juga dalam hubungan ini. Akhirnya Raden Pramana terpaksa menyingkir juga, karena datangnya serangan oleh laskar Sultan Demak (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 61). Menurut satu cerita tutur Jawa, kiranya Brawijaya yang terakhir beserta penghuni keratonnya telah menyingkir ke Klungkung di Bali Selatan. Raja bawahan Bali di Klungkung itu agaknya (anak) menantunya; ia telah ikut berperang juga melawan orang-orang Islam. Sesudah mengalami kekalahan, raja Bali itu mengantarkan ayah mertuanya ke Bali. Cerita-cerita tutur Bali yang historis tidak memberitakan peristiwa ini. Pada paruh pertama abad ke-16, Gelgel merupakan kerajaan terpenting di Bali Selatan. Baru sesudah tahun 1687 Klungkung menjadi tempat kedudukan para dewa agung (Berg, "Traditie" dan Berg, "Gusti"). Jatuhnya Gelgel pada tahun 1687 dibenarkan oleh berita kontemporer dalam Daghregister. Mengingat hal itu, dapat diambil kesimpulan bahwa nama Klungkung baru sesudah tahun 1687 muncul dalam buku-buku cerita Jawa. Lain daripada itu, tidak adanya pemberitaan-pemberitaan cerita-cerita tutur Bali tentang nasib Brawijaya dengan keluarganya sesudah jatuhnya Majapahit cocok benar dengan berita Tome Pires tentang tidak berartinya maharaja "kafir" itu pada dasawarsa pertama abad ke-16, dan sesuai juga dengan cerita-cerita tutur, yang termuat pula dalam naskah-naskah Jawa, yang mengatakan bahwa Brawijaya musnah, "hilang" begitu saja. Sebaliknya, Gajah Mada sangat terkenal dalam cerita tutur Bali.
[3]       Meskipun cerita-cerita Jawa tidak secara tegas memberitakan adanya harta yang melimpah-limpah yang ditemukan di Majapahit, boleh diduga bahwa harapan untuk dapat merampas isi istana-istana kerajaan dan tempat-tempat suci "kafir" di dalam kota kerajaan lama atau di sekitarnya merupakan satu di antara beberapa daya dorong, baik bagi barisan-barisan orang-orang alim maupun bagi para raja, untuk mengadakan serangkaian serangan. Majapahit bukan satu kota yang dikelilingi tembok, melainkan suatu kompleks yang terdiri dari sejumlah besar tempat tinggal raja-raja, pangeran-pangeran, dan orang-orang terkemuka, masing-masing dikelilingi tembok atau diperkuat dengan cara lain dan dikelilingi rumah-rumah sederhana sebagai tempat tinggal para abdi (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 528 dst.). Kompleks perkampungan ini, yang masing-masing terpisah oleh ladang atau sawah-sawah; memang sukar dipertahankan terhadap serangan musuh. Cerita-cerita Jawa masih menyimpan kenang-kenangan pada "mahkota Majapahit", yang berabad-abad kemudian telah menjadi milik raja-raja Mataram di Jawa Tengah. Ternyata, diberitakan juga bahwa raja Demak telah memerintahkan mengangkut balok-balok dari salah satu gedung penting di istana Majapahit ke ibu kotanya sendiri, untuk dipasang pada salah satu bangunan di Demak. Hal serupa itu telah diceritakan tentang Sunan Kudus dalam Serat Kandha. Agaknya ia telah menyuruh mengangkut pintu-pintu gerbang halaman muka Keraton Majapahit ke Kudus, untuk dijadikan pintu-pintu gerbang masjid. Tentu saja cerita-cerita ini mungkin dibuat-buat belaka, dengan maksud untuk menonjolkan kesinambungan Kerajaan Majapahit dengan kerajaan-kerajaan yang kemudian di Jawa. Tetapi cerita-cerita tersebut mungkin pula mengandung kebenaran. Yang dapat disebut lagi ialah bahwa cerita tutur Jawa Barat mencatat nama seorang ahli bangunan Majapahit, Kiai Sepet, yang mula-mula bekerja bagi Sultan Demak, dan kemudian, atas perintah Sultan, juga untuk Sunan Gunungjati di Cirebon. Di Cirebon atau di dekatnya ia telah membangun tempat permakaman bagi orang-orang suci yang beragama Islam. Kiai Sepet ini semula seorang abdi di keraton Majapahit yang dibawa ke Demak sebagai tawanan. Tidak mustahil bahwa sesudah runtuhnya kota kerajaan lama, para pemandu budaya (secara paksa) pergi ke Jawa Tengah dan Jawa Barat seperti halnya mereka yang telah pergi ke Bah bersama seluruh penghuni keraton.
[4]       Perkawinan Paku Buwana III dengan seorang keturunan Sunan Kudus telah dipandang sebagai salah satu dari mata rantai yang menghubungkan keturunan raja Mataram di Jawa Tengah dan keturunan-keturunan orang-orang suci dalam aganna Islam. Dalam Pigeaud, Literature (jld. I, hlm. 150 dst., dan hlm. 171), dimuat catatan-catatan mengenai keturunan menurut garis Kanan (Panengen 'yang Islam, yang suci') dan yang menurut garis Kiri (Pangiwa  ‘yang "kafir", yang heroik') bagi raja-raja Mataram.
[5]       Ikatan antara guru dan murid diadakan hanya satu kali dan akan tetap ada selama hidup. Keyakinan ini dijunjung tinggi dalam banyak jemaah-kepercayaan; hubungan semacam itu ada pula dalam peradaban Jawa sebelum zaman Islam. Dalam hal ini mistik Islam sama sekali tidak mengajarkan barang baru. Nilai tinggi, yang terdapat pada ikatan antara guru dan murid, seperti yang dinyatakan dalam cerita-cerita babad Jawa yang dikutip dalam buku ini, ternyata sesuai dengan cerita tutur yang terkenal bahwa orang-orang suci itu adalah guru tasawuf, yang masing-masing mempunyai paham sendiri, yang juga merupakan inti ajaran mereka.
[6]       Pada tahun yang sama, 1549 M. (1471 J.), waktu mihrab Masjid Kudus selesai dibuat, menurut cerita tutur Jawa, telah didirikan juga "keraton" sebagai tempat tinggal "raja imam" di Giri. Orang pasti bertanya-tanya dalam hati apakah persamaan waktu ini benar-benar hanya kebetulan. Pembunuhan terhadap Sunan Prawata telah memberikan pukulan berat terhadap kekuasaan duniawi keluarga raja Demak. Menurut satu cerita tutur Jawa, pembunuhnya - Aria Panangsang - melakukan perbuatan itu karena hasutan penasihat rohaninya, yaitu Sunan Kudus. Sudah jelas bahwa jatuhnya kekuasaan politik pemerintahan raja di pusat pasti telah memperlicin munculnya kekuasaan-kekuasaan yang setengah merdeka. Pemimpin-pemimpin rohani itu, yang menginginkan kekuasaan duniawi, dapat memanfaatkan kesempatan tadi untuk memperkuat kedudukan mereka, begitulah kiranya anggapan orang. Dapat diperkirakan, bangunan-bangunan yang mereka dirikan pada waktu itu dimaksudkan sebagai tanda akan bertambahnya kekuasaan mereka.
[7]       Di antara nama-nama kota di Jawa nama Kudus, yang asalnya dari bahasa Arab, merupakan suatu keistimewaan. Memang ada cerita tutur Jawa yang menyamakan Demak dengan Mekkah, Kadilangu (tempat dimakamkannya Sunan Kalijaga) dengan Medinah (tempat dimakamkannya Nabi Muhammad saw) dan (mungkin) Pati dengan Mesir (Kairo), tetapi sepanjang diketahui orang kota-kota tersebut dalam kenyataannya tidak pernah disebut demikian.
[8]       Tajug berarti "rumah-rumahan (di atas makam) dengan atap meruncing". Gaya bangunan ini agaknya dahulu kala telah mulai dipakai untuk tujuan-tujuan keramat. Berdasarkan pemikiran itu boleh diperkirakan bahwa tempat yang kelak akan diberi nama Kudus dahulu (sebelum zaman Islam) telah memiliki sifat kekeramatan tertentu. Nama Tajug terdapat dalam Serat Kandha, yang diikhtisarkan oleh Brandes (Brandes, Pararaton, hlm. 224-225) dan dalam Codex LOr no. 6379 (mungkin naskah yang berkesesuaian).
[9]       Nama kota lain yang agaknya ada hubungannya dengan Tajug/Kudus ialah Undung atau Ngudung. Nama yang sesuai dengan nama tempat itu adalah sebutan yang diberikan kepada ayah Sunan Kudus, ulama yang memperoleh kemenangan yang memastikan atas laskar "kafir" raja Majapahit. Letak tempat itu belum diketahui. Tempat itu juga diberitakan dalam Codex LOr no. 6379. Pemberitaan dalam naskah itu, bahwa Pangeran Ngudung itu adalah anak Pangeran Ngampel, tidak dapat dipercaya. Menurut daftar keturunan pada Hikayat Hasanuddin, Pangeran Ngudung itu tiga generasi lebih muda dari Pangeran Ngampel; ia juga bukan keturunan langsung menurut garis lurus.
[10]     Legenda setempat tentang Kudus terdapat dalam Solichin Salam, Kudus, dan dalarn sumbangan J. Knebel dalam Oudheidkundig Verslag (tahun 1910, hlm. 140-151). Pemberitaan Solichin Salam tentang Orang-orang Cina Islam itu sesuai dengan ccrita yang mengisahkan adanya tokoh-tokoh lain dari zaman Islam yang tertua di Jawa, yang keturunan Cina (Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Chinese"). Kiai Telingsing yang ditampilkan dalarn cerita Solichin Salam itu ada seorang pemahat kayu, yang akhirnya hilang dalarn Sungai Sun Ging(?). Perincian-perincian kejadian semacam ini tidak diceritakan oleh Knebel. Menurut cerita Knebel, ada empat orang bersaudara yang bemama Telingsing, yang ingin mendapat bantuan Sunan Kudus dalarn mengolah tanah mereka yang masih bera (tandus). Sunan Kudus (yang karena perselisihan dengan raja Demak tentang hari permulaan puasa telah meninggalkan Demak) dalam perjalanannya ke Ngampel (Surabaya) untuk minta nasihat kepada gurunya telah berjumpa dengan empat orang bersaudara itu. Sesudah ia kembali dari Ngampel (di sana ia mendapat gelar susuhunan). ia sebagai Sunan Kudus telah menetap bermukim bersama keempat orang bersaudara itu. Snouck Hurgronje telah menyatakan bahwa masalah yang tiap tahun lazim menjadi pangkal perselisihan di negeri-negeri Islam ialah penentuan hari permulaan bulan puasa itu. Sebagai contoh diceritakan Snouck Hurgronje terjadinya selisih paham antara seorang Sultan Aceh dari paruh kedua abad ke-16 dan Tuwan, seorang ahli agama di Bitay; akhimya ternyata bahwa ahli agama itulah yang benar. (Snouck Hurgronje, Atjehers, jil. II, hlm. 324).
Yang masih perlu diberitakan ialah tentang Kiai Cede dari Kudus, yang menurut legenda Jawa Tengah bagian selatan sebenarnya kakek Jaka Tarub, moyang bagi para pemimpin Sesela, yang mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja Mataram yang timbul kemudian (Meinsma, Babad, hlm. 36). Legenda ini mempunyai bagian-bagian yang menyerupai dongeng atau cerita mitos.
Kota Kudus yang diceritakan dalam legenda itu sukar disamakan dengan "Kota Suci" Islam itu, yang kiranya baru pada paruh pertama abad ke-16 mendapat nama demikian. Mungkin nama "Kudus" dalarn legenda itu hanya merupakan nama untuk suatu tanah asal segala asal dalam alam dewa-dewa. Atau mungkin juga nama Kudus yang baru kemudian muncul itu, dalam legenda secara anakronistis diberikan pada tempat kediaman seorang Kiai Gede, yang mestinya bernaama Kiai Gede Tajug atau Ngudung?
[11]     Masalah bahwa para "kawula" dan "orang-orang tergadai" boleh jadi mempunyai kedudukan penting dalarn ekonomi di Jawa dalarn zaman sebelum Islam telah dibicarakan dalarn Pigeaud, Java jil. IV, hlm. 473 dst.). Tidak ada alasannya untuk berpendapat bahwa posisi para pekerja yang tergolong "orang-orang tergadai" telah berubah karena pengislaman golongan para penguasa. Pada abad ke-17, di bawah pemerintahan raja-raja Mataram, masih terdapat "kawula-kawula", yang menurut kenyataan harus dipandang sebagai pekerja-pekerja tidak bebas (Wertheim, Society, Bab 9). Di Kerajaan Demak, pada abad ke-16, hubungan-hubungan ekonomi dan kemasyarakatan di daerah pedesaan, kiranya hampir tidak ada bedanya dengan ikatan-ikatan yang kita dapati di daerah-daerah yang dahulu diperintah oleh maharaja "kafir" Majapahit.
[12]     Para bekas pejuang "alim" ini kiranya menganggap dirinya sebagai "orang-orang merdeka" (apakah sebagian mereka semula sebelum mereka masuk Islam, mungkin merupakan "kawula" yang melarikan diri dari tuan-tuan "kafir" merdeka?). Dapat diduga bahwa "Orang-orang Alim ini", yang menganggap dirinya sebagai "petani bebas", telah mulai membuka ladang di daerah tanah tidak bertuan (mungkin dengan bantuan "kawula-kawula" yang telah mereka peroleh sendiri dalam peperangan melawan "orang-orang kalir"), di dekat "kota suci" tempat tinggal pemimpin mereka, yang disanjung-sanjungnya. Yang dapat dipermasalahkan ialah apakah menetapnya "Orang-orang Alim" bekas pejuang di sekitar "kota suci" di bawah pimpinan penghulu gagah berani yang telah menyingkir itu menyenangkan pula bagi Sultan Demak, karena dengan demikian ia terlepas dari kelompok-kelompok yang gelisah dan membahayakan kekuasaannya di dalarn kotanya sendiri, di sekitar Masjid suci (lihat juga cat. 65).
[13]     Terus berlangsungnya gaya bangunan dari zaman sebelum Islam ke bangunan-bangunan Islam dari zaman Pesisir, yang dibangun atas perintah orang-orang suci Islam dan keturunan-keturunan mereka, dapat dibandingkan dengan terus hidupnya dan berkembangnya seni wayang dan seni gamelan dari zaman sebelum Islam, dan juga terus hidupnya seni sastra puisi Jawa (yang biasa disebut tembang "kecil") pada abad ke-16 dan ke-17, yang menurut cerita tutur Jawa disebabkan oleh kegiatan pelbagai tokoh wali. Cerita tutur ini telah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 245 dst. Menara Kudus dengan gaya bangunan Jawa dari zaman sebelum Islam merupakan bukti kecenderungan untuk bertahannya peradaban Jawa. Di bidang seni bangunan masih terdapat beberapa contoh lain lagi tentang bertahannya bentuk-bentuk sebelum zaman Islam dalam lingkungan masyarakat Islam: pintu-pintu gerbang pada tempat-tempat permakaman keramat Tembayat dan hiasan-hiasan pada makam-makam keramat di Giri/Gresik dan di Madura (aer Mata). Menurut Solichin Salam, kiranya ulama inilah "pencipta" tembang Mas Kumambang dan Mijil. Cerita tutur yang menghubungkan irama tembang "kecil" dengan orang-orang suci dalam agama Islam sudah dibicarakan juga dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 20 dst.
[14]     Nama Ja'far Shadiq atau Ja'far Sidik terdapat beberapa kali lagi dalam naskah-naskah Jawa; tidak jelas apakah yang dimaksudkan itu orang yang sama. Dalam Djajadiningrat, Banten (hlm. 26) ayah orang suci Jumadi'l-Kubra disebut dengan nama itu, dan dalam Codex LOr, no. 1977 (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 53) orang yang bernama demikian juga dianggap sebagai penyusun karangan berbahasa Arab tentang penujuman. Kedua pemberitaan ini mungkin saja menyangkut orang yang sama (sebagai tokoh legenda?). Brandes (Pararaton, hlm. 22) menyebutkan seseorang dengan nama Ja'far Sidik dari Lemah Abang, yang melawan Majapahit. Mungkin juga Ja'far Sidik ini adalah Sunan Kudus yang pertama, yaitu pahlawan dalam pertempuran melawan Majapahit. Menurut cerita tutur yang lazim di kalangan orang Jawa, hubungan antara Sunan Kudus dan Lemah Abang hanyalah dalam hal tertentu saja, yaitu bahwa ia termasuk orang yang paling keras menentang ahli mistik Syekh Lemah Abang, yang akhirnya oleh sidang lengkap orangorang suci dihukum mati karena ajaran bid'ahnya.
[15]     Giri, tempat kedudukan Sunan Giri, juga mempunyai dua masjid, seperti Kudus: kedua masjid itu telah dikunjungi oleh musafir-musafir Belanda pada abad ke-18 (Hoorn, Notitien; dan Rouffaer, "Encyclopaedie", hlm. 208). Keraton-keraton Surakarta dan Yogyakarta yang sekarang ini masing-masing juga mempunyai dua masjid: Masjid Besar di Alun-alun Utara dan Masjid Suranatan. Bangunan-bangunan itu ada persamaannya dengan bangunan-bangunan keramat bagi keluarga, yang di zaman sebelum Islam agaknya terdapat dekat tempat kediaman pribadi para raja dalam istananya.
[16]     Kalimat-kalimatnya dalam bahasa Melayu berbunyi: "Hamzah Pansuri di dalam Mekkah, mencari Tuhan di bait at-Ka'bah/di Baros ka Kudus terlalu payah akhirnya dapat di dalam rumah". Baik penerbitnya (Doorenbos, Hamzah Pansuri, hlm. 45) maupun H. Kraemer telah menolak penafsiran yang sebenarnya dapat diterima juga bahwa penyair telah mengunjungi Yerusalem di Palestina. Namun, keduanya membenarkan perkiraan yang jauh lebih besar kemungkinannya, yaitu bahwa penyair tersebut telah datang di Jawa, di pusat keagamaan Islam, yang sangat terkenal di daerahnya. Syed Muhammad Naguib al-Attas juga menyebutkan Kudus dalam karangannya (Syed, Hamzah, hlm. 8). Menurut dia, "di dalam rumah" harus diartikan sesuai dengan ungkapan mistik: "(di) dalam hati sendiri".
[17]     Naskahnya tercantum dalam Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 629.
[18]     Dalam Pigeaud, Literature (jil. III di bawah "Kudus") telah disebutkan pelbagai tempat dalam kesusastraan Jawa yang memakai nama Kudus. Penting untuk disebutkan di sini ialah Codex LOr, no. 3050 (Pigeaud, Literature, jil.II, hlm 101): suatu karangan Jawa tentang pokok-pokok agama Islam ditulis dengan huruf Arab, yang menyebut Susuhunan Kudus sebagai tokoh paling utama di bidang itu. Agaknya ada kemungkinan bahwa naskah tersebut ditulis pada abad ke-17. Lain daripada itu dalam kisah "Cabolek" (abad ke-19) yang terkenal itu, yang mungkin disulam dengan cerita-cerita lama, tampil seorang kerib anom (katib muda: seorang pegawai masjid) dari Kudus dalam perdebatan melawan Haji Amad Mustakim dari Cabolek (di daerah Tuban) yang telah menyebarkan ajaran-ajaran ekstrem (lihat cat. 169).  Dalam teks itu Amad Mustakim telah dibandingkan dengan Syekh Siti Jenar (yaitu Syekh Lemah Abang) dan Pangeran Panggung, yang telah dibakar di atas api unggun sebagai orang-orang bid'ah. Beberapa hal dapat dianggap sebagai petunjuk bahwa para ahli agama dari Kudus terkenal berpegang teguh pada ajaran agama, setidak-tidaknya tidak cenderung ekstrem ke mistik.
[19]     Yang masih perlu disebutkan ialah bahwa kota Kudus itu pada paruh pertama abad ke-20 ini menjadi tersohor karena pabrik-pabrik "rokok (kelobot) kretek". Mulai berdirinya usaha orang Jawa yang khas ini (semula merupakan kerajinan rumah tangga) di kota "orang-orang alim" tentunya dapat dihubungkan dengan adanya masyarakat golongan menengah, yang kuat modalnya. Orang-orang alim Kudus itu telah mempunyai relasi atau memperluasnya, guna memborong tembakau dan kelobot, dengan jemaah-jemaah orang-orang alim yang sealiran, dengan orang-orang "kauman" di dusun-dusun, dan desa-desa di pelbagai daerah Jawa Tengah. Jumlah para haji di daerah-daerah ini pada abad ke-19 dan ke-20 amat besar dan sebagian anggota "Sarekat Islam" (permulaan abad ke-20) berasal dari orang-orang alim kaum menengah di kota-kota Pesisir lama di Jawa Tengah.

0 Response to "Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Kudus"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel