Sejarah Kerajaan Mataram pada Abad ke-16
Monday, January 2, 2012
Add Comment
|
[1] Bangunan keramat Borobudur di daerah Kedu mungkin (dengan sebutan Budur) telah disebutkan dalam sebuah daftar panjang berisi jemaah-jemaah keagamaan Tantra-Budha, yang dimuat dalam Nagara Kertagama, tembang 77 (Pigeaud, Java, jil. IV. hlm. 236-237).
[2] Ikhtisar dari buku cerita (serat kandha) yang berisi legenda-legenda tentang sejarah lama Jawa Tengah (Codex LOr, no. 6379, salinan Codex KBG, no. 7) telah dimuat dalam Pigeaud, Literature (jil. II, hlm. 359a sampai hlm. 361 a). Lihat juga Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah "Baka", "Kalang", "Prambanan", dan "Suwela Cala".
[3] Dalam Graaf, Senapati (hlm. 47-54),cerita-cerita tutur Jawa Barat dan Jawa Tengah tentang awal mula berdirinya Kerajaan Mataram, telah dibicarakan panjang lebar. Yang perlu disebutkan ialah bahwa Babad Tanah Djawi (Meinsma, Babad, hlm. 98-99) berkisah tentang Aria Mataram, yang kiranya adik tiri Aria Panangsang dari Jipang tidak seibu. la sebenarnya bermaksud mencegah niat kakaknya yang berdarah panas itu, ketika kakaknya tanpa bala bantuan cukup terjun ke medan pertempuran untuk menghadapi Sultan Pajang beserta pengikut-pengikutnya, yang telah menantang Aria Panangsang. Karena Aria Mataram merasa sangat dilukai hatinya oleh Aria Panangsang yang naik pitam itu, ia lalu mengundurkan diri dari Keraton Jipang, meskipun patih Jipang, Ki Matahun, telah berusaha mencegah niatnya itu. Kiranya ia telah pulang ke rumahnya (mantuk). Kelak tidak ada lagi berita tentang dia sama sekali. Bukanlah hal yang mustahil bahwa seorang pangeran muda dari keluarga raja Demak memakai nama gelar Aria Mataram. (Mengenai nama-name gelar bagi para pangeran lihat Bab III-3, Pangeran Kediri dari Demak). Sama sekali tidak ada kata-kata yang menyatakan bahwa ia secara nyata telah berkuasa di tanah Mataram, atau telah berkedudukan di sana. Mungkin setelah jatuhnya Aria Panangsang dari Jipang, raja Pajang telah mengira bahwa ia lebih baik mengangkat kepala pasukannya Ki Pamanahan sebagai Yang Dipertuan di Mataram, daripada mengangkat orang yang bergelar Aria itu, saudara pangeran yang memberontak itu, agar dengan jalan demikian bagi para pengikut keluarga raja Jipang tertutuplah kemungkinan untuk mendapatkan tempat bertahan untuk memulai gerakan-gerakan di Jawa Tengah sebelah selatan.
[4] Dalam Pigeaud, Java, (jil. IV, hlm. 87) telah dibicarakan kolonisasi (menurut dugaan) tanah-tanah Sadeng dan Keta di ujung timur Jawa pada 1313 M. di bawah pimpinan Panglima Gajah Mada, yang menguntungkan keluarga raja Majapahit. DI situ pula diminta perhatian untuk suatu rencana kolonisasi pada tahun 1387 M. sebagai bahan bandingan, yaitu pembangunan Karang Bogem di pantai utara Javia atas perintah Keraton Lasem, yang dikerjakan oleh seorang "kawula", orang "tidak merdeka", dari Gresik.
[5] Pertemuan dengan Yang Dipertuan di Karang Lo telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 49); lihat juga cat. 326 dan 327).
[6] Turunan-turunan Ki Gede Giring, penyadap nira (wong nderes) yang menjadi tokoh legenda itu, mungkin sejak dahulu telah mengadakan hubungan dengan kelompok rohaniwan di Tembayat, yang dibentuk oleh seorang berkedudukan tinggi di Semarang itu. Pemimpin-pemimpin rohani dari Tembayat dan Kajoran pada abad ke-17 telah dengan keras menentang kebijaksanaan politik raja-raja Mataram. Dalam Graaf, Senapati (hlm. 51 dst.) dan dalam Graaf "Kadjoran" sejarah Giring dan daerah-daerah suci yang serupa, telah dibicarakan. Menurut Padmasoesastra, Sadjarah (hlm. 119), seorang adik perempuan Panembahan Senapati Mataram diperistri Pangeran Agus dari Kajoran, dan salah seorang selir tertua Senapati sendiri kiranya berasal dari Giring. la menjadi ibu dari Panembahan Purbaya yang kemudian menjadi sangat terkenal itu, paman Sultan Agung dari Mataram (hlm. 121).
[7] Cerita mitos mengenai nenek moyang itu, Kandi Awan dan turunan-turunannya, telah dimuat ikhtisarnya dalam Pigeaud, Literature (jil. Il, hlm. 3596), berdasarkan Serat Kandha (Codex LOr, no. 6379).
[8] Dalam Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 361-362 di bawah "Ratu Lara Kidul" telah ditunjukkan teks-teks dalam bahasa Jawa yang berhubungan dengan dewi tersebut. Lihat juga Pigeaud, Volksvertoningen, hlm. 534.
[9] Dapat diperkirakan bahwa sejak zaman kuno telah ada tradisi untuk memuja Dewi Laut Selatan (Ratu Lara Kidul, Dewi Segara Kidul) di.dekat muara Sungai Opak. Dapat diperkirakan pula bahwa bangunan-bangunan suci Syekh Bela-belu dan Syekh Gagang Aking di tempat tersebut mempunyai kaitan dengan pemujaan itu (lihat cat. no. 343 dan 344). Mungkin penghormatan terhadap kekuasaan kedewaan di laut sudah hidup di dalam pikiran orang-orang Jawa pada zaman Kerajaan Majapahit. Hal itu mendapat perhatian dalam Pigeaud, Java, jil. IV, (hlm. 79 dst., komentar pada Nagara Kertagama, tembang 37-1; lihat juga jil V, hlm. 161b, di bawah "Ratu Lara Kidul").
[10] Kisah pertemuan Senapati dari Mataram dengan Ratu Lara Kidul di Segara Kidul (Laut Selatan) diceritakan dalam Meinsma, Babad (hlm. .139-143).
[11] Sajian-sajian ini disebut labuh. Sajian-sajian itu antara lain disebut dalam Pigeaud, Literature Oil. II, hlm. 378a, Codex LOr, no. 6437-3; dan hlm. 496a, Codex LOr, no. 8652f-3). Lihat juga Pigeaud, Literature (jil. III, hlm. 325a, di bawah "Offerings IV", dan cat. 353 berikut ini).
[12] Legenda Orang Suci Islam tentang Syekh Bela-Belu dan Syekh Gagang Aking disebutkan dalam Codex LOr, no. 8652d, suatu himpunan cerita-cerita rakyat Jawa Tengah sebelah selatan; lihat juga Pigeaud, Literature, (jil. III, hlm. 190a, di bawah "Beta-Belu"). Cerita tersebut juga diketengahkan dalam Akkeren, Shri and Christ.
[13] Teks-teks Jawa kuno mengenai kisah Bubuksa dan Gagang Aking telah dicantumkan dalam Pigeaud, Literature (jil. I, hlm. 71a). Rassers, "Ciwa" telah menunjukkan adanya persamaan yang mencolok antara legenda orang suci Islam dan cerita bernasihat Budha ini.
[14] Ikhtisar cerita-cerita tutur Jawa mengenai Ki Pamanahan dan nenek moyangnya terdapat dalam Brandes, Register (hlm. 10, di bawah "Nik" dan hlm. 69, "Pamanahan", dan dalam Djajadiningrat, Banten, hlm. 275-283).
[15] Dalam Graaf, Senapati (hlm. 44-48) cerita-cerita Jawa tentang pertempuran melawan Aria Panangsang dari Jipang dan sumbangan-sumbangan Ki Pamanahan dan Ki Panjawi telah dibandingkan. Sejarah Kerajaan Pati pada abad ke-16 telah dibicarakan dalam Bab IV buku ini.
[16] Berita-berita yang bersumberkan penulis-penulis Jawa dari Belanda mengenai hubungan antara keluarga raja Mataram dan tanah Sesela telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 8-15).
[17] Pembicaraan mengenai tahun-tahun kejadian yang menyangkut pemerintahan Ki Pamanahan di tanah Mataram telah dicantumkan dalam Graaf, Senapati, hlm. 54.
[18] Berita-berita mengenai tahun-tahun pertama pemerintahan Senapati Mataram dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 70-79). Mungkin nama gelar Senapati Ingalaga atau Surapati Ingalaga sudah dikenal orang di Keraton Majapahit pada permulaan abad ke-16. Ada kemungkinan bahwa adipati Islam di Terung yang terkenal itu telah menerima gelar itu dari patih Majapahit (lihat Bab XII-2 dan cat. 211).
[19] Dalam Graaf, Senapati (hlm. 76-77) telah disebutkan cerita-cerita tutur mengenai pembangunan tembok Kotagede. Dari cerita-cerita tutur itu dapat diambil kesimpulan bahwa pada perempat terakhir abad ke-16 itu tembok itu masih termasuk barang baru di Mataram. Sesudah raja Mataram yang masih muda itu pada tahun 1584 mulai mendirikan tembok itu berdasarkan petunjuk-petunjuk dari ulama besar Kadilangu, pada tahun 1592 atau 1593 benteng batu (Kuta Bacingah, dari bata putih dan merah) telah diselesaikan oleh Senapati dari Kediri (seorang pelarian dari pihak raja Surabaya); lihat Graaf, Senapati (hlm. 119-121). Keraton-keraton raja yang lebih tua di Jawa Timur dan di daerah-daerah di sepanjang pantai utara mungkin sudah jauh lebih dahulu memiliki tembok pengeliling. Jadi, mudah dimengerti bahwa pimpinan pembangunan tembok di Mataram diserahkan kepada orang-orang yang berasal dari pusat-pusat kebudayaan yang lebih tua. Pembangunan tembok di Cirebon, menurut anggapan yang dinyatakan dalam cerita tutur lawa, juga diserahkan kepada orang-orang yang berasal dari daerah-daerah yang letaknya lebih ke timur, Demak dan Majapahit (Graaf, Senapati, hlm. 115).
[20] Bagian cerita ini, yang berakhir dengan percobaan pembunuhan terhadap Senapati, dengan Yang Dipertuan Bocor sebagai pelakunya telah diberitakan pada cat. 319.
[21] Pertemuan dengan Dewi Segara Kidul dan pertemuan dengan penyadap nira dari Giring telah dibicarakan pada Bab XX-2.
[22] Batu datar di Lipura (tidak terlalu jauh di barat daya Yogyakarta) kiranya dalam cerita-cerita tutur Mataram merupakan pusat sakral tanah Mataram. Menurut cerita babad dari Lipura - sesudah mereka mendengar ramalan surgawi - Senapati mengikuti Sungai Opak ke arah hilir sungai, menuju ke tempat kediaman Dewi Segara Kidul, sedang pamannya sekaligus penasihatnya, Juru Martani, menuju ke arah utara, ke puncak Gunung Merapi, untuk menghubungi kekuatan adikodrati. Dalam Graaf, Senapati (hlm. 75) beberapa hal telah diberitakan tentang Lipura. Kiranya dapat diduga bahwa kesucian tempat tersebut pada abad ke-16 itu merupakan peninggalan dari penghormatan religius orang-orang Mataram "kafir" sebagai penduduk kuno, penghuni Mataram yang asli. Mengenai perjalanan Juru Martani ke Merapi, penulis cerita babad tidak menyebutkan hal-hal yang istimewa. Sajian-sajian untuk labuh, yang sudah biasa dilakukan atas perintah raja-raja Mataram sampai abad ke-20 ini di empat tempat di Jawa Tengah sebelah selatan (di Gunung Merapi, Gunung Lawu, di pantai selatan, dan di Dlepih), sudah dikemukakan pada cat. 342. Juru Martani, Dewi Segara Kidul, dan Lipura juga disebutkan dalam cerita-cerita yang bersifat legendaris Nitik Sultan Agung (Ketentuan-ketentuan Sultan Agung), dan Baron Sakender (Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 160-163).
[23] Adegan cerita mengenai pelanggaran Raden Pabelan dan perginya Tumenggung Mayang dari Pajang ke Mataram sudah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 80 dst.). Dalam Djajadiningrat, Banten, diberitakan adanya "putra Adipati Pajang", yang dengan rasa kecewa meninggalkan Pajang, dan telah diterima oleh Ki Gede Mataram sebagai menantu. Nama Mayang tidak disebutkan. Mungkin pangeran Pajang ini, yang kemudian menjadi ipar Senapati Mataram, dapat dianggap sama dengan tumenggung d Mayang yang ditampilkan dalam cerita babad itu. Berdasarkan kata-kata putra Dipati Pajang, Djajadiningrat (Banten, hlm. 29-30) dapat membenarkan bahwa ia (putra Dipati Pajang) termasuk keturunan mereka yang memerintah Pajang sebelum Jaka Tingkir. Menurut Sadjarah Banten, kiranya Jaka Tingkir - anak emas Sultan Demak - di Pajang telah menjadi pengganti seorang "Adipati " yang baru saja meninggal. "Adipati Pajang" tua yang dimaksud Sadjarah Banten ini mungkin dapat dianggap sama dengan Yang Dipertuan di Pengging yang dimaksud dalam cerita tutur Jawa Tengah. Nama Pengging tidak muncul dalam Sadjarah Banten. Jadi, kiranya Tumenggung Mayang, yang mencari perlindungan di Mataram itu, mungkin juga seorang keturunan keluarga raja Pengging.
[24] Cerita-cerita babad tentang "pertempuran dekat Prambanan" dan bermalamnya Sultan Pajang tua di Tembayat sudah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 82-87). Menurut Meinsma, Babad (hlm. 158), ada tiga menantu Sultan Pajang yang ikut bergerak melawan Mataram: adipati-adipati dari Demak, Tuban, dan Banten. Mengenai hubungan perkawinan antara keluarga raja Pajang dan Banten sama sekali tidak ada berita dalam cerita tutur Banten. Yang agaknya memang benar adalah bahwa raja dari Aros Baya (Madura Barat) telah memperistri seoradg putri dari Pajang.
[25] Dalam Graaf, Senapati, telah dicantumkan tinjauan-tinjauan mengenai meninggalnya Sultan Pajang-dan tentang juru taman, yang kiranya telah terlibat dalam peristiwa itu. Mungkin juru taman itu nama roh halus.
[26] Sejarah Kerajaan Pajang sesudah meninggalnya sultan tua sudah dibicarakan dalam Bab XIX-7 dan XIX-8.
[27] Runtuhnya kekuasaan politik keluarga raja Demak sudah dibicarakan dalam Bab III-3. Daerah Demak juga masih berkali-kali memberontak di bawah pemerintahan para penguasa yang diangkat oleh para raja Mataram. Pangeran Puger, kakak Panembahan Seda-ing-Krapyak, yaitu anak Senapati dan juga penggantinya pada tahun 1602 sebagai bawahan raja di Demak, telah membahayakan Kerajaan Mataram dengan usahanya mendekati raja Surabaya (Graaf, Sultan Agung, hlm. 3-9).
[29] Sejarah kota suci Kudus sudah diuraikan dalam Bab V. Buku Sadjarah Dalem (hlm. 45 dst.) berisi banyak pemberitaan tentang keluarga raja Kudus, karena anggota-anggotanya kemudian terjalin dalam hubungan-hubungan keluarga dengan keluarga raja Mataram dan dengan keturunan-kcturunan terkemuka lain.
[31] Dalam Graaf, Senapati (hlm. 114), telah dikemukakan keterangan-keterangan yang dikumpulkan dari daftar-daftar tahun peristiwa yang berhubungan dengan Jipang.
[33] Berita-berita para penulis Jawa dan Belanda mengenai kontak antara Keraton Cirebon dan Keraton Mataram pada abad ke-16 dihimpun dalam Graaf, Senapati (hlm. 114 dst.).
[34] Pertemuan raja-raja Jawa Timur di Giri pada tahun 1581 sudah dibicarakan pada Bab XI-5 dan dalam cat. 189 dan 190.
[35] Kisah ramalan Sunan Prapen dari Giri pada tahun 1589 dicantumkan dalam Bab XI-5 dan cat. 191. Hal itu juga dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 104 dst.).
[36] Dalam Graaf, Senapati (hlm. 107 dst.), hertempuran antara Mataram dan Madiun dibicarakan dengan panjang lebar.
[37] Sejarah Kerajaan Pati dalam puluhan tahun terakhir abad ke-16 telah diuraikan pada Bab IV-3 buku ini.
[38] Pertempuran antara Panembahan Senapati dari Mataram dan Ki Kaniten sudah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 112 dst.), dan pada Bab XV-4 buku ini. Pada tahun 1510 Kaniten sudah tertera pada daftar tahun peristiwa Jawa sebagai "kerajaan kecil" yang penting. Dapat timbul perkiraan bahwa Kaniten merupakan salah satu tempat yang sudah tua di daerah Madiun yang sekarang (Iihat Adam, "Madioen”).
[39] Babak tentang Senapati dari Kediri, yang mencari perlindungan di Keraton Mataram, telah dilukiskan dalam Graaf, Senapati (hlm. 117 dst.). Menurut Meinsma, Babad (hlm. 198), Senapati Kediri, adik Pangeran Mas dari Kediri, merasa dirinya dikesampingkan oleh raja Surabaya dalam pengangkatan pengganti sebagai bupati, waktu Pangeran Mas dari Kediri meninggal. Tentang sejarah Kerajaan Kediri pada abad ke-16 hanya sedikit diketahui. Pada Bab XI-5 dan Bab XIX-5 dicantumkan berita-berita tentang Kediri yang diperoleh dari daftar-daftar tahun peristiwa Jawa, yang mengenai tahun 1577 atau 1579. Mengingat hal tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa di daerah itu baru sejak tahun-tahun itu terdapat pemerintahan Islam yang kukuh. Dalam cerita tutur seorang raja Kediri juga disebutkan di antara raja-raja, yang pada tahun 1581 menghadiri pelantikan Sultan Pajang di Giri, dan juga di antara mereka, yang pada tahun 1589 di Japan (Mojokerto) telah menghentikan serangan Panembahan Senapati dari Mataram yang masih muda dan ingin memperluas kekuasaannya di Jawa Timur. Ada kemungkioan bahwa Pangeran Mas dari Kediri, yang pada tahun 1591 digantikan oleh Ratu Jalu, memang raja Kediri yang dimaksud itu.
Seorang adipati dari Pesagi dikatakan masih paman Senapati dari Kediri, dan tentunya juga paman Pangeran Mas yang sudah meninggal itu. Konon, dalam pertempuran dekat Uter pada tahun 1593-1594 Senapati (dari Kediri) dan adipati (dari Pesagi) itu, yang masing-masing bertempur pada pihak yang berlawanan, saling membunuh. Letak Pesagi tidak diketahui.
Mungkin Ratu Jalu itu namanya sesuai dengan Panjalu,' yaitu nama yang pada zaman sebelum Islam diberikan kepada bagian hulu sebelah barat dari kerajaan lama, yang letaknya di daerah aliran Sungai Brantas (Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 364, di bawah "Pangjalu" dan "Janggala"). Nama itu memang dianggap sebagai nama lain untuk Kediri. Gelar kuno ratu itu mungkin dapat menjadi petunjuk bahwa asalnya dari keturunan zaman dahulu.
[40] Aksi militer pada tahun 1593-1595 telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 121 dst.). Jatisari terletak dekat ibu kota Madiun. Letak Uter tidak dapat ditunjukkan dengan pasti. Mungkin yang dimaksud itu suatu tempat yang bernama Uter di daerah Wonogiri yang sekarang, di sebelah selatan Surakarta. Bukankah Senapati dari Kediri itu dimakamkan di Wedi, yang letaknya tidak terlalu jauh dari Uter? Apakah adipati Gending, salah satu dari pemimpin-pemimpin laskar Jawa Timur, berasal dari Gending di ujung timur Jawa (di sebelah timur Probolinggo) sulit ditentukan. Gending ini disebutkan pada Bab XVI-3.
[41] Serangan-serangan pasukan tentara Mataram terhadap Tuban sudah diberitakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 123 dst.). Sejarah Tuban pada perempat teralthir abad ke-16 sudah diuraikan pada Bab X-4.
[42] Jatuhnya Kalinyamat, ibu kota kerajaan lama Jepara, pada tahun 1599 sudah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 125 dst.), dan pada Bab VI-3 karangan ini. Pada tahun 1599 Ratu Kalinyamat yang tersohor itu sudah meninggal.
[43] Permusuhan antara raja Mataram dan raja Pati dan pertempuran dekat Sungai Dengkeng telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati, (hlm. 127). Sejarah Kerajaan Pati pada paruh kedua abad ke-16 sudah diuraikan pada Bab IV-3.
[44] Meninggalnya Panembahan Senapati pada tahun 1601 sudah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 128 dst.). Menurut Meinsma (Babad, hlm. 209), waktu ia meninggal, ia telah menjadi raja 3 tahun lamanya. Di sini mungkin perlu dibaca 13 tahun. Tahun 1588 merupakan tahun yang penting dalam sejarah perkembangan kekuasaan Mataram di Jawa Tengah. Pada tahun 1598 tidak banyak hal penting dilaporkan.
[45] Dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hlm. 132 dst.), terdapat sebuah daftar yang memuat nama para istri dan anak (termasuk yang meninggal waktu masih muda) Panembahan Senapati. Daftar-daftar para keluarga raja-raja Mataram ini mungkin berdasarkan catatan yang berasal dari tempat tinggal para istri raja di Keraton. Karena keterperinciannya, daftar-daftar ini memberikan kesan dapat dipercaya, juga dalam hal asal usul ibu-ibu para putra raja. Setidak-tidaknya, Sadjarah Dalem itu dalam hal kerumahtanggaan keraton zaman Mataram memberikan gambaran yang agak luas, khususnya mengenai harem. Karangan tersebut mengenai zaman-zaman yang lain, kurang dapat dipercaya.
[46] Tentang kehendak terakhir Panembahan Senapati dan pengukuhan anak laki-lakinya, Raden Mas Jolang, lihat Meinsma, Babad (hlm. 209).
[47] Bab I-7 buku ini memuat cerita tutur mengenai Sunan Kalijaga dan masjid suci itu. Dalam bab mengenai sejarah Kudus (Bab V-2 dan 3) diminta perhatian untuk sebuah cerita dalam babad Mataram tentang permusuhan antara pemimpin rohani dari Kudus dan Sunan Kalijaga pada pertengahan abad ke-16. Jaka Tingkir, dan (yang kemudian menjadi) Sultan Pajang, dan (yang kemudian menjadi) Yang Dipertuan dari Mataram, konon memilih Sunan Kalijaga sebagai pemimpin rohani mereka dan bukan Sunan Kudus. Perlu diperhatikan bahwa keturunan penguasa di Kadilangu, tempat tinggal Sunan Kalijaga, tidak tercantum dalam Sadjarah Dalem. Berdasarkan sedikitnya perhatian ini di pihak penyusun daftar keturunan Mataram tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa selama abad ke-17, 18, dan 19 tidak berlangsung hubungan perkawinan antara raja-raja Mataram dan keturunan Sunan Kalijaga, sebagaimana terjadi di kalangan keturunan pemimpin rohani dari Kudus.
[48] Schrieke, Studies, dan Soemarsaid, State, mengandung uraian penting mengenai Kerajaan Mataram pada abad ke-17, periode yang menyusul masa peralihan dari zaman "kekafiran" ke Islam, yaitu abad ke-15 dan ke-16, yang mendapat perhatian utama dalam buku ini. Schrieke, "Prolegomena" banyak memuat keterangan yang sebagian besar dikumpulkan dari karya-karya penulis Eropa sezaman. Lihat juga Schrieke, Ruler (khususnya bagian kedua). Berdasarkan pengetahuan yang luas mengenai keadaan politik dan ekonomi Kerajaan Mataram pada abad ke-l7, Schrieke berusaha menghubungkannya dengan zaman pra-Islam (Majapahit), bahkan dengan Kerajaan Mataram pertama. Akan tetapi dia belum memiliki data-data yang cukup untuk dapat menjelaskan bagaimana berlangsungnya perkembangan kebudayaan Jawa sejak Kerajaan Majapahit (abad ke-14) selama zaman kerajaan-kerajaan Pesisir yang lambat laun menjadi Islam dan selama zaman pemimpin-pemimpin rohani pada abad ke-15 hingga konsolidasi kekuasaan politik di daerah pedalaman di Jawa Tengah. Konsolidasi ini dilakukan oleh raja-raja Mataram pada abad ke-16. Kerajaan dan kebudayaan mereka dibangun dengan kekayaan yang mereka peroleh dari kerajaan Pesisir, yang ditaklukkan dan sebagian besar dimusnahkannya.
0 Response to "Sejarah Kerajaan Mataram pada Abad ke-16"
Post a Comment