Kesetaraan Antara Ikhtiar dan Pasrah
Saturday, November 2, 2013
Add Comment
Usaha dalam segala untuk mendapat sebuah hasil itu wajib. Ikhtiar
merupakan upaya bebas untuk mencari jalan yang terbaik. Tetapi hasil
dari usaha itu sendiri merupakan sebuah keputusan Allah secara mutlak.
Perihal ini penting kiranya untuk diperhatikan.
Pertama, segala
bentuk ikhtiar harus diniatkan semata karena menjalankan syariat. Kedua,
hasil dari segala bentuk upaya mesti diserahkan hanya kepada Allah.
Allah pasti memberikan yang layak bagi usaha hamba-Nya.
Kewajiban
ikhtiar dan kepasrahan hati kepada Allah merupakan titik keseimbangan
antara kemampuan dan keterbatasan manusia. Ajaran ahlussunah ini
menempatkan manusia dalam kodratnya. Manusia didorong untuk
memaksimalkan kemampuan pada dirinya di satu segi. Di lain segi, manusia
juga dipaksa menyadari keterbatasan dirinya.
Dengan demikian, ia menjadi optimis dalam kehidupan. Di lain sisi, ia juga tidak menyombongkan diri atas segala kemampuannya. Dari situ, ia telah menjalankan kewajiban ikhtiar tanpa mengesampingkan kehadiran Allah dalam dirinya.
Karenanya, seorang hamba perlu menyandarkan kepasrahan dirinya kepada Allah SWT semata. Ia tidak boleh berharap dan takut kepada siapapun selain Allah SWT. Dalam kitab Fahtul Majid, Syekh Nawawi Banten mengutip cerita pelajaran dari Nabi Musa As.
Suatu
hari, kata Syekh Nawawi, Nabi Musa As mengadukan derita sakit giginya
kepada Allah. Lalu Allah memerintahkan untuk mengambil beberapa helai
rumput di suatu tempat.
“Letakkan rumput itu pada gigimu yang nyeri,” kata Allah.
Seketika sakit giginya reda.
Setelah beberapa waktu berlalu, sakit giginya kembali kambuh. Tanpa mengadu kepada-Nya, Nabi Musa menuju padang rumput yang pernah didatangi beberapa masa silam. Lalu ia mengobati giginya dengan rumput seperti praktik yang pernah dilakukannya. Bukannya sembuh, sakit giginya semakin menjadi.
فقال إلهى ألست أمرتنى بهذا ودللتنى عليه فقال تعالى أنا الشافى وأنا المعافى وأنا الضار وأنا النافع قصدتنى فى المرة الأولى فأزلت مرضك والآن قصدت الحشيشة وما قصدتنى
“Nabi Musa As lalu bermunajat, ‘Tuhanku, bukankah Kau memerintahkanku dan menunjukkanku untuk ini?’ Lalu Allah Swt menjawab, ‘Akulah penyembuh. Akulah pemberi kebaikan. Akulah yang mendatangkan mudlarat. Aku pula yang mendatangkan kemaslahatan. Pada sakitmu yang pertama, kau mendatangi-Ku. Karenanya, Kusembuhkan penyakitmu. Tetapi kali ini, kau langsung mendatangi rumput itu, bukan mendatangi-Ku.’” Wallahu A’lam.
Related
Dengan demikian, ia menjadi optimis dalam kehidupan. Di lain sisi, ia juga tidak menyombongkan diri atas segala kemampuannya. Dari situ, ia telah menjalankan kewajiban ikhtiar tanpa mengesampingkan kehadiran Allah dalam dirinya.
Karenanya, seorang hamba perlu menyandarkan kepasrahan dirinya kepada Allah SWT semata. Ia tidak boleh berharap dan takut kepada siapapun selain Allah SWT. Dalam kitab Fahtul Majid, Syekh Nawawi Banten mengutip cerita pelajaran dari Nabi Musa As.
“Letakkan rumput itu pada gigimu yang nyeri,” kata Allah.
Seketika sakit giginya reda.
Setelah beberapa waktu berlalu, sakit giginya kembali kambuh. Tanpa mengadu kepada-Nya, Nabi Musa menuju padang rumput yang pernah didatangi beberapa masa silam. Lalu ia mengobati giginya dengan rumput seperti praktik yang pernah dilakukannya. Bukannya sembuh, sakit giginya semakin menjadi.
فقال إلهى ألست أمرتنى بهذا ودللتنى عليه فقال تعالى أنا الشافى وأنا المعافى وأنا الضار وأنا النافع قصدتنى فى المرة الأولى فأزلت مرضك والآن قصدت الحشيشة وما قصدتنى
“Nabi Musa As lalu bermunajat, ‘Tuhanku, bukankah Kau memerintahkanku dan menunjukkanku untuk ini?’ Lalu Allah Swt menjawab, ‘Akulah penyembuh. Akulah pemberi kebaikan. Akulah yang mendatangkan mudlarat. Aku pula yang mendatangkan kemaslahatan. Pada sakitmu yang pertama, kau mendatangi-Ku. Karenanya, Kusembuhkan penyakitmu. Tetapi kali ini, kau langsung mendatangi rumput itu, bukan mendatangi-Ku.’” Wallahu A’lam.
0 Response to "Kesetaraan Antara Ikhtiar dan Pasrah"
Post a Comment