Sejarah Madura Abad ke-16 Madura Timur, Sumenep dan Pamekasan






Sejarah Madura Abad ke-16 Madura Timur, Sumenep dan Pamekasan

XIV-1.    Berita-berita kuno tentang Madura Timur
Tentang Sumenep terdapat sebuah riwayat penting, yang berasal dari zaman sebelum Islam, yaitu zaman Majapahit. Sumenep merupakan daerah kekuasaan Wiraraja, yang juga bernama Banyak Wide, seorang raja bawahan raja Singasari yang terakhir pada dasawarsa terakhir abad ke-13. Ia memegang peranan yang menentukan dalam sejarah politik; bantuannyalah yang memungkinkan berdirinya kota kerajaan baru Majapahit, sesudah terjadi serangan penghancuran yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan laskar kaisar Cina-Mongolia, Kublai Khan. Untuk keperluan itu ia konon menyediakan tenaga kerja dari Madura. Raja Majapahit pertama - yang berkat bantuan dari Sumenep dapat naik tahta kerajaan - telah menghadiahkan daerah Lumajang di daerah ujung timur Jawa kepada Banyak Wide.[1] Memang dapat diperkirakan bahwa sudah sejak abad ke-14 terdapat hubungan antara Madura Timur dari daerah-daerah di daratan seberangnya.

XIV-2.    Madura Timur pada paruh pertama abad ke-16, lagenda dan sejarah
Dalam buku Tome Pires Suma 0riental, Sumenep sama sekali tidak diberitakan; sebenarnya seluruh Madura hanya ditempatkan pada lampiran buku itu. Mengingat hal itu, boleh diambil kesimpulan bahwa kerajaan-kerajaan Madura tidak berarti sama sekali bagi perdagangan internasional yang menjadi pokok perhatian penulis Portugis itu.
Sebaliknya, dalam cerita-cerita legenda Jawa dan Jawa Madura, Sumenep, di samping Madura Barat, mempunyai kedudukan yang cukup penting.
Dalam tambo Jawa dari abad ke-17 dan ke-18 mengenai Sumenep berkali-kali disebut seorang penguasa yang bernama Jaran Panolih atau Kuda Panolih. Seperti halnya Lembu Peteng dari Madura Barat, Jaran Panolih dari Sumenep juga mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga raja Majapahit.[2] Itu sesuai dengan nama-nama "lambang" mereka (lembu dan kuda).
Sadjarah Dalem memuat cerita panjang lebar yang agak kacau tentang raja-raja Sumenep, mungkin dikutip dari silsilah Jawa-Madura yang lebih tua. Di situ tertera nama-nama Aria Bribin dari Pamekasan, Kuda Panolih dari Sumenep dan patihnya Banyak Wide. Yang aneh ialah bahwa dalam cerita Jawa Timur itu muncul Adipati Kanduruwan yang konon anak raja Demak yang pertama (jadi orang Islam) dan pegawai Ratu Kumambang, ratu putri (Prabu Kenya) di Japan (Majapahit?). Sedikit banyak atas perintah tuan putrinya, Adipati Kanduruwan itu telah membunuh cucu Banyak Wide, yang karena perkawinannya telah menjadi raja Sumenep. Raja yang malang ini bernama Aria Wanabaya, dan sesudah meninggal bernama Pangeran Seda Puri.
Sampai jauh mana cerita tutur Jawa ini mempunyai dasar kebenaran tidak dapat diteliti lagi. Dapat diambil kesimpulan bahwa keturunan raja-raja Sumenep pada abad ke-15 dan ke-16 mempunyai hubungan dengan keluarga-keluarga bangsawan tinggi di Jawa Tengah.
Menurut cerita Sumenep, di kota itu di Kampung Masegit Barat, dekat masjid, di bagian barat, terdapat tempat tinggal Adipati Kanduruwan yang menggantikan Pangeran Seda Puri.[3] Menurut Sadjarah Dalem, kelak karena perkawinan, ia termasuk keturunan Jaran Panolih. Belum ada kepastian apakah Kanduruwan ini penguasa Islam yang pertama di Sumenep.[4]
 Tidak ada berita-berita jelas yang dapat menerangkan apakah Panembahan Lemah Duwur dari Aros Baya (Madura Barat), yang mempunyai hubungan kerabat dengan Sultan Pajang, juga berkuasa - atau mencoba untuk berkuasa - atas Sumenep. Sepanjang sejarah dapat ditinjau secara menyeluruh, tampaknya raja-raja Madura Barat dan raja-raja Madura Timur itu, kalaupun tidak bermusuhan, setidak-tidaknya memperlihatkan sikap yang tidak bersahabat.

XIV-3.    Madura Timur pada paruh kedua abad ke-16 dan paruh pertama abad ke-17, legenda dan sejarah
Menurut cerita setempat di Sumenep, makam tua yang bertarikh tahun Jawa 1504 (1582 M.) di Kampung Pasar Pajhingghaan di ibu kota itu adalah makam Adipati Kanduruwan. Andai kata diakui bahwa pangeran Jawa Tengah dari keluarga raja Demak ini memang telah berperan di Sumenep pada perempat kedua dan ketiga abad ke-16, tidak mustahil kalau ia meninggal pada tahun 1582, dalam usia yang lanjut. Menurut cerita tutur Jawa, ia adalah - sebagai saudara tidak seibu dengan Sultan Tranggana dari Demak - paman Sultan Pajang (menantu Tranggana). Mengingat hubungan keluarga yang demikian itu, dapat dipahami tidak diberitakan sikap bermusuhan raja-raja Sumenep dengan raja-raja Demak dan Pajang.
Menurut tradisi Sumenep setempat, Adipati Kanduruwan meninggal dalam pertempuran atau akibat pertempuran melawan orang Bali. Panarukan, di ujung timur Jawa di seberang Sumenep, sampai pada dasawarsa terakhir abad ke-16 tetap "kafir" seperti halnya Blambangan. Raja-raja setempat selalu berada di bawah lindungan raja-raja Bali di Gelgel, yang dalam hal tertentu merupakan pengganti-pengganti yang sah maharaja Majapahit yang telah hilang itu. Pada paruh kedua abad ke-16 berkali-kali terjadi pertempuran antara para penguasa Islam di Pasuruan dan raja-raja "kafir" di kerajaan-kerajaan yang letaknya lebih ke timur di ujung timur Jawa. Mereka itu dibantu oleh orang-orang Bali. Jadi, tambo Sumenep yang mengatakan bahwa Kanduruwan - adipati Islam dari Demak itu - telah berperang melawan orang-orang Bali mungkin benar. Saudaranya lain ibu, yaitu Sultan Tranggana dari Demak yang terkenal itu, dianggap telah mangkat dalam pertempuran atau akibat pertempuran melawan raja "kafir" di ujung timur Jawa (di Panarukan). Dalam paruh kedua abad ke-16, konon Kerajaan Sumenep dipandang sebagai pertahanan terdepan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah, Demak dan Pajang, dalam peperangan melawan kerajaan "kafir" di Bali. Kerajaan itu selalu merupakan ancaman yang berbahaya, demikian pula kerajaan-kerajaan sekitarnya, Panarukan dan Blambangan di ujung timur Jawa.
Tidak ada cerita mengenai pengganti Adipati Kanduruwan. Seperti halnya Madura Barat, Sumenep tidak menghadapi serangan Senapati dari Mataram, yang pada tahun 1589 berusaha memulihkan kembali kerajaan Jawa Tengah sesudah wafatnya Sultan Pajang. Raja Mataram pertama belum dapat meluaskan kekuasaannya sampai jauh ke timur.
Ekspedisi merebut daerah yang dilakukan kemudian oleh cucunya, Sultan Agung, pada tahun 1624 - yang telah menundukkan kerajaan-kerajaan Madura Barat - telah mencapai Sumenep juga.
Menurut berita-berita Madura Timur, dan juga berita-berita Belanda, raja Sumenep telah memberikan perlawanan yang gagah berani terhadap Jawa Tengah. Setelah tertangkap, ia dibunuh dengan keris atas perintah Sultan Agung. Menurut cerita tutur Banten, seorang raja Sumenep telah datang ke sana beserta keluarga dan segenap abdi pelayan keraton untuk minta tolong, karena harus melarikan diri menghindari kepungan tentara Mataram. Dengan anggapan bahwa raja Madura Timur ini seorang keturunan dari keluarga raja Demak, dapat dimengerti mengapa ia mengungsi ke Banten. Bukankah raja-raja Banten mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Tranggana? Tetapi karena takut pada Sultan Agung, raja Banten itu telah menyerahkan para pengungsi itu kepada musuh. Sesampainya di Mataram mereka itu semua dibunuh dengan tikaman keris. Kejadian ini dikuatkan oleh berita-berita Belanda.
Yang dikuatkan juga oleh berita-berita Belanda ialah bahwa, sesudah Sumenep diduduki, daerahnya diperintah atas nama raja Mataram oleh seorang Wali Negara, yang bernama Angga Dipa. Ia keturunan Jepara. Menurut cerita setempat, penguasa baru Sumenep yang datang dari Jawa Tengah itu ternyata bupati yang membangun Maseghit Hajjhi di sebelah utara kabupaten. Di situ dapat ditunjukkan adanya batu dengan inskripsi tahun Jawa 1570 (1648 M.)[5]
Menurut buku-buku sejarah Jawa Tengah, sesudah direbutnya Madura, baik Barat maupun Timur, banyak sekali "tawanan perang" pria, wanita, dan anak-anak yang diangkut dari Pulau Madura ke Gresik dan ke Jawa Tengah untuk dipekerjakan oleh para pemenang. Raja-raja Mataram telah memerintahkan dan melaksanakan pemindahan paksa secara besar-besaran kelompok-kelompok petani dan buruh dari daerah-daerah pendudukan ke daerah inti kerajaan mereka. Kemungkinan, sebelum mereka, juga ada raja-raja Jawa pada zaman pra-Islam yang merebut dan menduduki tanah-tanah tetangga berdasarkan pertimbangan keuntungan ekonomis, karena dengan jalan demikian mereka dapat menggunakan tenaga kerja paksa yang murah. Mereka diserahi pekerjaan berat, sedangkan penduduk tanah-tanah raja dan sanak saudara raja dapat mencurahkan perhatian penuh pada tugas pemerintahan sebagai prajurit atau pegawai negeri. Pemindahan penduduk dalam negeri, yang berabad-abad telah dilakukan oleh raja-raja terhadap kelompok-kelompok suku di Jawa dan Madura itu, berakibat leburnya tradisi-tradisi lama suku-suku setempat maupun hubungan perkawinan penduduk desa. Yang benar-benar asli sekarang hampir tidak terdapat lagi di Jawa. Pengaruh agama Islam yang serba menghilangkan perbedaan-perbedaan setempat itu memperkuat kecenderungan demikian.

e-books a.mudjahid chudari




[1]       Sejarah Banyak Wide dari Sumenep diuraikan panjang lebar dalam Pararaton (Brandes, Pararaton, pada indeks nama, di bawah "Wiraraja", dan dalam indeks pada catatan-cetatan, di bawah "Sumenep" dan "Sungeneb"). Sungeneb ialah bentuk nama yang sebenarnya, menurut cara Madura.
[2]       Sadjarah Dalem memuat cerita-cerita tentang anggota-anggota keturunan raja-raja Sumenep (hlm. 238-248), padahal dinasti Mataram sebenarnya tidak mempunyai hubungan keluarga dengan keturunan Madura Timur ini, setidak-tidaknya kurang akrab dibandingkan dengan raja-raja Madura Barat, dari Aros Baya, dan dari Sampang. Dapat diperkirakan, penyusun Sadjarah Dalem yakin bahwa raja-raja Sumenep pada zaman dahulu telah memegang peranan penting dalam sejarah, karena itulah mereka ditampilkan dalam buku tersebut.
[3]       Cerita tutur Sumenep setempat yang bersifat sejarah telah disadur dalam Karta  Soedirdia, "Tiareta".
[4]       Nama Kanduruwan atau Kanduruhan pada abad ke-16 dan ke-17 agaknya berkali-kali telah diberikan kepada para pangeran yang agak rendah derajatnya, tidak lahir dari permaisuri (Jawa: prameswari, garwa padmi). Dalam buku-buku cerita (serat kandha) memang disebutkan seorang saudara yang tidak seibu dengan Sultan Tranggana dari Demak, yang bernama demikian. Kelak ia mendapat sebutan Pangeran Panggung dari Randu Sanga (tempat asal ibunya); lihat Brandes, Pararaton, hlm. 228 dan 229. Dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hlm. 230) diberitakan bahwa Raden Wangkawa, anak "selir" raja Demak yang pertama, oleh saudaranya yang tidak seibu, Sultan Tranggana, dianugerahi nama Raden Kanduruwan, dan telah dijadikan adipati di Sumenep. Jadi, cerita tutur yang menyatakan bahwa pada permulaan abad ke-16 di Sumenep telah ada raja Kanduruwan, yang mempunyai hubungan keluarga dekat dengan dinasti Demak, agaknya dapat dipercaya juga. Gelar Kanduruwan dapat dihubungkan dengan Kanuruhan, gelar keraton dizaman Jawa Kuno, yang berarti bendahara raja (lihat Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 175 dan 176).
[5]       Sejarah perebutan Madura oleh Sultan Agung dari Mataram telah dibicarakao dalam Graaf, Sultan Agung, hlm. 83-93. Cerita-cerita Sumenep setempat telah disadur dalam Werdisastra, Bhabhad.

0 Response to "Sejarah Madura Abad ke-16 Madura Timur, Sumenep dan Pamekasan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel