Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pada Abad ke-16: Surabaya
XII-1. Berita-berita kuno tentang Surabaya, legenda dan sejarah Sudah sejak abad ke-11, kawasan delta Sungai Brantas merupakan daerah pokok pelbagai dinasti penting. Kahuripan, yang kemudian disebut Koripan, ialah daerah yang diperintah Raja Erlangga. Ia seorang raja Jawa kuno yang pemerintahannya banyak dikenal dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Juga dongeng-dongeng Jawa-Bali banyak mengisahkannya. Dapat dipastikan, Erlangga dari Kahuripan mempunyai hubungan erat dengan Bali, melalui jalur pelayaran pantai lewat Selat Madura. Dalam dongeng dan sastra historis-romantis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang muncul kemudian, Janggala merupakan kerajaan yang diperintah oleh dinasti yang menurunkan Panji, seorang tokoh dongengan. Janggala dan Kahuripan dapat dihubungkan. Di Delta Brantas sebelah selatan, tempat kedudukan kerajaan-kerajaan itu, belum dapat ditunjukkan dengan pasti tempat sebuah kota kerajaan tua. Dalam buku-buku cerita Jawa Timur dan Jawa Tengah yang lebih tua Janggala dan Koripan dianggap sebagai kerajaan Raja Dandang Gendis, yang konon adalah anak sulung dan pengganti Raja Genthayu dari Prambanan (di Jawa Tengah). Raja Dandang Gendis ini mendapatkan putri dari Blora sebagai istri; ia menjadi "raja" para wong tapa 'pertapa’ dari zaman sebelum Islam. Dengan bantuan tiga orang raja pedalaman, konon, ia memerangi dan mengalahkan "raja" pedagang di Jepara, Sandang Garba. Kelima penguasa tadi masih bersaudara. Cerita tentang Genthayu dengan lima anaknya ini mirip mitos. Tidak dapat diteliti lagi sampai berapa jauh dalam cerita itu masih terjalin ingatan tentang perbedaan-perbedaan lama antara berbagai daerah di tanah Jawa. Nama Kota Surabaya disebut dalam naskah-naskah Jawa dari abad ke-14. Menurut penulis Nagara Kertagama, raja Majapahit (Hayam Wuruk) telah mengadakan kunjungan ke Surabaya, yang pada waktu itu dianggap sebagai ibu kota daerah Janggala. Tempat penyeberangan di Surabaya adalah salah satu tempat tambangan yang disebut dalam "Piagam Tambangan" tahun 1358 M. Hal-hal itu menunjukkan bahwa Surabaya pada pertengahan abad ke-14 sudah menjadi ibu kota dan pusat perekonomian yang berarti. Akhirnya masih perlu disebutkan silsilah Aria Teja dari Tuban, yang terdapat dalam Sadjarah Dalem (hal. 41, paragraf ke-69). Raja Islam Aria Teja dari Tuban (keturunan Arab) adalah mertua Raja Pandita dari Gresik dan Sunan Katib dari Ngampel Denta, kakak beradik yang telah mendirikan umat Islam pertama di Gresik dan Surabaya, mungkin di sekitar pertengahan abad ke-15. Aria Teja dari Tuban yang hidup pada abad ke-15 itu konon mempunyai kakek (atau uwak) yang bernama Aria Lembu Sura dari Surabaya yang hidup pada abad ke-14. Namanya, dipautkan dengan kata Lembu, menunjukkan turunan ningrat, bahkan keturunan raja. Sebab itu, raja Surabaya dari abad ke-14 ini tidak dapat disamakan orangnya dengan kakek "Pate Bobat", yang sudah dikenal Tome Pires; kakek ini bukan keturunan bangsawan atau seorang asing dari Barat. Tidak mustahil bahwa baru pada abad ke-14, baik di Tuban maupun di Surabaya, kekuasaan dipegang oleh keturunan asing yang beragama Islam. Tidak mustahil pula telah terjadi hubungan perkawinan para cendekiawan Islam keturunan asing dengan keluarga-keluarga bangsawan Jawa atau bahkan dengan keluarga rajaraja Majapahit.
XII-2. Surabaya sekitar tahun 1500 M Suma Oriental memuat suatu pemberitaan yang panjang lebar tentang kota dan daerah Surabaya pada permulaan abad ke-16. Menurut Tome Pires, pada waktu itu arti Surabaya sebagai kota pelabuhan dan kota dagang tidak sepenting Gresik. Para pelaut Surabaya lebih mengerahkan tenaganya untuk membajak dengan perahu-perahunya yang relatif kecil. Rajanya seorang prajurit tangguh, orang yang mempertahankan daerah Islam terhadap serangan raja-raja "kafir" yang merupakan tetangganya, terutama raja Blambangan yang menguasai ujung timur Jawa. Antara Surabaya dan kepala daerah Majapahit, "Gusti Pate", yang mewakili kekuasaan kerajaan "kafir", terjadi ketegangan hubungan, tetapi ada juga masa-masa damai antara mereka. Di samping keberaniannya, juga oleh orang Portugis yang sezaman dengannya, diberitakan tanah miliknya yang luas, yang terletak di delta Sungai Brantas, yang merupakan sumber pendapatannya. Yang aneh sekali ialah nama-nama yang dipakai oleh raja Surabaya, yang dikenal Tome Pires. Raja tersebut oleh penulis Portugis itu diberi nama "Pate Bobat", Yang Dipertuan di Bobat. Pada abad ke-14 Kota Bubat di tepi Sungai Brantas menjadi pelabuhan sungai bagi kota Kerajaan Majapahit. Tempat tersebut letaknya cukup jauh dari Surabaya, lebih masuk ke pedalaman dan lebih ke arah udik. Kiranya dapat dibayangkan bahwa, pada abad ke-15, "Yang Dipertuan di Bubat" telah menjadi gelar yang diberikan oleh maharaja "kafir" itu kepada yang menguasai tempat-tempat di tepi sungai di sebelah hilir pelabuhan sungai Majapahit tersebut. Besar sekaii kemungkinan bahwa baru pada zaman Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, di Bubat dan di tempat-tempat pelabuhan pedalaman lain, perkampungan-perkampungan pedagang asing - sebagian Cina Islam - mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan ekonomi negara. Nama kedua, yang menurut Tome Pires diperuntukkan bagi raja Surabaya, telah dianugerahkan sebagai nama kehormatan kepadanya oleh "Guste Pate". Hal itu menandakan bahwa hubungan antara mereka tidak selalu bersifat permusuhan, dan bahwa patih Kerajaan Majapahit yang sangat berkuasa itu, dengan menggunakan keramahan diplomatik, selalu berusaha agar para penguasa Islam di daerah-daerah perbatasan "kafir" tetap bersikap bersahabat. Nama itu, jika ditulis menurut ejaan Portugis adalah Jurupa Galacam Jmteram yang artinya avamtejado capitao (panglima ulung). Oleh karena nama atau kata Jawa ditulis dengan ejaan Portugis menjadi tidak keruan wujudnya, maka diperkirakan namanya ialah: Surapati Ngalaga ing Terung. "Panglima ulung" dapat kita anggap sebagai penafsiran yang benar dari "Surapati Ngalaga". Apabila pada kata yang ketiga di atas tersembunyi nama Kota Terung, maka nama raja Surabaya ini pada permulaan abad ke-16 dapat menguatkan apa yang diberitakan cerita Jawa mengenai peranan penting pecat tanda - penguasa raja di bidang perdagangan - di Terung, di tepi Sungai Brantas, dalam pertempuran Islam Jawa Tengah melawan kota kerajaan lama Majapahit. Menurut cerita Jawa itu, penguasa di Terung ini masih saudara lain ayah dengan raja pertama di Demak, Raden Patah. Ibu mereka seorang wanita Cina dan mereka lahir di Palembang. Penguasa di Terung, meskipun Islam, telah bertempur untuk mempertahankan Majapahit terhadap serangan-serangan orang-orang alim Islam. Konon, ia yang telah membunuh Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus yang terkenal itu, dalam perkelahian satu lawan satu. Perkiraan bahwa raja Surabaya, yang sudah dikenal oleh Tome Pires pada tahun 1515, boleh dipandang sama orangnya dengan penguasa di Terung, sahabat Majapahit, yang pada tahun 1525 berusaha menggagalkan serangan "kelompok-kelompok orang alim" Islam Jawa Tengah terhadap Majapahit, bertambah nyata berkat adanya cerita-cerita yang diberitakan dalam Suma Oriental mengenai asal usul "Pate Bubat" yang dikatakan berasal dari "budak belian kafir" (yang bekerja pada kakek "Guste Pate") atau seorang Sunda. Cerita-cerita yang sezaman itu, dan cerita-cerita Jawa tentang penguasa di Terung yang timbul kemudian, mengandung unsur yang sama, yaitu pandangan bahwa ia tidak berasal dari keturunan raja yang mulia, tetapi dari kalangan rendah, atau dari seorang asing yang datang dari Barat.
XII-3. Sunan Ngampel Denta dari Surabaya, legenda dan sejarah Menurut legenda Islam tentang Sunan Ngampel Denta, orang suci ini telah diangkat sebagai imam di Masjid Surabaya oleh seorang pecat tanda di Terung, yang disebut Aria Sena. Nama Sena ini mungkin dihubungkan dengan gelar Senapati (Surapati) Ngalaga di Terung, yang menurut Tome Pires telah dipakai oleh raja Surabaya pada permulaan abad ke-16. Oleh karena Raden Rahmat, yang kemudian bergelar Sunan Ngampel Denta, tinggal di Surabaya mulai pada perempat ketiga abad ke-15, maka Senapati di Terung, yang telah bertindak sebagai pelindungnya, termasuk generasi yang lebih tua dari "Pate Bobat" yang dikenal Tome Pires itu. Bagaimanapun, legenda tentang orang-orang suci menguatkan perkiraan - disebabkan oleh kata-kata yang keliru dalam Suma Oriental - bahwa sekitar tahun 1500 M. kekuasaan duniawi di Surabaya, Terung, dan Bubat dipegang oleh satu orang pejabat yang beragama Islam, yang menganggap dirinya abdi maharaja Majapahit. Pada zaman Tome Pires, kekuasaan rohani kiranya dipegang oleh Sunan Ngampel Denta, orang suci di Surabaya, yang telah tua sekali. Menurut cerita tutur, ia meninggal tidak lama sebelum runtuhnya kerajaan "kafir" Majapahit (menurut cerita pada tahun 1478, sesungguhnya tahun 1527). Tidak mengherankan bahwa penulis Portugis itu tidak bercerita tentang dia; agama Islam jarang diberitakan dalam Suma Oriental. Menurut buku-buku cerita (serat kandha) dan Sadjarah Dalem yang terbit kemudian, Sunan Ngampel Denta banyak sekali anaknya. la masih mempunyai hubungan keluarga dengan banyak pemimpin duniawi dan rohani di Jawa Timur, dan Jawa Tengah, melalui perkawinan-perkawinan, baik dia sendiri maupun anak-anak perempuannya. Sunan pertama di Giri dan raja pertama di Demak, Raden Patah, adalah menantunya. Sunan Bonang dari Tuban ialah anak sulungnya. Sunan Bonang, yang hidup membujang, beberapa waktu menggantikan beliau di Ngampel Denta. Dapat atau tidaknya dipercaya lagenda-lagenda tentang orang-orang suci ini tidak dapat dikaji dari berita sumber lain. Satu kenyataan ialah bahwa makam Sunan Ngampel Denta, yang disanjung-sanjung sebagai wali yang tertua di Jawa, tidak menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi orang pada abad-abad kemudian. Lagi pula makam tersebut tidak diberi cungkup seperti yang biasa ada pada makam-makam orang-orang penting. Dalam cerita Jawa dinyatakan bahwa hal itu memang menjadi kehendak Sunan sendiri. Tetapi hal itu juga dapat dianggap sebagai akibat kenyataan bahwa Sunan Ngampel tidak membentuk dinasti pemimpin agama; jadi berbeda dengan Sunan Giri dan Sunan Gunungjati. Dicantumkannya namanya dalam Sadjarah Dalem itu karena menurut garis keturunan ibu, ia adalah moyang Sunan Kudus, yang keturunannya - juga menurut garis ibu - masih mempunyai pertalian keluarga dengan keluarga raja Mataram. (Sunan Kudus adalah menantu seorang penguasa di Terung). Raja-raja Surabaya, yang pada abad ke-16 dan ke-17 telah memegang peranan penting dalam sejarah Jawa Timur, mungkin bukan keturunan langsung Sunan Ngampel Denta, tetapi hanya mempunyai hubungan keluarga lewat garis keturunan ibu.
XII-4. Surabaya pada paruh pertama abad ke-16, legenda dan sejarah Apabila kita beranggapan bahwa "Pate Bubat" yang dimaksud Tome Pires itu dapat disamakan dengan penguasa di Terung, maka pada paruh pertama abad ke-16 para penguasa Islam kota-kota Tuban dan Surabaya - sebagai raja bawahan yang bersahabat dengan maharaja Majapahit "kafir" - seharusnya memperlihatkan sikap yang hampir sama. Menurut suatu kisah Jawa Tengah (lihat Bab II-10), mereka melakukan serangan terhadap kota kerajaan kuno itu bersama-sama dengan raja-raja Islam lainnya, tetapi dalam kronik lama mengenai penaklukan daerah yang dilakukan Demak pada zaman pemerintahan Sultan Tranggana, tahun 1527 tercatat sebagai tahun didudukinya Tuban, dan 1531 tercatat sebagai tahun ketika raja Surabaya mengakui kekuasaan maharaja baru di Jawa Tengah yang sudah beragama Islam. Tidak dapat diteliti lagi apakah Yang Dipertuan di Terung (raja Surabaya?) oleh Raja memang telah dipindahkan ke Semarang, seperti yang dikatakan dalam cerita tutur Jawa itu (lihat cat. 212). Ada kemungkinan, pada paruh pertama abad ke-16 pun (seperti pada paruh kedua abad itu dan pada abad ke-17) raja-raja daerah inti kerajaan kuno Majapahit, di Jawa Timur dan di daerah ujung timur Jawa, berusaha membangkang terhadap dinasti-dinasti baru di Jawa Tengah, yaitu dinasti Demak, dinasti Pajang, dan kemudian dinasti Mataram. Dalam uraiannya yang diromantisir mengenai pengepungan Kota Panarukan (yang disebutnya Pasuruan), Mendez Pinto, penulis yang berkebangsaan Portugis itu, menampilkan seorang pangeran dari Surabaya sebagai tokoh penting yang terlibat dalam pembunuhan terhadap Sultan Tranggana dari Demak. Mendez Pinto mengakhiri ceritanya tentang kericuhan di Demak sesudah meninggalnya Sultan Tranggana dengan pemberitahuan bahwa "Pate Sudayo" dari Surabaya telah dipilih sebagai raja oleh sidang raja-raja. Walaupun cerita tutur Jawa tidak memberitakan peristiwa ini, bukan hal yang tidak masuk akal apabila ada raja Jawa Timur yang mencoba untuk mencari keuntungan politik dari kekacauan yang timbul di ibu kota kerajaan Islam di Jawa Tengah yang baru saja dibenahi itu. Dalam Sadjarah Surabaya terdapat daftar pendek para penguasa Surabaya, yang mencantumkan nama Sunjaya. Mungkin kita boleh menghubung-hubungkan satu dengan yang lain. Sesudah mengalahkan Aria Panangsang dari Jipang pada tahun 1549, raja Pajang di pedalaman (yaitu tokoh cerita Jawa, Jaka Tingkir), masih kerabat keluarga raja Demak, mencoba memulihkan kembali kerajaan Jawa Tengah. Tampaknya ini sudah sebagian dicapainya melalui ekspedisi militer dan dengan diplomasi damai. Daftar tahun peristiwa Jawa memberitakan tahun-tahun 1548 sampai 1577 sebagai masa perjuangan untuk menundukkan Kediri. Hal ini tercantum dengan penggunaan kata-kata yang menimbulkan dugaan bahwa penguasa kota penting tersebut masih atau kembali menjadi "kafir". Berita ini untuk sebagian dikuatkan oleh kronik Jawa lain, yang mengabarkan adanya pertempuran (yang dilakukan laskar Pajang) pada tahun-tahun 1577 dan 1578 untuk menundukkan Menang (yaitu, Memenang, Kediri) dan Wirasaba (Maja-Agung). Daerah Wirasaba terletak di daerah aliran Sungai Brantas seperti Kediri, semula termasuk wilayah pengaruh para penguasa Surabaya. Rupanya, raja Pajang itu sedang berusaha menanam kekuasaan di tanah pedalaman Jawa Timur, sepanjang Sungai Brantas. (Perluasan wilayah Kerajaan Demak, kira-kira setengah abad sebelumnya, sebagian besar telah terlaksana lewat ekspedisi laut).
XII-5. Surabaya pada paruh kedua abad ke-16, legenda dan sejarah Kemajuan-kemajuan ekspansi Jawa Tengah ke arah timur, yang dipimpin oleh Sultan Pajang, mungkin juga masih dapat dikait-kaitkan dengan dua cerita lain, sehubungan dengan peristiwa-peristiwa tahun-tahun 1570-1580. Menurut kisah yang pertama (hanya diberitakan dalam Raffles, History, jil. II, hal. 143) konon para penguasa di Surabaya, Gresik, Sidayu, Tuban, dan Pasuruan (di pantai utara) dan para penguasa di Wirasaba, Ponorogo, Kediri, Madiun, Blora, dan Jipang (di pedalaman) telah menyatakan diri "bebas" dari raja Madura; dengan demikian mereka dapat mengakui Panji Wiryakrama, adipati di Surabaya, sebagai atasan mereka bersama. Adipati Surabaya ini telah bertindak sebagai wahana 'juru bicara' mereka terhadap raja Pajang. Menurut orang yang merupakan sumber berita Raffles, hal itu terjadi pada waktu Santa Guna, raja "kafir" di Blambangan, di ujung timur Jawa, menduduki Panarukan. Tentang sejarah ujung timur Jawa ini dalam paruh kedua abad ke-16 ada beberapa hal yang sudah kita ketahui; hal itu akan dibicarakan pada Bab-bab XV-XVII. Ada kemungkinan, raja-raja Islam di Jawa Timur telah merasa dirinya terancam oleh makin meningkatnya kekuasaan "kekafiran" di ujung timur Jawa (dibantu oleh raja Bali); oleh karena itu, mereka bersatu di bawah pimpinan raja Surabaya yang daerahnya mungkin berada paling dekat dengan ancaman bahaya. (Menurut Tome Pires, pada permulaan abad ke-16 "Pate Bubat" dari Surabaya sudah sering terlibat dalam pertempuran melawan raja "kafir" Blambangan yang sangat berkuasa itu). Juga dapat dimengerti bahwa raja-raja Islam di Jawa Timur dan di daerah-daerah Pesisir lalu mengadakan hubungan dengan raja Pajang yang dianggap sebagai pengganti Sultan Demak yang sah. Di Madura, yaitu di bagian barat pulau, di Sampang dan Aros Baya, yang memerintah dalam perempat ketiga abad ke-16 ialah seorang raja yang bernama Kiai Pratana atau Panembahan Lemah Duwur. Konon, ia anak penguasa Islam pertama di Gili Mandangin/Sampang. Menurut Sadjarah Dalem, Panembahan Lemah Duwur telah memperistri putri Pajang; jadi tidak ada sikap permusuhan dengan Pajang. Tidak ada satu pun cerita Jawa atau Madura yang menunjukkan bahwa raja Madura pernah berkuasa di Jawa Timur dan daerah-daerah Pesisir. Jadi pindahnya kekuasaan ini pada Panji Wiryakrama dari Surabaya seperl yang dikesankan oleh sumber berita Raffles, tidaklah pasti. Tentang sejarah Madura dalam abad ke-16, bab berikut akan memberi penjelasan. Cerita Jawa yang kedua menyangkut pertemuan para raja Jawa Timur di Giri pada tahun 1581. Pada waktu itu Sunan Prapen yang berusia lanjut telah meresmikan pengangkatan raja Pajang yang juga tidak muda lagi agar diakui raja-raja lain. Hal itu harus ditafsirkan dengai latar belakang yang sama, yaitu pembenahan kekuasaan raja-raja Islam yang disebabkan adanya bahaya serangan yang mengancam lewat darat atau laut, dari pihak raja-raja "kafir" di kawasan timur. Keturunan-keturunan terakhir dari dinasti Demak dan Pajang tidak dapat bertahan menghadapi semangat ekspansi yang berkobar dalam Kerajaan Mataram di pedalaman yang masih muda itu. Waktu Sultan Pajang meninggal dunia pada tahun 1589, Senapati di Mataram cepat-cepat mulai bertindak agar kekuasaannya diakui oleh raja-raja di Jawa Timur, yang sebelumnya sudah mengakui sultan-sultan di Demak dan Pajang sebagai penguasa tertinggi. Usaha-usaha perluasan kekuasaan yang dilakukan oleh raja baru di pedalaman Jawa Tengah ini terbentur pada perlawanan para penguasa Jawa Timur dan daerah-daerah Pesisir. Perlawanan ini lebih dari yang dihadapi raja Pajang kira-kira seperempat abad sebelumnya. Boleh diduga pada perempat terakhir abad ke-16 peradaban Islam Pesisir, yang selama hampir seratus tahun berkembang atas dasar pola peradaban Majapahit, telah membentuk ikatan kesatuan antara daerah-daerah yang sebelum itu telah mengakui kekuasaan maharaja "kafir". Meskipun letaknya di pedalaman, karena adanya perhubungan baik lewat Bengawan Solo dan jalan-jalan darat sudah sejak abad ke-15. Pengging dan Pajang ikut serta dalam geraka sosial politik baik di Jawa Timur maupun di daerah-daerah Pesisi sebelah timur laut. Karena Mataram hanya dapat menggunakan perhubungan darat dengan Pajang dan dengan Jawa Barat, pada abad ke-15 dan masih juga dalam paruh pertama abad ke-16, oleh raja-raja Jawa Timur, Mataram dianggap sebagai daerah terbelakang yang berperadaban kasar. Sebagian raja-raja Jawa Timur itu keturunan pedagang Islam yang sudah maju peradabannya dan berasal dari negeri asing. Menurut tambo Jawa Tengah, boleh dikatakan tidak lama sesudah meninggalnya Sultan Pajang, Senapati dari Mataram berusaha agar kekuasaannya diakui di Jawa Timur. Pasukan Panembahan Senapati di dekat Japan (Mojokerto yang sekarang) telah dibendung oleh tenaga gabungan sejumlah besar raja-raja Jawa Timur. Gabungan itu terdiri dari: daerah-daerah Pesisir, yaitu Tuban, Sidayu, Lamongan, dan Gresik; daerah-daerah pedalaman yaitu Lumajang, Kertosono, Malang, Pasuruan, Kediri, Wirasaba, dan Blitar; di samping itu masih ada lagi Pringgabaya, Pragunan, Lasem, Madura, Sumenep, dan Pakacangan. Mereka telah dikerahkan oleh panggede, 'pemimpin' mereka, yaitu pangeran Surabaya, untuk melawan kehendak Senapati. Pada kesempatan itulah Sunan Giri mendamaikan Mataram dan Surabaya, dengan menyuruh kedua raja itu memilih antara "bungkus" dan "isi". Kemudian kedua penguasa itu berpisah dengan damai. Tanpa mempersoalkan sampai berapa jauh Sunan Giri itu betul-betul bertindak sebagai penengah pada saat-saat gentingnya ancaman perang, dapat diperkirakan bahwa percobaan pertama raja Mataram untuk mendapat pengakuan di Jawa Timur sebagai maharaja itu ternyata telah gagal. la ditolak serentak oleh sejumlah besar penguasa setempat yang dipimpin pangeran Surabaya. Nama raja Surabaya, yang konon kekuasaannya pada perempat terakhir abad ke-16 di Jawa Timur dan Madura cukup besar untuk menggerakkan sejumlah besar penguasa setempat supaya bekerja sama melawan Mataram, tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah Jawa Tengah abad ke-18. Dalam Sadjarah Dalem terdapat nama Panembahan Ratu Jayalengkara dari Surabaya sebagai nama ayah Pangeran Pekik (yang sesudah tahun 1625 menjadi ipar Sultan Agung). Jadi, mungkin Panembahan Jayalengkara itulah yang pada tahun 1589 menjadi lawan Senapati Mataram. Pada tahun 1625 - pada akhir hayatnya - ia dikalahkan dan diturunkan dari tahta oleh cucu Senapati, Sultan Agung. Tidak ada keterangan yang membuat percaya bahwa Pangeran Pekik dari Surabaya dan ayahnya Jayalengkara (mungkin juga Panji Wiryakrama) termasuk keturunan langsung Adipati Terung ("Pate Bubat") dari zaman permulaan abad ke-16. Menurut suatu sumber Jawa, agaknya ia dipindahkan ke Semarang. Juga tidak dapat dipastikan apakah keturunan Jayalengkara benar-benar menurut garis langsun merupakan keturunan Sunan Ngampel, orang suci abad ke-15 itu.
XII-6. Keraton Surabaya, pengaruh peradabannya yang meluas ke daerah pedalaman Jawa Timur dan Jawa Tengah pada abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 Panembahan Jayalengkara (kalau ini memang benar-benar namanya), sebagai raja merdeka Surabaya yang terakhir, terus gigih berjuang seumur hidupnya melawan perluasan-perluasan daerah ke arah timur yang dilakukan oleh raja-raja Mataram. Menurut Sadjarah Dalem, permaisurinya ialah seorang putri dari Kediri (dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Pekik), dan ia masih kerabat keluarga raja di Madiun yang asal usulnya adalah Sultan Demak. Berdasarkan hubungan keturunan, tidak ada alasan yang mendorongnya untuk bersikap baik terhadap para penyerbu dari Mataram itu. Di bidang ekonomi dan sosial terdapat jurang yang dalam antara Mataram di pedalaman yang masih rendah peradabannya dan daerah-daerah Jawa Timur yang telah maju. Jawa Timur telah mempunyai kota-kota pelabuhan yang makmur. Peradabannya berkembang dengan adanya perdagangan laut dan pergaulan dengan orang-orang asing. Nama Jayalengkara beberapa kali disebut dalam sastra Jawa. Menurut buku-buku cerita abad ke-17 atau ke-18, moyang yang menurunkan raja-raja di Jenggala (di delta Sungai Brantas) adalah Inu Kertapati yang sangat tersohor itu, yang juga bernama Jayalengkara. Konon, ia mula-mula memerintah di tanah asalnya di alam maya, Mendang Kamulan. Salah satu dari buku-buku hukum abad ke-16 atau ke-17, yang dapat dibandingkan dengan kitab Salokantara yang dianggap karangan Senapati Jimbun dari Demak, menyebut Raja Jayalengkara dari Mendang Kamulan sebagai pengarangnya. Akhirnya ada sajak romantis-didaktis yang panjang, Jaya Lengkara, yang dikenal dalam berbagai versi. Yang dianggap sebagai pengarangnya ialah Pangeran Pekik dari Surabaya, dan nama Surabaya sering disebut di dalamnya. Pemberitaan tentang nama Jayalengkara dalam sastra Jawa ini mudah menimbulkan perkiraan bahwa keraton Surabaya pada paruh kedua abad ke-16 dan juga pada abad ke-17 - yang berkali-kali disebut dalam cerita-cerita Jawa Tengah dari abad ke-19 - merupakan pusat peradaban Pesisir. Nama Pangeran Pekik sering disebut dalam cerita-cerita tutur Jawa Tenjah yang dihubungkan dengan perkembangan sastra pada abad ke-19. Dapat diperkirakan bahwa kitab hukum Jaya Lengkara boleh dianggap hasil karya raja Surabaya yang hidup pada abad ke-16. Begitu pula halnya dengan Salokantara yang dianggap hasil karya raja Demak, Senapati Jimbun. Dalam hikayat dari Surakarta yang ditulis pada abad ke-19, Pangeran Pekik dari Surabaya dianggap sebagai penulis atau pemberi ilham berbagai sastra romantis, antara lain Damarwulan. Buku itu terkenal di seluruh Jawa dalam banyak versi dengan pelbagai perluasan dan penambahan yang terjadi kemudian. Cerita itu, sebagian khayalan, adalah tentang keluarga raja Majapahit yang sudah runtuh satu abad sebelum penulisnya lahir. Sebagian besar cerita itu meliputi peperangan antara raja-raja Majapahit dan raja-raja Blambangan. Perang yang pada abad ke-16 terpaksa dilakukan oleh raja-raja Surabaya melawan para penguasa "kafir" di Blambangan (telah diberitakan Tome Pires), dicerminkan dalam kisah sejarah Damarwulan ini. (Kisah itu sebenarnya memuat unsur-unsur mitos dan dongeng). Seandainya dapat kita terima bahwa Jayalengkara memang nama seorang raja penting di Surabaya, ayah Pangeran Pekik pada permulaan abad ke-17, maka hubungan antara nama itu dan tokoh Panji dalam mitos perlu mendapat perhatian. Menurut Sadjarah Dalem, raja-raja Jayalengkara dari Surabaya beristrikan seorang putri Kediri, sama halnya dengan tokoh legenda Panji Inu Kertapati dari Janggala. Menurut buku cerita Jawa (serat kandha), seorang moyang Panji Inu bernama Jayalengkara juga. Akhirnya, penguasa Surabaya, yang pada pertengahan abad ke-16 bertindak sebagai "juru bicara" raja-raja Jawa Timur dalam menghadapi raja Pajang, memakai nama Panji Wiryakrama - menurut cerita yang didengar Raffles (memang benar bahwa panji atau apanji, sebagai gelar keningratan kuno yang sudah dikenal sejak sebelum zaman Islam itu, masih tetap dipakai antara lain di daerah-daerah pedalaman Jawa Timur seperti Malang). Hubungan antara nama-nama Jayalengkara dan Panji itu menguatkan keyakinan bahwa - seperti halnya Damarwulan - apa yang biasa disebut cerita-cerita Panji yang romantis itu pun sebagian besar berkembang di Jawa Timur. Hal itu karena pengaruh Keraton Surabaya. Latar belakangnya yang bersifat mitos itu tentu berasal dari zaman yang jauh lebih tua. Cerita-cerita Panji telah dikenal baik di daerah-daerah pantai Bali, Jawa, dan Surnatera, tempat peradaban Pesisir mendapat sambutan baik pada abad ke-16 dan ke-17. Cerita-cerita itu lebih dikenal daripada Damarwulan. Palembang adalah salah satu tempat di seberang yang amat banyak mendapat pengaruh peradaban Pesisir Jawa Timur. Sejarah Palembang pada abad ke-16 akan dibicarakan dalam Bab XVIII. Menurut cerita setempat, seseorang dari Surabaya, bernama Ki Gedeng Sura, dalam perempat terakhir abad ke-16 memegang pemerintahan di Palembang. Masa pemerintahan dalam sejarah Palembang ini dengan tepat bersambung dengan masa-masa pemerintahan raja-raja sebelumnya, yang semuanya sedikit banyak mempunyai hubungan baik dengan raja-raja di Jawa Timur sebelum zaman Islam.
XII-7. Sejarah Surabaya yang kemudian, sampai ditundukkannya oleh Mataram pada tahun 1625 Konon, pada masa tuanya, Senapati Mataram (yang meninggal pada tahun 1601) tidak lagi berusaha menguasai Surabaya. Raja Surabaya pada dasawarsa terakhir abad ke-16 sempat memadukan daerah yang diperintahnya. Dari berita orang-orang Belanda dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1599 syahbandar di Gresik dan wakil syahbandar di Jaratan telah diangkat oleh raja Surabaya. Sekitar tahun 1600 perdagangan dan pelayaran di Gresik/Jaratan lebih penting daripada di Surabaya. Sebaliknya, tidak ada kabar atau cerita mengenai sikap permusuhan antara raja Surabaya dan pemimpin agama di Giri, yang selama sebagian terbesar abad ke-16 memegang kekuasaan di Kota Gresik. Jadi, dapat diperkirakan bahwa Sunan Prapen yang sudah sangat lanjut usianya itu membiarkan dirinya dilindungi oleh raja Surabaya dalam bidang pemerintahan. Kisah perjalanan orang-orang Belanda pada tahun 1607 menyatakan bahwa raja yang memerintah Surabaya buta. Tetapi dapat diperkirakan bahwa - seperti yang dikatakan oleh cerita Jawa - ia masih mengalami pendudukan kotanya oleh pasukan Mataram pada tahun 1625. Menurut cerita tutur, raja Surabaya yang telah dikalahkan itu, yaitu ayah Pangeran Pekik, meninggal pada tahun 1630, dan dimakamkan di Ngampel Denta, yang menjadi tempat tinggalnya karena istananya sudah dihancurkan. Tidak ada cerita-cerita tutur, yang dengan jelas memberi petunjuk bahwa raja Surabaya dari paruh kedua abad ke-16 itu menurut garis langsung termasuk keturunan Wali di Ngampel Denta yang hidup pada permulaan abad itu. (Apabila silsilah itu pada abad ke-17 sudah dikenal, tentu hal tersebut sudah dicantumkan dalam daftar keturunan raja-raja dinasti Mataram, karena Pangeran Pekik mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja tersebut). Tetapi kemungkinannya besar sekali bahwa raja Surabaya menganggap dirinya masih bertalian keluarga dengan Sunan Ngampel Denta, karena perkawinan. Sesudah pada tahun-tahun sebelumnya Surabaya berkali-kali diserang, pada tahun 1625 Kota Surabaya menyerah kalah kepada panglima-panglima tentara Mataram tanpa menunggu serangan terakhir lagi, dan setelah menjadi amat lemah oleh kelaparan dan penyakit. Mengingat hal itu, keturunan raja mendapat pengampunan sepenuhnya dari pihak pemenang, Sultan Agung. Tetapi Pangeran Pekik, yang kemudian menjadi ipar Sultan Agung, terpaksa merelakan dirinya untuk ikut serta dalam serangan merebut Giri, tempat tinggal orang suci di Gunung, yang mengadakan perlawanan dengan mengerahkan segala tenaga yang ada padanya.
e-books a.mudjahid chudari |
0 Response to "Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pada Abad ke-16: Surabaya"
Post a Comment