Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Jepara/Kalinyamat





Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Jepara/Kalinyamat

VI-1       Jepara dan Demak, berhubungan erat
Hubungan antara kota pelabuhan Jepara dan ibu kota Demak sekitar tahun 1500 sudah dibicarakan dalam bagian-bagian terdahulu (Bab II-6 dan Bab IV-2). Di masa jaya Kesultanan Demak, Jepara juga menjadi tempat tinggal para pedagang dan pelaut, begitu menurut perkiraan kita. Mungkin Jepara itu kota tua, lebih tua dari Demak.[1]
Sebagai kota pelabuhan, dengan teluk yang aman, Jepara selalu lebih disukai daripada Demak; tetapi yang lebih menguntungkan Demak ialah adanya hubungan yang lebih mudah dengan pedalaman Jawa Tengah. Dari pedalaman harus didatangkan beras, yang diperdagangkan dengan pedagang seberang di kota-kota pelabuhan. Sukarnya hubungan dengan tanah pedalamanlah yang menjadi salah satu sebab jatuhnya Jepara sebagai kota pelabuhan pada abad ke-17. Semarang menggantikannya.
Kekalahan dalam perang di laut melawan Malaka pada tahun 1512-1513, yang mengakibatkan (menurut berita-berita Portugis) armada "Pate Unus" dari Jepara nyaris hancur sama sekali, tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah Jawa. Namun, hal itu tidak diragukan dan dapat diterima, bahwa citra kekuasaan para penguasa Jepara menjadi berkurang karenanya.[2] Tetapi perdagangan lautnya tidak musnah.
 Oleh kematian Sultan Tranggana dari Demak pada tahun 1546 tiba-tiba berakhirlah kemakmuran "kekaisaran" Demak. Menurut laporan penulis Portugis Mendez Pinto (yang hanya sedikit dapat dipercaya), sesudah pertempuran berdarah antara para calon pengganti raja di ibu kota Demak, para penguasa kerajaan yang terkemuka berkumpul di Jepara untuk memusyawarahkan hari depannya. Berita itu dapat dipercaya. Kecuali cerita-cerita yang bersifat legenda (lihat, cat. 108), pemberitaan-pemberitaan (yang lebih dapat dipercaya) tentang Jepara dalam kisah-kisah Jawa dimulai dengan berita mengenai didirikannya Kalinyamat. Kota Kalinyamat kira-kira 18 km dari Jepara masuk ke pedalaman, di tepi jalan ke Kudus, pada abad ke-16 menjadi tempat kedudukan raja-raja kota pelabuhan itu.[3] Menurut cerita, yang mendirikan tempat itu ialah seorang Cina, nakoda sebuah kapal dagang yang kandas di tepi pantai. Sesampainya di Jepara (Jung Mara) dalam keadaan melarat, ia diislamkan oleh Sultan Kudus. Tidak lama kemudian ia mendirikan pedukuhan di tepi jalan antara Kudus dan Jepara yang lama-kelamaan dapat dikembangkannya, sehingga maju.[4] la menempatkan diri di bawah kekuasaan Sultan Tranggana dari Demak, dan mendapat salah seorang putri Sultan Tranggana sebagai istri. Pasti putri itulah yang pada silsilah dinasti Demak (lihat Bab III-1) tercatat sebagai Ratu Aria Jepara atau Ratu Pajajaran. Dalam cerita-cerita babad Jawa Tengah ia disebut Ratu Kalinyamat.[5]
Bagaimana kekuasaan politik di kota pelabuhan tua Jepara dapat jatuh ke tangan penguasa baru bangsa Cina di Kalinyamat tidak dikisahkan dalam cerita-cerita. Yang diceritakan ialah, bahwa Ki Kalinyamat, seperti juga iparnya, Sunan Prawata dari Demak, dibunuh oleh Aria Panangsang dari Jipang yang ternyata bertekad untuk membinasakan semua saingannya dalam usaha menduduki tahta kerajaan Almarhum Sultan Tranggana. Makam Ki Kalinyamat dan istrinya, Sang Ratu, yang sesudah kematian suaminya masih hidup berpuluh-puluh tahun, ditemukan di tempat permakaman Mantingan, tidak jauh di sebelah selatan Jepara. Mungkin ia memerintahkan membangun makam itu sewaktu hidup menjanda, ketika ia berkuasa sebagai ratu Jepara.[6]

VI-2       Ratu Kalinyamat, ratu Jepara
Menurut cerita Jawa, sesudah Ki Kalinyamat meninggal, jandanya mengucapkan sumpah untuk tetap tidak berpakaian (hanya menutup tubuhnya dengan rambutnya yang panjang terurai) selama pembunuh suaminya, Aria Panangsang, masih hidup. Selama itu ia mengundurkan diri dan berdiam di Gunung Danareja. Sumpahnya terpenuhi dengan kemenangan Jaka Tingkir dari Pajang atas Aria Panangsang dari Jipang. (Cerita tutur tidak memberitakan bahwa Ratu kemudian menjadi istri Jaka Tingkir. Mungkin Jaka Tingkir memang iparnya, kawin dengan salah seorang putri Sultan Tranggana dari Demak, atau semula kawin dengan putri itu, seperti yang disebutkan dalam salah satu cerita babad).[7]
Bagaimanapun semuanya itu berlangsung, menurut berita Portugis, ratu Jepara tersebut merupakan tokoh penting di pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Barat sejak pertengahan abad ke-16. Pada waktu itu Sultan Pajang, Jaka Tingkir; yang akrab dengannya, telah mengambil alih kekuasaan di pedalaman Jawa Tengah dari raja Demak; Ratu itu tidak perlu khawatir lagi mendapat serangan dari pedalaman.
Tidak ada kepastian bahwa selama memegang pemerintahan alas Jepara, ratu tersebut selalu bertempat tinggal di Kalinyamat. Di pelabuhan ada juga sebuah keraton, yang di lingkungan Belanda pada permulaan abad ke-17 dikenal sebagai Koningshof  'istana raja'. Mungkin beliau bersemayam di sana; Kalinyamat mungkin dijadikan istana peristirahatan. Hal ini dapat dibandingkan dengan hubungan antara Prawata dan Demak.
Ratu Kalinyamat sendiri tidak mempunyai anak. Tetapi dari cerita-cerita tutur Jawa ternyata ia menjadi pusat keluarga Demak yang telah bercerai-berai sesudah meninggalnya Sultan Tranggana dan Sunan Prawata. Kemenakannya, Pangeran Kediri atau Pangeran Pangiri - mungkin di bawah perlindungan sukarela pamannya Sultan Pajang - masih dapat berkuasa sekadarnya di Demak. Sunan Gunungjati dari Cirebon ialah pamannya, yang kawin dengan saudara perempuan Sultan Tranggana. Putra Sunan Gunungjati, Hasanuddin (raja Banten), adalah iparnya. Ratu Kalinyamat ternyata mengasuh kemenakannya, putra Hasanuddin dari Banten. Pemuda ini diberi nama Pangeran Aria dan kemudian Pangeran Jepara; di Jepara ia diperlakukan sebagai "putra mahkota"; dan setelah bibinya (Ratu Kalinyamat) meninggal, ia memegang kekuasaan di kota pelabuhan itu. Hal ini disimpulkan dari yang dikisahkan dalam Sadjarah Banten.
Dalam pemerintahan Ratu pada perempat ketiga abad ke-16, perdagangan Jepara dengan daerah seberang menjadi ramai sekali.[8] Menurut berita Portugis, kekalahan dalam perang di laut melawan Malaka pada tahun 1512 - 1513 telah menghancurkan sebagian besar armada kota-kota pelabuhan Jawa. Dapat diduga kerugian ini lama kelamaan pulih kembali. Sudah pasti bahwa armada Jepara - bersatu dengan kapal-kapal raja Melayu di Johor - pada tahun 1551 melancarkan lagi serangan terhadap Malaka, yang juga gagal.[9] Pada tahun 1574 diadakan, untuk ketiga kalinya, serangan oleh armada Jepara yang kuat, dalam usaha merebut Malaka. Setelah mengadakan pengepungan selama tiga bulan, pemimpin armada kali ini pun terpaksa kembali ke Jawa dengan tangan hampa.[10]
 Berita Portugis lainnya melaporkan hubungan antara Ambon dan Jepara. Pemimpin-pemimpin "Persekutuan Hitu" di Ambon ternyata beberapa kali minta bantuan Jepara melawan orang Portugis dan juga melawan suku lain yang masih seketurunan, yaitu orang-orang Hative. Zaman para pelaut Jepara banyak berpengaruh dan bertindak keras di Ambon itu tetapi hanya terbatas sampai perempat ketiga abad ke-16, yakni semasa pemerintahan Ratu Kalinyamat. Sesudah itu orang Jawa yang bertindak terhadap orang Portugis di Ambon adalah pengikut Sunan Giri.[11] Selain catatan Portugis, Hikayat Tanah Hitu karangan Rijali, dalam bahasa Melayu Ambon, juga merupakan sumber tentang hubungan antara orang-orang Jawa dan Ambon. Buku-buku sejarah Jawa sama sekali tidak memberitakan peristiwa-peristiwa ini.[12]
Tahun meninggalnya Ratu Kalinyamat tidak dicantumkan dalam karya-karya tulisan Jawa. la dimakamkan dekat suami Cinanya di permakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas perintahnya sendiri, sesudah ia menjadi janda pada tahun 1549, mungkin hampir tiga puluh tahun sebelum ia meninggal.[13]

Vl-3       Tahun.tahun terakhir dinasti Jepara
Selama pemerintahannya atas Jepara yang cukup lama itu, agaknya Ratu Kalinyamat dihormati sebagai kepala keluarga Demak yang sebenarnya. Kekuasaan duniawi raja Demak yang terakhir, Pangeran Kediri, sangat sedikit; dan kekuasaan raja-raja Cirebon dan Banten baru saja muncul. Mungkin saja kekuasaan ratu di daerah-daerah Pasisir sebelah barat juga karena harta kekayaannya yang bersumber pada perdagangan yang sangat menguntungkan dengan daerah seberang, di pelabuhan Jepara.
Pada tahun 1579, Pakuwan Pajajaran - kota dalam Kerajaan Sunda di Jawa Barat yang belum masuk Islam itu - ditaklukkan oleh tentara Islam raja Banten. Mengenai kejadian ini buku-buku sejarah di Banten, misalnya Sadjarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, memuat keterangan yang cukup. Pangeran Jepara, anak Hasanuddin dari Banten, ternyata tidak ikut dalam ekspedisi melawan Pajajaran, dan Ratu Kalinyamat juga tidak disebut. Ada kemungkinan bahwa pada tahun 1579 Ratu Jepara baru saja meninggal dan bahwa kemenakannya, sekaligus anak angkatnya, Pangeran Jepara, telah menggantikannya sebagai raja.[14]
Pada tahun 1580, Molana Yusup, raja Banten dan pahlawan yang merebut Pajajaran, meninggal. la meninggalkan hanya seorang anak laki-laki yang masih di bawah umur. Menurut para penulis sejarah di Banten, Pangeran Jepara - saudara raja yang telah meninggal itu - telah menuntut haknya atas tahta Kerajaan Banten. la bersama Demang Laksamana, panglima armada, pergi dari Jepara ke Banten. Tetapi di Banten, Laksamana (sama orangnya dengan yang pada tahun 1574 bertempur melawan Malaka?) menemui ajalnya dalam perkelahian melawan perdana menteri Banten, dan Pangeran Jepara terpaksa kembali ke kerajaannya sendiri. Dengan peristiwa itu berakhirlah pengaruh pemerintahan Jepara di Jawa Barat. Sejak itu kerajaan-kerajaan Jawa Barat - Banten dan Cirebon - menempuh jalan sejarahnya masing-masing.
Tahun 1588, yang membuka jalan bagi Senapati Mataram untuk memperluas kekuasaannya di Jawa Tengah setelah meninggalnya Sultan Pajang, mungkin merupakan tahun sial bagi raja-raja terakhir di Demak dan di Kudus. Tetapi agaknya masih beberapa tahun berlalu sebelum prajurit-prajurit Mataram dari pedalaman Jawa Tengah muncul di Kota Jepara. Mungkin mereka masih merasa gentar melihat benteng yang mengelilingi kota dan benteng yang di Gunung Danareja. Pada akhir abad ke-16, menurut pelaut-pelaut Belanda (Eerste Schipvaert, jil.I, hal. 103), kebanyakan kota pelabuhan di Jawa dikelilingi tembok batu atau kayu, pada sisi yang menghadap daerah pedalaman.
Pada dasawarsa terakhir abad ke-16, kekuasaan raja Jepara di laut masih dihormati. Pada tahun 1593 ia telah memerintahkan menduduki Pulau Bawean di Laut Jawa dengan armadanya. Pada tahun 1598 ia menimbulkan kesan pada orang Belanda seakan-akan memiliki sarana kekuasaan yang luar biasa (Eerste Schipvaert, jil. I, hal. 103).
Ada kemungkinan, serangan laskar Mataram yang sudah diperkirakan itu datang pada tahun 1599; dan berakhirlah pemerintahan Pangeran Jepara. Dalam suatu surat berbahasa Belanda pada tahun 1615 (Colenbrander, Coen, jil. VII, hal. 45) terdapat kata-kata tentang destructie 'penghancuran' kota Jepara. Serangan Mataram dari pedalaman ke kota-kota pelabuhan Pasisir yang makmur itu telah mengakibatkan kerusakan yang berat. Tidak mustahil, Jepara juga menjadi korban amukan gerombolan itu. Mungkin pada kesempatan tersebut istana Kalinyamat juga dihancurkan.
Tidak ada kabar tentang nasib keluarga raja Jepara. Dalam pemerintahan raja-raja Mataram, kota pelabuhan itu - yang diperintah oleh seorang bupati yang diangkat oleh raja- pada abad ke-17 masih agak lama berfungsi sebagai tempat pertemuan antara pihak Jawa dan pihak Belanda dari Jakarta. Akhirnya peranan itu diambil alih oleh Semarang.[15]

e-books a.mudjahid chudari




[1].      Dalam Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah "Jepara" dan "Jung Mara", atau Ujung Mara yang mungkin nama tempat yang lebih tua) disebutkan cerita-cerita tutur Jawa dalam buku-buku cerita mengenai sejarah legendaris kota pelabuhan itu. Kota tersebut dahulu tempat kedudukan Sandang Garba, raja para pedagang dalam alam mitos, anak kedua Suwela Cala, penguasa di "tanah-segala asal" Medang Kamulan (atau, menurut orang-orang lain, cucu Kandi Awan, moyang mereka dalam alam mitos). Karena perdagangannya, Raja Sandang Garba mempunyai hubungan-hubungan dengan raja-raja seberang laut, dan juga dengan orang-orang Spanyol. Akhirnya di kota pelabuhannya, Jepara itu, ia diserang dan dikalahkan oleh adik bungsunya, Dandang Gendis, raja para kaum agama (Wong rapa) dalam alam dewa-dewa, yang kiranya telah memerintah di Kuripan dan Jenggala (di delta Sungai Brantas). Kemenangan ini telah dicapai oleh Dandang Gendis berkat bantuan Orang-orang Cina. Sandang Garba dimakamkan di Tayu. Penduduk-penduduk Jung Mara lalu dipindahkan ke Tuban dan hidup di tempat itu di bawah kekuasaan Tisna Yuda, seorang penguasa yang berasal dari keturunan Blora. Dengan ingatan yang samar-samar tentang peristiwa-peristiwa sejarah dari zaman kuno (serangan Cina secara tiba-tiba pada tahun 1292?). Tetapi bolehlah diambil kesimpulan bahwa kejayaan Jepara sebagai kota pelabuhan - yang dapat dianggap setara dengan Tuban dan Kuripan di delta Sungai Brantas - memang sudah terkenal sejak dulu. Tidak munculnya Demak dalam legenda ini dapat menimbulkan dugaan bahwa legenda ini berasal dari masa sebelum zaman Islam. Perlu diberitakan di sini bahwa dalam daftar silsilah yang disusun di tanah pedalaman Jawa Tengah (Salasilah ing Kadanurejan, lihat Codex LOr, no. 6686; Pigeaud, Literature, jil. 11, hlm. 408). Sandang Garba disebutkan sebagai raja Jepara dan Juwana. Dua kota pelabuhao ini letaknya yang satu di sebelah barat, dan yang lain di sebelah timur Pegunungan Muria. Mengenai hubungan antara Juwana dan Pati terhadap Jepara dan Demak sudah diuraikan sedikit dalam Bab IV-2.
[2]       Seorang gubernur Portugis di Malaka, tidak lama sesudah kekalahan armada Jepara pada tahun 1512-1513, telah mengirim berita kepada rajanya di Portugal bahwa pendapatnya orang-orang Portugis akan mampu merebut semua kota pelabuhan Jawa dengan kekuatan armada dan laskar kecil, agar dengan jalan demikian terhenti perluasan daerah agama Islam (Rouffaer, "Majapahit", hlm. 122).
[3]       Reruntahan keraton Kalinyamat (untuk sementara) telah dilukiskan oleh Dr. Bosch, (Bosch, "Kali Nyamat") berdasarkan keterangan Th.C.Leeuwendaal bahwa di daerah itu terdapat tempat-tempat yang bernama Kriyan, Pacinan, Kauman, dan Sitinggil. Pada bulan September 1678, Antonio Hurdt, waktu ia mengadakan ekspedisi dari Jepara ke Kediri, melihat kolam dengan banyak kura-kura jinak di dalamnya, di dekat Kalinyamat (Graaf, Hurdt, hlm. 110). Sejak zaman dahulu kotam dengan kura-kura itu merupakan bagian dari taman istana kerajaan Jawa.
[4]       Codex LOr, no. 6379 (Pigeaud, Literature, jil.III, hlm. 356-363) memuat pemberitaan yang aneh dan panjang lebar mengenai pengalaman-pengalaman seorang Cina yang mendirikan Kalinyamat, yang nama Cinanya (sesudah dijawakan) Wintang, dan sesudah masuk Islam di Kudus lalu memakai nanra Rakit. Secara tegas diberitakan bahwa si korban kecelakaan kapal, yang telah kehilangan segala harta miliknya itu, di Kudus lalu ditolong dalam pelajaran bahasa setempat oleh orang yang setanah asal dengan dia, dan yang telah masuk Islam lebih dulu, Rakim namanya. Cerita ini agaknya layak dipercaya; kedudukan penting, yang telah ditempati oleh "orang-orang Cina" yang telah bertobat (masih belum diketahui, mereka itu berasal dari daerah pantai yang mana dari Indocina atau Cina sekarang) sejak abad ke-15 di daerah-daerah pantai Jawa, yang makin lama makin menjadi daerah Islam itu, telah berkali-kali diberitakan. Mungkin korban kecelakaan kapal yang telah bertobat itu di Kudus secara materiil telah ditolong dengan hasil "zakat", yaitu sumbangan keagamaan yang oleh hukum Islam diwajibkan bagi "orang-orang alim", yang antara lain dimaksudkan untuk membiayai keperluan-keperluan serupa itu.  Cerita-cerita tentang "orang-orang Cina", dan pemberitaan tentang pendiri Kahnyamat ini dalam Codex LOr, no. 6379 (salinan naskah KBG, no. 7 di Museum Nasional di Jakarta), menimbulkan dugaan bahwa naskah ini setidak-tidaknya berasal dari lingkungan orang-orang Islam di sebuah kota pelabuhan Jawa Tengah (mungkin juga Jepara sendiri), yang pada abad ke-17 dan ke-18 masih mengingat balk-balk bahwa sebagian dari golongan penduduk terkemuka yang berdagang berasal dari orang "Cina".
[5]       Perkawinan anak perempuan Sultan Tranggana dari Demak dengan "orang Cina", juragan kapal, yang telah masuk Islam, merupakan contoh "percampuran darah" dan pemerataan masyarakat, yang telah terlaksana di Jawa karena datangnya agama Islam yang diterima baik belum lama sebelumnya. Kedudukan penting, yang ditempati kisah-kisah petualangan Islam dalam kesusastraan Jawa pada zaman Pesisir, telah mendapat perhatian dalam Pigeaud, Literature, jil.I, hlm. 219 dan seterusnya. Perkawinan-perkawinan antara petualang-petualang yang penuh semangat dan gadis-gadis dari kalangan bangsawan yang tertinggi dalam cerita-cerita itu hampir-hampir tidak dianggap luar biasa, asal saja agama Islam oleh kedua belah pihak diakui sebagai pedoman hidup mereka. Sebaliknya, menurut cerita tutur, Sultan Tranggana sendiri adalah keturunan pelaut dari "Cina", yang mungkin pada perempat terakhir abad ke-15 - jadi belum lagi genap 75 tahun sebelumnya - di Gresik untuk pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Jawa (lihat Bab 11-03). Jadi, ada kemungkinan bahwa ia telah mengetahui juragan Wintang/Ki Rakit itu adalah orang yang setanah asal dengan dia.
[6]       Tempat permakaman Mantingan atau Pamantingan dekat Jepara telah dilukiskan dalam Oudheidkundig Verslag. Mihrab pada masjid di dekatnya dapat ditanggalkan karena sebuah batu di dalamnya memuat inskripsi candra sengkala: rupa-brahmanawarna-sari. Candra sengkala ini jelasnya menunjukkan tahun Jawa 1481(1559 M.; lihat Oudheidkunda'g Verslag). Tahun 1559 ini, sepuluh tahun sesudah meninggalnya Sunan Prawata dan Ki Kalinyamat, termasuk kurun waktu pemerintahan Ratu Kalinyamat di Jepara. Gaya hiasan di Mantingan, seperti juga menara di Kudus, dengan mencolok mengingatkan kembali kepada masa "kafir" sebelum zaman Islam. Tahun Jawa 1481 ini juga diperhitungkan menurut tahun Saka sebelum zaman Islam. Penyesuaian tahun Saka (yang mulai pada tahun 78 M.) dengan tarikh Islam (tahun berdasarkan bulan) memang dianggap hasil usaha Sultan Agung dari Mataram, pada paruh pertama abad ke-17. Menurut kenyataan, perhitungan tahun Jawa Islam yang aneh ini sebelum itu sudah dipakai dan kemudian diresmikan olehnya (Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 32).  Di Jepara keinginan untuk melestarikan peradaban Jawa ternyata kuat, seperti juga di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur lain. Ada kemungkinan, Pamantingan itu sebelum zaman Islam sudah menupakan tempat keramat, tempat orang menghormat seorang dewi, yang terkenal dengan nama Nyai Lara Kidul (lihat cat. 18). Mungkin orang-orang Jawa abad ke-17 telah mencari kaitan-kaitan tertentu antara dewi dalam cerita mitos itu dan tokoh legenda Ratu Putri dari Jepara, yang armada-armadanya menguasai semua lautan.
[7]       Cerita, yang dalam cerita-cerita Babad Jawa Tengah diromantisir, mengenai kematian Sunan Prawata dari Demak dan pertempuran antara Aria Panangsang dari Jipang dan Jaka Tingkir dari Pajang, beserta karangan-karangan Brandes dan Rinkes yang berkaitan dengan cerita-cerita itu, telah dikemukakan dalam cat. 73 sebelum ini. Sampai di mana legenda tentang sumpah janda itu berdasarkan kebenaran tentu saja tidak dapat diteliti lagi. Gunung (Bukit) Danareja itu adalah suatu tanjung, yang menjorok ke laut di sebelah utara Jepara. Pada abad ke-17 pelaut-pelaut Belanda telah melihat benteng-benteng pertahanan di situ; pada tahun 1677 bangunan-bangunan ini ternyata kuat menahan serangan pengepungan orang-orang Madura di bawah pimpinan Trunajaya. Pada paruh pertama abad ke-19 di tempat itu oleh Kompeni didirikan benteng segitiga, yang reruntuhannya masih dapat ditunjukkan (tembok berkeliling dengan sarang-sarang penyerangan berupa bastion dan pintu gerbang). Dapat diperkirakan bahwa Ratu Putri itu waktu itu telah menjadi janda dan khawatir kalau-kalau mendapat serangan dari Aria Panangsang, mengungsi dari Kalinyamat ke bukit yang telah diperkuat tersebut. Bukankah Kalinyamat terletak dekat saja dari Kudus, dan bukankah Sunan Kudus adalah sahabat.Aria Panangsang? Selain itu legenda tentang Ratu Putri di atas bukit yang tidak berbusana dan yang menunggu-nunggu datangnya bantuan, mengingatkan kita pada dongeng, atau bahkan kepada mitos tentang Ratu Putri di Laut Selatan, Nyai Lara Kidul, yang merupakan kepercayaan orang-orang di daerah sepanjang pantai selatan Jawa (chat juga cat. 113 dan cat. 18). Adapun gunung dengan namanya Danareja yang sukar dijelaskan itu, diketahui bahwa di Brebes agaknya orang kenal akan "makam" Pangeran Danareja (Codex L0r, no. 7545; Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 18).
[8]       Sejarah ekonomi kota-kota pelabuhan Jawa pada abad ke-16 telah dibicarakan dalam Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm. 103-115), dengan menggunakan keterangan-keterangan yang terdapat pada Suma Oriental, karangan Tome Pires. Lebih dahulu dalam buku ini telah kita nyatakan bahwa pertempuran-pertempuran laut dalam perebutan Malaka pada tahun-tahun 1512-1513, 1551, dan 1574-1575, yang sangat berkesan pada orang-orang Portugis, tidak diberitakan dalam cerita-cerita sejarah Jawa. Alasan utama mungkin adalah kekurangan perhatian pada masalah-masalah perekonomian dan perdagangan dari pihak para pengarang Jawa dan para penutur cerita Jawa. Bagi mereka serta para pembaca dan pendengar cerita-cerita itu, tidak ada yang lebih menarik daripada perbuatan-perbuatan tokoh-tokoh penting, raja-raja dan orang-orang suci, dan juga nenek moyang dan keturunan-keturunan mereka. Dapat juga diduga bahwa ekspedisi-ekspedisi ke seberang lautan yang dilakukan para raja kota-kota pelabuhan Jawa merupakan suatu bahaya besar bagi orang-orang Portugis di Malaka, namun kegagalan para raja dianggap sepi saja di Jawa, seperti halnya kerugian-kerugian akibat bencana-bencana lain (gempa bumi, banjir, dsb.), tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang berarti terhadap jalan kehidupan masyarakat. Hanya serangan-serangan yang penuh kebengisan terhadap bumi Jawa, yang dilakukan oleh orang-orang asing, itulah yang tetap hidup dalam cerita-cerita tutur sebagai kenang-kenangan pahit. Serangan-serangan orang Cina pada tahun 1292 dan oleh orang Belanda pada permulaan abad ke-17 telah dicatat oleh sejarah. Karenanya, dapat diperkirakan bahwa cerita Ajisaka akhirnya akan terbukti mempunyai dasar yang nyata juga (Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 165).
[9]       Perang-perang di laut telah diuraikan dalam tulisan-tulisan sejarah Portugis, yang  telah dikumpulkan oleh De Couto (Couto, Da Asia, jil. VI, hlm. IX dan 5 dan jil. VIII, hlm. XXI); juga Tiele (Tiele, "Europeers", bagian III, hlm. 320-321) menaruh banyak perhatian pada soal itu. Dalam pada itu, Sultan 'Ala ad-Din Shah yang tersohor itu, yang telah membuat Kerajaan Aceh-nya menjadi kerajaan yang sangat berkuasa di laut, pada tahun 1547 telah pula melakukan serangan terhadap Malaka, tetapi gagal. Pada tahun 1564 ia telah berhasil menduduki Johor, dan pada tahun itu juga dengan perantaraan perutusannya ia mengajak Demak untuk bersama-sama menyerang Malaka. Tetapi raja Demak ini, boleh jadi Pangeran Kediri, pengganti Susuhunan Prawata, kiranya menolak usul Aceh ini (lihat Bab III-3). Serangan 'Ala ad-Din yang terakhir terhadap Malaka, pada tahun 1568, juga gagal, sekalipun ia telah menggunakan meriam berkaliber berat atas bantuan Sultan Turki. Utusan-utusan Venesia telah bertemu dengan utusan Aceh di Konstantinopel pada tahun 1562, yang datang untuk minta bantuan Sultan terhadap orang-orang kafir. Pengganti sultan besar itu, 'Ali Ri'ayat Shah, setelah armada Jepara mengundurkan diri karena gagal serangannya, telah mencoba lagi pada tahun 1575 merebut Malaka dengan pejuang-pejuang Aceh lainnya, tetapi serangan ini gagal juga. Juga pada tahun 1574-1575 itu tidak ada kerja sama antara orang-orang Jawa dari Jepara dan orang-orang Aceh.
[10]     Laksamana armada Jepara oleh orang-orang Portugis diberi nama Quilidamao. Mungkin nama ini merupakan blasteran untuk Kiai Demang, gelar Jawa. Di Jepara gelar Kiai Demang Laksamana diberikan kepada pemimpin armada dan pemimpin laskar perang. Sesudah masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, gelar tinggi ini masih diberikan juga pada tahun 1619 kepada bupati Jepara, yang ikut berperang merebut Tuban, dan pada tahun 1677 sekali lagi kepada bupati Karti Yuda (Hoorn, Notitie, hlm. 14).
[11]     Lihat Couto, Da Asia, jil. VIII, hlm. XXV dan 196; jil. VII, hlm. X dan 543
[12]     Hikayat Tanah Hitu karangan Rijali telah banyak dipakai oleh Valentijn dalam menulis buku sejarahnya. Tentang hidup Rijali ini diceritakan Valentijn pula hal-hal yang khusus. Lama sekali edisi Melayu buku Rijah tersebut dianggap hilang. Tetapi sekarang sudah tersedia sebuah salinan naskah ini (Codex LOr, no. 8756) yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Pada tahun 1977 diterbitkan sebuah disertasi yang membahas naskah edisi Melayu itu (Manusama, Hikayat).
[13]     Raden Ajeng Kartini, wanita Jawa lain yang namanya tidak dilupakan, dan yang juga mempunyai hubungan dengan Jepara, dalam kumpulan catatannya (Kartini, Door duisternis) telah bercerita tentang kunjungannya ke tempat permakaman Mantingan. la diberitahu bahwa "Sultan Mantingan" pernah pergi ke Cina, dan bahwa ukir-ukiran dalam rumah-rumahan di situ agaknya juga berasal dari Cina. Pemberitaan ini dapat diragukan, tetapi membuktikan juga bahwa pada permulaan abad ke-20 ingatan pada pengaruh kebudayaan Cina di Jepara masih hidup.
[14]     Menurut cerita tutur Banten yang cukup tua (lihat Bab III-1), Ratu Kalinyamat memakai nama Ratu Pajajaran. Sudah pasti bahwa ia tidak pernah memerintah Pajajaran. Apabila cerita tutur ini mempunyai dasar kebenaran, maka dapat diduga bahwa di Keraton Demak pada pertengahan abad ke-16 sudah ada kebiasaan untuk memberikan nama gelar kepada para pangeran atau putri keturunan raja yang menunjuk ke daerah-daerah yang jauh letaknya (mungkin dengan harapan agar mereka yang memakai gelar demikian itu kelak dalam hidupnya benar-benar akan mendapatkan daerah tersebut). Nama gelar Pangeran Kediri, nama gelar bagi anak dan sekaligus pengganti Susuhunan Prawata dari Demak, juga merupakan contoh pemberian nama serupa itu. Kebiasaan ini telah diambil alih oleh raja-raja di Mataram. Pangeran Mataram pertama yang diberi sebutan Pangeran Puger ialah anak Panembahan Senapati. Tidak ada alasannya untuk mengakui bahwa sekitar tahun 1600 kekuasaan Mataram sudah meluas sampai meliputi daerah Puger yang amat jauh letaknya itu, yaitu di pedalaman Jawa Timur.
[15]     Masih perlu diberitakan bahwa Jepara dalam abad ke-19 dan ke-20 telah menjadi terkenal berkat pembuatan perabot-perabot dan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya dari kayu yang dihiasi ukir-ukiran yang penuh bergaya seni. Rumah-rumah Jawa kuno di Kudus sekarang (atau dahulu) sering juga mempunyai dinding depan dari kayu dengan pintu dan jendela-jendela, yang semuanya diberi bingkai kayu dengan ukir-ukiran indah. Penduduknya, pedagang-pedagang dan pengusaha-pengusaha kayu, yang tergolong lapisan menengah "yang saleh", dengan hiasan-hiasan ini ingin menyatakan kemakmuran mereka dalam kehidupan masyarakat. Orang boleh bertanya-tanya dalam hati apakah kesenian mengukir kayu, yang telah mencapai tingkat perkembangan tinggi di Kudus dan Jepara mungkin juga berasal dari kalangan orang-orang Cina pendatang, yang pada abad ke-15 dan ke-16 (dan mungkin sudah sebelumnya) sudah banyak terdapat di daerah-daerah ini. Dalam legenda Jawa mengenai penduduk ash di daerah itu, tempat didirikannya "kota suci" Kudus kemudian, tampil juga seorang utas pengukir kayu.

0 Response to "Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Jepara/Kalinyamat"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel