Lahirnya dan Masa Kejayaan Kerajaan Demak pada Dasawarsa-Dasawarsa Terakhir Abad ke-15 dan pada Paruh Pertama Abad ke-16





Lahirnya dan Masa Kejayaan Kerajaan Demak pada Dasawarsa-Dasawarsa Terakhir Abad ke-15 dan pada Paruh Pertama Abad ke-16


II-1  Letak Demak, ekologi
Letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun untuk pertanian. Pada zaman dahulu Distrik Demak terletak di pantai selat yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas itu untuk berlayar ke Rembang.. Tetapi sudah sejak abad ke-17 jalan pintas itu tidak lagi dapat dilayari setiap saat.[1]
Pada abad ke-16 agaknya Demak telah menjadi tempat penimbunan perdagangan padi, yang berasal dari daerah-daerah pertanian di sebelah-menyebelah selat tersebut, dengan perairannya yang tenang, untuk pelayaran. Konon, Kota Juwana, di sebelah Timur, sekitar tahun 1500 merupakan pusat seperti itu bagi daerah tersebut. Tetapi menurut Tome Pires (Pires, Suma Oriental, I, hal. 189), sekitar tahun 1513 Juwana telah dihancurkan dan dikosongkan oleh Gusti Patih, panglima besar Kerajaan Majapahit yang bukan Islam. Ini tentu merupakah suatu pengerahan tenaga terakhir kerajaan yang sudah tua itu. Setelah jatuhnya Juwana, Demak menjadi penguasa mutlak selat di sebelah selatan Pegunungan Muria.
Jepara terletak di sebelah barat pegunungan, yang dahulu adalah pulau (Muria). Jepara mempunyai pelabuhan yang aman yang (semula) dilindungi oleh tiga pulau kecil. Letak pelabuhan Jepara sangat menguntungkan bagi kapal-kapal dagang yang lebih besar, yang berlayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku dan kembali ke barat. Pada abad ke-17, ketika jalan pelayaran pintas di sebelah selatan pegunungan ini tidak lagi dapat dilayari dengan perahu-perahu yang lebih besar karena telah menjadi dangkal oleh endapan lumpur, maka Jepara menjadi pelabuhan Demak. Pada abad ke-16 dan ke-17 kedua kota itu merupakan dwitunggal yang berkuasa.
 Yang menjadi penghubung antara Demak dan daerah pedalaman di Jawa Tengah ialah Sungai Serang (dikenal juga dengan nama-nama lain), yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara. Sungai itu pada abad ke-18 masih tetap dapat dilayari dengan perahu-perahu dagang yang agak kecil, setidak-tidaknya hingga Godong. Anak-anak sungainya bersumber di Pegunungan Kapur Tengah. Di sebelah selatan pegunungan tersebut terletak daerah-daerah tua Jawa Tengah, yaitu Pengging dan Pajang. Jalan-jalan yang cukup baik dilalui pedati melalui daerah batas perairan yang rendah dari lembah Sungai Serang dan Lusi menuju ke lembah bengawan, yaitu Bengawan Solo, yang merupakan penghubung antara Jawa Tengah sebelah selatan dan Jawa Timur.[2]
Hasil panen sawah di daerah Demak rupanya pada zaman dahulu pun sudah baik. Kesempatan untuk menyelenggarakan pengairan cukup. Lagi pula, persediaan padi yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan untuk perdagangan masih dapat ditambah oleh para penguasa di Demak tanpa banyak susah, apabila mereka menguasai jalan penghubung di pedalaman Pengging dan Pajang.

II-2  Sumber-sumber penulisan sejarah pemerintahan raja-raja Demak yang pertama, legenda dan sejarah
Lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah, di Demak, sejak abad ke-17 mendapat perhatian para pembawa cerita dan para penulis sejarah Jawa. Pada abad ke-17 hegemoni di Jawa Tengah dan Jawa Timur jatuh ke tangan raja-raja Mataram di pedalaman. Banten, di Jawa Barat, tidak pernah takluk kepada Mataram; tetapi kerajaan-kerajaan bandar lainnya di sepanjang pantai utara Jawa selama abad ke-17 semuanya telah direbut Mataram, atau terpaksa mengakui kekuasaan raja-raja Mataram. Lahirnya dan lamanya kekuasaan keluarga raja Islam kedua yang besar di Jawa Tengah (Mataram), di "Daerah Raja-Raja Jawa Tengah" (De Vorstenlanden), telah mempengaruhi penulisan sejarah Jawa pada abad ke-17 dan abad-abad berikutnya sedemikian rupa, sehingga zaman sebelum Mataram dianggap kurang penting. Cerita-cerita babad pada abad-abad sebelum munculnya raja Mataram pertama dipenuhi dengan legenda yang menghubungkan munculnya Kerajaan Demak dengan runtuhnya Majapahit dari zaman pra-Islam. Raden Patah, atau Fattah, atau Victor menjadi pahlawan besar dalam legenda-legenda ini.
 Bukanlah maksud buku ini untuk membicarakan asal usul legenda tentang Majapahit dan Demak itu, atau cara legenda tersebut diolah dalam cerita-cerita babad Mataram. Cukuplah kiranya dicatat di sini bahwa cerita-cerita itu terdapat dalam buku-buku cerita (Serat Kandha), yang mungkin pada abad ke-17 sudah dikenal di Jawa Timur dan di Pesisir.[3]
Meskipun sifat legendaris - dan kadang-kadang sifat mirip dongeng khayalan - cerita-cerita tersebut kentara sekali, penulisan sejarah Jawa oleh orang-orang Belanda selama abad ke-19 dan lebih lama berdasarkan buku-buku cerita dan cerita babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah tersebut, karena tidak ada sumber lain yang lebih baik. Baru akhir-akhir ini, karena ditemukannya Suma Oriental terbukalah kemungkinan menyusun sejarah Demak yang lebih dapat dipercaya (lih. cat. 14). Ternyata, pemberitaan Pires sesuai dengan apa yang diungkapkan dalam buku-buku sejarah Banten, Jawa Barat. Redaksi buku-buku itu, yang berasal dari abad ke-18, sedikit banyak terpengaruh oleh tradisi kesusastraan Mataram, tradisi Jawa Tengah yang berkuasa. Tetapi buku-buku itu masih memuat unsur-unsur lama, yang mengungkapkan peristiwa sejarah lebih baik daripada legenda-legenda yang tersebar luas.[4]
Antara Tome Pires dan buku-buku sejarah Jawa Barat terdapat kesesuaian dalam hal pemberitaan bahwa dinasti Demak dimulai dengan tiga orang raja berturut-turut. Demi kejelasan, di sini lebih dulu disebutkan daftar nama raja-raja tersebut menurut para penulisnya. Dalam bagian-bagian berikut akan dibicarakan berita-berita tentang kehidupan dan kegiatan para raja tersebut.

Tome Pires menyebutkan:
1.    Moyang, yang tidak disebut namanya, berasal dari Gresik,
2.    Pate Rodin Sr.,
3.    Pate Rodin Jr.

Sadjarah Banten, buku sejarah Banten yang terbesar, menyebutkan (Djajadiningrat, Banten, hal. 21):
1.    Patih raja Cina yang tidak disebut namanya,
2.    a.    Cun-Ceh, meninggal dalam usia muda;
b.    Cu-Cu, juga disebut Arya Sumangsang dan Prabu Anom,
3.    Ki Mas Palembang.

Hikayat Hasanuddin, juga disebut Sadjarah Banten rante-rante, buku sejarah Banten yang lebih kecil, tetapi sangat penting, menyebutkan:
1.    Cek Ko-Po dari Munggul,
2.    a. Pangeran Wirata, meninggal muda,
       b. Pangeran Palembang Tua, meninggal muda,
       c. Cek Ban-Cun,
       d. Pangeran Palembang Anom, juga disebut Molana Arya Sumangsang,
3.    Molana Tranggana, putra dari 2-d.

Musafir Belanda, Cornelis de Bruin, pada tahun 1706 telah mengunjungi Banten; di situ kepadanya diserahkan keterangan-keterangan keturunan berikut ini (yang tampaknya merupakan kutipan dari Hikayat Hasanuddin).
1.    Co-Po dari "Moechoel",
2.    Arya Sumangsang,
3.    Arya Tranggana.

Sebagai bahan perbandingan, di bawah ini masih disebutkan tiga orang yang, menurut legenda Mataram, bertindak sebagai raja Demak. Nanti sekali-sekali akan disinggung kesesuaian antara tiga orang ini dan tritunggal dari buku-buku sejarah Jawa Barat:
1.    Raden Patah,
2.    Pangeran Sabrang-Lor,
3.    Pangeran Tranggana.

II-3 Penguasa tertinggi Islam yang pertama di Demak, lagenda dan sejarah
Menurut cerita tradisi Mataram Jawa Timur, raja Demak yang pertama - Raden Patah - adalah putra raja Majapahit yang terakhir (dari zaman sebelum Islam), yang dalam lagenda-lagenda bernama Brawijaya. Ibu Raden Patah konon seorang putri Cina dari keraton raja Majapahit. Waktu hamil putri itu dihadiahkan kepada seorang anak emasnya yang menjadi gubernur di Palembang. Di situlah Radeh Patah lahir.
 Dari cerita yang cukup rumit ini ternyata bahwa para pembawa cerita menganggap kesinambungan sejarah dinasti (Majapahit - Demak) itu sangat penting. Yang istimewa ialah tentang keturunan Cina dan asal dari Palembang.
Apa yang oleh Pires diceritakan dalam bukunya Suma Oriental, berdasarkan cerita-cerita yang didengarnya di Jawa pada permulaan abad ke-16, pada pokoknya ialah sebagai berikut. Kakek raja Demak yang memerintah pada tahun 1513 adalah seorang "budak belian" dari Gresik (Pires, Suma Orientai, hal. 183-184); yang dimaksud dengan "budak belian" ialah kawula, abdi.[5] Orang dari Gresik ini konon telah mengabdi kepada penguasa di Demak pada waktu (raja bawahan dari maharaja Majapahit?). Orang itu oleh penguasa di Demak diangkat menjadi Capitan, dan kemudian ditugasi memimpin ekspedisi melawan Cirebon, yang waktu itu masih "kafir". Cirebon dapat direbut pada tahun 1470; dan Capitan yang telah mendapat kemenangan itu dihadiahi gelar pate oleh tuannya. (Pires banyak menyebut pate rupanya yang dimaksud itu "patih".[6]
Menurut Pires, pada tahun 1513 yang memegang kekuasaan di Cirebon adalah seorang lebe Uca (= Husain? Jadi, patih dari Demak itu -tidak mendirikan dinasti di Cirebon?).
Di tempat lain dalam bukunya (hal. 424) Pires menulis tentang orang dari Gresik itu elle veio teer a Dema, yang oleh penerbitnya berkebangsaan Portugis, Cortesao, diterjemahkan menjadi he happened to go to Demak (Di mana pun Pires tidak pernah mengatakan dengan tegas bahwa orang dari Gresik itu orang Islam. Tetapi tempat asal Gresik, pusat tertua agama Islam di Jawa Timur, dapat merupakan petunjuk keislamannya).
Karya besar Sadjarah Banten memuat riwayat-riwayat Jawa Barat, meskipun (kemudian) bercampur dengan sisipan-sisipan tradisi Jawa Timur dan Mataram. Dalam cerita tentang Aria Damar dari Palembang dalam Sadjarah tadi, terdapat suatu fragmen mengenai raja-raja pertama di Demak (Djajadiningrat, Banten, hal.19-20 dan 24-25). Di Cina, muncul seorang Syekh Jumadilakbar, yang memasukkan raja ke agama Islam.[7] Usaha itu tidak berhasil. Suara dari surga menyatakan bahwa raja Cina akan tetap kafir. Konon, Jumadilakbar kemudian berangkat ke Jawa dengan menumpang kapal seorang dari Gresik. Tetapi setelah Jumadilakbar berangkat, rupanya raja Cina itu yakin akan keunggulan agama Islam. Konon, Syekh Jumadilakbar menanam biji durian di darparagi (alun-alun) raja, yang secara menakjubkan cepat tumbuh menjadi pohon: Raja Cina itu mengutus patihnya, untuk mencari dan mengajak kembali syekh yang sudah berangkat itu. Patih telah mencarinya di Siam, Samboja, Sanggora, dan (Pulau) Atani, hingga akhirnya sampai juga di Gresik. Tetapi syekh itu ternyata sudah menghilang. Di Gresik konon patih Cina bersama kedua putranya, Cun-Ceh dan Cu-Cu, masuk lslam. Patih itu dan seorang putranya, Cun-Ceh, meninggal di Gresik. Menurut cerita, Cu-Cu kemudian dapat mencapai kedudukan dan kehormatan tinggi.
Buku sejarah Banten lain yang penting, Hikayat Hasanuddin, tidak memuat cerita-cerita yang panjang lebar, tetapi banyak nama dan tahun kejadian. Teks itu menyebutkan nama moyang Cina tersebut, Cek Ko-Po dari Munggul.
Cek ini tentu kata Cina, yang - menurut Kamus Melayu, susunan Klinkert, berarti "paman". Dalam bahasa Melayu kata itu, dalam bentuk "encek", masih dipergunakan sebagai kata sapa yang sopan: tuan, nyonya. Kata "Munggul" ini mengingatkan kita akan kata "Mongolia". Nama "Moechoel", yang disebut musafir Cornelis de Bruin, mungkin salah lafal dari kata itu juga.
 Seorang Belanda lain dari abad ke-17, Hendrick van der Horst, juru bahasa VOC di Batavia menulis bahwa - menurut keterangan seseorang - moyang tersebut berasal dari "tanah Mogael, berbatasan dengan Arabia". Rupanya, beberapa nama geograffis yang sedikit mirip dikacaukan.
Berdasarkan beberapa berita abad ke-17 dan yang dari Jawa Barat -yang jarang tetapi sangat menarik perhatian itu - dapat kita simpulkan bahwa asal usul dinasti Demak itu dari "Cina" pada waktu ini dapat dipercayai. la sudah memeluk agama Islam ketika menetap di daerah Demak, dan ia meningkat menjadi "patih" raja (siapa pun orangnya). Konon, ia datang dari Jawa Timur (Gresik) dan menetap di Demak. Dapat pula dipercaya bahwa selama hidup ia tidak hanya mengakui kekuasaan penguasa setempat (gubernur atau bawahan raja Majapahit). la sendiri konon belum menjadi raja, melainkan orang berpengaruh yang berasal dari Cina, yang termasuk golongan pedagang menengah yang berada. Ia hidup di Demak pada perempat terakhir abad ke-15.

II-4 Penguasa Islam kedua di Demak, lagenda dan sejarah
Dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari Jaws Timur dan Jawa Tengah, raja Demak kedua sebagai pengganti Raden Patah yang legendaris itu disebut Pangeran Sabrang-Lor. Nama itu ternyata berasal dari daerah tempat tinggalnya di "Seberang Utara". Tidak ada yang luar biasa disebut dalam cerita babad tentangnya.
Dalam buku Tome Pires, Suma Oriental, yang muncul sebagai raja kedua di Demak ialah Pate Rodim (atau Rodin) Sr. (hal:195). Pires menyebutnya persona de grande syso "orang yang tegas-dalam mengambil keputusan" dan cavaleiro "seorang kesatria" bangsawan, dan teman seperjuangan Pate Zeinall atau Zeynall dari Gresik; patih tertua di Jawa. Menurut Pires banyak saudara perempuan dan putri Pate Rodin Sr. yang kawin dengan patih-patih terkemuka.
Tentang tindakannya sebagai negarawan juga hanya sedikit yang diceriterakan dalam buku Pires. Konon ia mempunyai armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung. Semua berasal dari daerah-daerah taklukannya (hal. 185). Secara lihai ia telah berhasil mencaplok Jepara (di sebelah utara Sindang Laut).
Dalam Sadjarah Banten, penguasa di Demak itu disebut-sebut sehubungan dengan sejarah Palembang (hal. 21). Ki Dilah, raja taklukan dari Palembang, agaknya telah mengabaikan kewajibannya untuk menghadap maharaja di Majapahit memerintahkan penguasa di Demak, Cu-Cu namanya, untuk menertibkan penguasa di Palembang. Usaha itu berhasil: Ki Dilah tunduk waktu Cu-Cu muncul di Palembang dengan membawa gong Mesa Lawung; dikiranya maharaja sendiri yang datang. la ikut pergi ke Majapahit. Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, Cu-Cu diberi gelai Aria Sumangsang. Maharaja bahkan telah menghadiahkan kepadanya seorang putri Majapahit sebagai istri.
Sadjarah Banten mengabarkan lebih lanjut: Konon, kemudian Arya Dilah dari Palembang membangkang lagi. Sekali lagi Cu-Cu Sumangsang dikirim oleh maharaja untuk menghadapinya. Dan untuk kedua kalinya Cu-Cu berhasil menundukkan Ki Dilah dengan menggunakan nyala api keris pusaka "Kala Cangak". Sebagai hadiah atas kemenangannya yang kedua ini, Cu-Cu Sumangsang dihadiahi gelar mulia Prabu Anom oleh maharaja Majapahit. Anaknya, yang sementara itu lahir, pada kesempatan itu telah diberi nama Ki Mas Palembang.
 Dalam buku Sadjarah Banten (Djajadiningrat, Banten, hal. 22) cerita itu kemudian masih disusul oleh pemberitaan bahwa Prabu Anom di Demak yang beragama Islam itu kiranya telah mencoba menarik raja masuk agama Islam. Tetapi raja yang sudah tua itu menolak. Dengan ini berakhirlah bagian cerita tentang Cu-Cu dari Demak dalam Sadjarah Banten.
Namun buku Sadjarah Banten ini sesudah itu (hal. 25) masih juga memuat cerita lain yang menyangkut Demak. Orang kudus dari Ngampel Denta telah mengutus salah seorang muridnya untuk mendirikan permukiman Islam di Bintara (dekat Demak). Permukiman ini dalam waktu singkat telah berkembang menjadi kota penting. Hal ini terdengar oleh Lembu Sora, dan telah dilaporkannya kepada raja Majapahit. Perintis itu oleh raja Majapahit diberi gelar "tandha di Bintara".[8]
Cerita dalam Sadjarah Banten lebih lanjut mengisahkan: konon tandha di Bintara bersama pengikut-pengikutnya yang beragama Islam telah merencanakan suatu komplotan untuk melawan raja yang kafir itu. Pada suatu malam mereka menyerang raja di istananya. Raja gugur, tetapi anaknya, Lembu Peteng, selamat. Menurut cerita, Lembu Peteng kemudian oleh tanda di Bintara dijadikan anak angkatnya.[9]
Hikayat Hasanuddin menandaskan bahwa penguasa kedua di Demak itu dikenal juga dengan nama Aria Sumangsang, dan menyebut juga sehubungan dengan tindakannya nama kota "Palembang".
Dari pemberitaan Pires itu serta buku-buku sejarah Jawa Barat, tidak banyak yang dapat dinyatakan dengan pasti tentang kehidupan penguasa kedua di Demak itu. Tentu saja penting juga diketahui kapan Demak menjadi kerajaan Islam yang merdeka. Apabila benar bahwa Cek Ko-Po, moyangnya, masih hidup di bawah kekuasaan penguasa setempat di Demak, kiranya dapat diduga bahwa penggantinya, yaitu Cu-Cu Sumangsang, telah berhasil memerdekakan diri. Tetapi Pires tidak memberitakan hal itu. Cerita yang dikisahkan dalam Sadjarah Banten mengenai tanda di Bintara - yang katanya telah menyerang dan membunuh seorang raja - mungkin mengandung kenangan tentang apa yang sudah terjadi. Pemberitaan Pires, bahwa dalam beberapa hal golongan menengah yang beragama Islam menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan kekuasaan "kafir" supaya dapat mengambil alih kekuasaan itu, mungkin mengacu ke Demak. Perkembangan itu konon telah terjadi menjelang berakhirnya abad ke-15 atau pada awal abad ke-16.

ll-5. Raja Demak yang ketiga, Sultan Tranggana, legenda dan sejarah
Menurut cerita Jawa Timur dan Mataram dalam buku-buku cerita Serat Kandha dan cerita babad, penguasa Demak yang ketiga bernama Tranggana atau Trenggana. la adalah saudara sultan sebelum dia, Pangeran Sabrang-Lor; kedua-duanya putra penguasa pertama, Raden Patah yang terkenal itu. Menurut cerita yang beredar di kalangan pengagum orang-orang suci,Tranggana telah mengundang Sunan Kalijaga dari Cirebon untuk menetap di Kadilangu dekat Demak. (Pada abad ke-17 Sunan Kalijaga dianggap sebagai rasul Islam dan pelindung Jawa Tengah sebelah selatan).
Dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari Jawa Tengah, Tranggana dan ayahnya (Raden Patah) diberi nama sesuai dengan nama tempat yang mungkin terletak dekat Demak, yaitu Jimbun. Dalam cerita-cerita ini terdapat seorang panembahan Jimbun, bahkan seorang Sultan Bintara Jimbun dan Jimbun Sabrang.[10]
Menurut cerita dalam Serat Kandha (hal. 327), seorang raja Demak pada tahun Jawa 1429 (1507 M.) - tahun ketiga pemerintahannya -telah hadir pada peresmian Masjid Raya di Demak (lihat juga penutup Bab I-7). Besar kemungkinan raja itu memang Tranggana yang dikisahkan dalam cerita; ia konon pada tahun 1504 telah memegang pemerintahan.
Mengenai Tranggana (raja Demak itu), ada berita-berita Portugis (lihat Bab 11-15) yang mengabarkan bahwa pada tahun 1546 ia gugur dalam ekspedisi ke Panarukan, di ujung timur Jawa. Usahanya untuk menggabungkan kota pelabuhan yang "kafir" itu ke wilayahnya dengan kekerasan ternyata gagal. Andai kata cerita tradisi ini berdasarkan kebenaran - dan tampaknya memang demikian - maka Tranggana memegang pemerintahan 42 tahun lamanya.
Mungkin Tranggana dari Demak (kalau tidak, keluarganya yang bernama Pangeran Sabrang) dapat dijumpai lagi dalam cerita tradisi yang berasal dari daerah pedalaman Banyumas, di perbatasan dengan daerah Pasundan, yaitu yang disebut Babad Pasir.[11] Menurut cerita itu, raja Pasir yang namanya Banyak Belanak dengan sukarela memeluk agama Islam dengan perantaraan seorang suci bernama Makdum. 0rang suci Islam Makdum tersebut telah diutus oleh raja Demak ke daerah pedalaman justru dengan maksud itu. Raja Pasir, berkat pengaruh pembimbing agamanya, menjadi pejuang Islam yang bersemangat di daerah Pasundan sebelah timur hingga Sungai Citarum. Atas perintah raja Demak yang beragama Islam, ia bahkan telah menunjukkan kekuasaannya hingga di Jawa Timur, di Pasuruan. la diberi seorang putri dari Pati sebagai istri, dan ikut serta pula dalam pembangunan Masjid Demak. Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh raja ia dianugerahi gelar "Senapati Mangkubumi". Dan ia mendapat kekuasaan atas sebagian kerajaan sebelah barat, di pedalaman, dari Udug-udug Krawang di tepi Sungai Citarum hingga ke "Tugu Mengangkang", Gunung Sumbing dan Sindoro di Jawa Tengah.
 Demikianlah cerita-cerita rakyat Jawa Tengah dan Jawa Timur yang (seluruhnya atau sebagian) menyangkut penguasa ketiga di~Demak.
 Musafir Portugis Tome Pires adalah orang yang sezaman dengan raja itu. la menyebutnya Pate Rodin Jr. (Patih Rodin Muda).
Menurut perkiraan Pires, Tranggana lahir pada tahun 1483. Musafir Portugis itu, pada sekitar tahun 1515 ketika mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun bukunya Suma Oriental, tidak mempunyai penilaian tinggi terhadap penguasa ketiga di Demak tersebut. la berpendapat, raja tersebut terlalu banyak menyibukkan diri dengan kenikmatan di keputren "keputrian". la hidup mewah, berfoya-foya, dan mengabaikan urusan kenegaraan. Menurut Pires, armada laut, yang semasa pemerintahan Pate Rodin Sr. masih berkekuatan 40 kapal jung, pada masa pemerintahan penggantinya (Pate Rodin Jr.) telah surut menjadi 10 kapal pada tahun 1513. Oleh karena musafir Portugis itu telah meninggalkan Jawa sebelum raja Demak yang ketiga tersebut menyelesaikan separuh masa pemerintahannya, ia tidak dapat menyimpulkan pendapatnya tentang seluruh periode ini.
Babad-babad dari Banten hanya memberitakan sedikit mengenai penguasa ketiga di Demak. Dalam naskah Sadjarah Banten tidak terdapat cerita-cerita yang dapat dihubungkan dengan kehidupannya. Dalam Edel, Hasanuddin, (hal. 174) diberitakan bahwa ia mencapai usia 63 atau 66 tahun.
Dari keterangan-keterangan itu - yang berasal dari berbagai cerita rakyat Jawa dan berita-berita Pires yang tidak lengkap - orang hanya dapat menyimpulkan bahwa raja Demak yang ketiga - yang dikenal oleh keturunannya dengan nama Tranggana - memerintah sekitar tahun 1504 sampai 1546. Dalam kurun waktu itu wilayah kerajaan telah diperluas ke barat dan ke timur, dan Masjid Demak telah dibangun (atau dibangun kembali) sebagai lambang kekuasaan Islam.
Sementara itu, sudah pasti bahwa pada pertengahan pertama abad ke-16 telah terjadi peristiwa-peristiwa penting, yang dalam cerita Jawa tidak atau hampir tidak disebut, atau tidak dihubungkan dengan raja Demak yang ketiga. Peristiwa-peristiwa itu ialah direbutnya Malaka oleh orang-orang Portugis dan jatuhnya ibu kota tua Majapahit. Dalam bagian-bagian berikut hubungan peristiwa-peristiwa tersebut dengan sejarah Demak akan mendapat sorotan.

II-6 Hubungan antara raja-raja Demak dan raja-raja Jepara sekitar tahun 1500. Kekalahan perang di laut melawan orang-orang Portugis di Malaka
Penulis-penulis bangsa Portugis permulaan abad ke-16 berkali-kali memberitakan tentang penguasa-penguasa di Jepara; mungkin karena pelaut-pelaut Portugis mengenal baik kota pelabuhan itu. Nama penguasa yang berkali-kali disebut ialah Pate Unus (kiranya Yunus).
Menurut Tome Pires, konon kakek Pate Unus ini orang dari "kelas buruh" (homem trabaljador) berasal dari Kalimantan Barat Daya. Dari sana ia pergi ke Malaka untuk mengadu untung "dengan bekal kebangsawanan yang amat sedikit dan uang yang lebih sedikit lagi" (muy pouca j%dallguia a menos fazemda). Anaknya, yang lahir di Malaka, di tahun-tahun kemudian telah berhasil meraih kekayaan besar dalam perdagangan di Jawa. Akhirnya ia menetap di Jepara. Sekitar tahun 1470 pedagang yang kaya raya itu (masih tetap menurut pemberitaan Pires) menyuruh membunuh patih Jepara; dan ia pun berkuasa mutlak di kota pelabuhan itu. Seorang saudara laki-lakinya, Pate Orob, dijadikannya penguasa di Tidunang (seharusnya Tedunan). Jepara pada waktu itu masih merupakan tempat yang tidak berarti, berpenduduk 90 sampai 100 orang. Penguasa baru ini telah dapat menarik banyak orang, dan telah berhasil juga memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke seberang laut, sampai ke Bangka dan tempat-tempat di pantai Kalimantan. Rupadya ia memiliki banyak kapal jung. Meskipun begitu, ia masih juga mengakui raja Demak sebagai atasannya. Ia dapat memperistri saudara perempuan Pate Morob dari Rembang (kota pelabuhan agak jauh di sebelah timur pegunungan Muria). Penguasa di Tegal (terletak agak jauh di sebelah barat) kiranya masih kerabatnya juga.
Seorang penulis lain berkebangsaan Portugis, de Barros, berpendapat bahwa ayah seorang tokoh yang kemudian terkenal dengan nama Pate Unus telah berhasil mendapatkan kekuasaan dan kekayaan besar dengan cara-cara bajak laut (cossairo), dan bahwa ia selain itu amat aparentado (berpengaruh besar berkat hubungan keluarga).
Menurut Tome Pires, Pate Unus yang terkenal itu baru berumur 17 tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. la kawin dengan putri Pate Rodin Sr. dari Demak. Pate Rodin Jr. 5 tahun lebih tua dari dia.
Pires mengisahkan, segera setelah Pate Unus memegang kekuasaan, ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka, karena penghinaan yang dialami salah seorang pelautnya di Malaka. Yang berkuasa di Malaka raja beragama Islam juga. Persiapan-persiapan untuk mengadakan ekspedisi itu konon memakan waktu 5 tahun.
Sementara itu, pada tahun 1511 Malaka direbut oleh raja muda Portugis, Alfonso d'Albuquerque. Kejadian itu, menurut Pires, telah menyalakan semangat perang, oleh karena sekarang perang itu akan dilancarkan melawan orang "kafir". Pate Unus menghubungi Sultan Mahmud Syah dari Malaka yang telah melarikan diri dari orang Portugis. Agaknya ia telah meminang salah seorang putri Sultan Mahmud Syah. (Melalui pernikahan dengan putri seorang sultan, anak "bajak laut" ini telah menjadi seorang yang sangat disegani).
Sekitar pergantian tahun 1512 - 1513, dilaksanakanlah serangan terhadap Malaka, yang berakhir dengan hancurnya armada laut dari Jawa. Dari seluruh angkatan laut gabungan bandar-bandar Jawa Tengah dan Palembang yang kembali hanya 10 kapal jung dan 10 kapal barang. Menurut Pires, Pate Unus telah memerintahkan supaya sebuah kapal perang jung besar berlapis baja, yang sebenarnya dapat diselamatkannya, didamparkan di pantai Jepara dan dibiarkan di situ, sebagai kenang-kenangan akan perang yang telah dilancarkannya "terhadap bangsa yang paling gagah berani di dunia".
Dapatlah dimengerti bahwa para penulis bangsa Portugis banyak menaruh perhatian terhadap perang merebut Malaka, yang pada abad ke-16 akan menjadi kubu pertahanan kuat bagi Portugis di Asia Tenggara. Perhatian itu juga ditujukan terhadap laksamana armada yang masih muda dan gagah berani dari Jepara, yang ingin merebut kota yang baru saja mereka taklukkan itu. Namun, sesudah episode ini, nama Pate Unus hampir tidak disebut-sebut lagi dalam karya-karya tulisan Portugis. Pigafetta, seorang Italia yang bekerja sebagai juru mudi dalam armada Magelhaens, menulis seakan-akan lawan orang Portugis di Malaka adalah seorang raja Majapahit (!), yang telah meninggal sebelum tahun 1522. (Pigafetta sendiri tidak pernah datang ke Jawa; berita-berita yang didengarnya dari para pelaut di daerah-daerah Timur Jauh mungkin saja banyak yang keliru dan tidak tepat).
 Baik dalam cerita babad di Jawa Barat maupun yang di Jawa Timur dan Mataram, nama Pate Unus tidak pernah disebut. Selain dari itu, baik Jepara maupun perang laut melawan Malaka tidak dianggap penting dalam cerita babad Jawa selama perempat pertama abad ke-16. Satu berita dari sumber Jawa, yang mungkin menyangkut episode sejarah Jawa itu, ialah sebuah catatan pada tahun 1521 dalam Chronological Table dalam History of Java (Raffles, History). Daftar tarikh kejadian itu berdasarkan buku Babad Sangkala Jawa. Menurut catatan itu, konon pads tahun 1521 ada tiga orang raja Jawa yang meninggal; tetapi sayang sekali, nama-nama dan kerajaan-kerajaannya tidak disebutkan. Mungkin sekali Pate Unus adalah salah satu dari ketiga raja itu.
Mengingat bahwa, berdasarkan berita-berita para penulis Portugis, Pate Unus dari Jepara adalah orang penting dalam sejarah Jawa, maka Rouffaer telah berusaha menemukannya kembali dalam cerita tradisi Jawa. Malahan Rouffaer berani mengajukan dugaan bahwa yang dimaksud dengan Pangeran Sabrang Lor dalam cerita tradisi itu ialah raja Jepara yang oleh orang-orang Portugis diberi nama Pate Unus. Menurut buku-buku cerita dan cerita babad dari Jawa Timur dan Mataram, Pangeran Sabrang Lor ialah nama raja kedua di Demak. Dalam cerita tradisi Jawa Barat ia dinamai Cu-Cu atau Sumangsang, dan dalam buku Pires, Suma Oriental, dan buku-buku cerita Pangeran Sabrang Lor dan Pangeran Tranggana, raja ketiga di Demak adalah kakak beradik.
Kesaksian musafir Portugis, yang sezaman dan mungkin telah pernah melihat baik raja ketiga di Demak maupun raja Jepara, menimbulkan keberatan pada kami untuk menerima bahwa Pate Rodin Sr. dan Pate Unus itu orang yang sama. (Rouffaer tidak mengenal buku Suma Oriental; waktu ia mengungkapkan dugaan tersebut). Memang mungkin untuk menghubungkan nama Pangeran Sabrang Lor dalam Serat Kandha dengan nama Pate Unus dalam cerita-cerita Portugis. Nama yang disebut pertama, Pangeran "Sabrang-Lor" berarti: "dari seberang laut/ air, di sebelah utara"; menurut orang-orang Portugis, kakek Pate Unus berasal dari Kalimantan Barat. Dengan kata-kata "Seberang laut/air" mungkin juga dimaksud Kota Jepara, yang terletak di sebelah utara Demak. Maka, hubungan antara nama Pangeran Sabrang-Lor tersebut dan Pate Unus menjadi makin dekat.
 Tidak ada yang penting yang dikisahkan cerita babad di Jawa Tengah tentang Pangeran Sabrang-Lor. Tetapi cerita yang beredar di Jawa Barat mengisahkan tindakan-tindakan Cu-Cu Sumangsang yang menurut orang-orang Portugis mungkin dilakukan oleh Pate Unus atau ayahnya. Tindakan itu berupa perluasan kekuasaan ke seberang laut (perlawatan-perlawatan Sumangsang ke Palembang) dan tindakan kekerasan terhadap pemerintahan yang sudah lama berdiri (pembunuhan-pembunuhan terhadap Lembu Sora dan Patih Jepara).
Mungkin sekali Tome Pires - yang hidup sezaman - cukup tepat menguraikan peristiwa-peristiwa sampai kira-kira tahun 1515 dalam bukunya Suma Oriental. Tetapi kelanjutan sejarahnya tidak dialaminya. Mungkin ia terlalu banyak menyoroti pribadi Pate Unus, tokoh yang paling banyak dihubungi orang Portugis pada waktu itu. Dalam cerita-cerita tradisi Jawa dari abad ke-17 dan ke-18, baik dari Jawa Timur dan Mataram maupun dari Jawa Barat, telah terjadi kekacauan antara cerita-cerita mengenai raja-raja Demak dan Jepara yang masih ada ikatan keluarga itu dan yang hidup dalam dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16. Rouffaer mengira, berdasarkan pemberitaan Portugis, bahwa berkuasanya Pate Unus (dari Jepara) atas Demak selama beberapa tahun itu masuk akal. Namun, cerita babad Jawa dari abad-abad kemudian sama sekali melupakan pejuang muda yang gagah berani melawan kekuasaan bangsa Portugis di Malaka. Ini mungkin juga disebabkan karena ia telah meninggal dalam usia muda (dengan nama Pangeran Sabrang-Lor?).
Pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam Bab-bab II-2 sampai II-6 mengarah kepada penyusunan daftar nama-nama penguasa pertama di Demak, beserta tarikhnya, sebagai hipotesa kerja. Daftar ini dapat dibandingkan dengan daftar nama, yang dikutip dari naskah-naskah Jawa dan Eropa, yang dicantumkan dalam Bab II-2.

1.    Cikal-bakal dinasti, berkebangsaan asing ("Cina"), bernama Cek-Ko-Po, dalam perempat terakhir abad ke-15.
2.    Putra Cek-Ko-Po, bernama Cu-Cu, Sumangsang, dan Pate Rodin Sr. (blasteran dari Badru'd-din atau Kamaru'd-din?), hidup sampai sekitar tahun 1504, semula secara nominal masih di bawah kekuasaan seorang penguasa yang mewakili raja Majapahit.
3.    a.    Anak (atau adik laki-laki) Cu-Cu, bernama Tranggana atau Ki Mas Palembang, hidup hingga tahun 1546, menyatakan dirinya menjadi raja Islam dan sultan yang berdaulat. Ia memperluas wilayah Demak ke barat dan ke timur, dan menaklukkan ibu kota lama Majapahit (1527).
b.    Ipar no. 3.a., raja Jepara, Pate Unus (Yunus?) atau diberi gelar Pangeran Sabrang-Lor (?), melancarkan perang laut melawan orang-orang Portugis di Malaka, dikalahkan (tahun 1512/1513); konon ia (agaknya) memerintah di Demak mulai kira-kira tahun 1518 hingga meninggalnya pada tahun 1521.

II-7 Raja-raja Demak sebagai pelindung agama Islam di Jawa Tengah
Bagian yang tertua dari Masjid Demak yang amat suci itu, yaitu pengimaman, mungkin sudah dibangun pada perempat terakhir abad ke-15 (lihat Bab I-7, dan catatan no. 18). Jelaslah bahwa masjid tersebut telah meraih nama harum di Jawa Tengah sebagai masjid agung dari kerajaan Islam yang pertama di negeri ini. Oleh sebab itu, penting mengumpulkan keterangan yang menyangkut hubungan raja-raja Demak dengan agama Islam dan golongan santri.
Jemaah beserta masjid yang mereka bangun sendiri merupakan permulaan pengislaman Pulau Jawa.[12] Jemaah ini diketahui oleh para imam, yang semula mendapatkan kekuasaan dengan jalan memimpin salat wajib lima waktu. Kekuasaan rohani para imam masjid ini sudah sejak zaman awal penyebaran agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat: pada asasnya, agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat: pada asasnya, agama Islam tidak mengakui adanya perbedaan antara hal rohani dan hal duniawi. Suatu hal yang berarti, di Jawa para imam masjid hampir selalu disebut "penghulu". Kata "penghulu" di tanah Melayu berarti "kepala" pada umumnya, tanpa arti khusus di bidang rohani.
Dalam Hikayat Hasanuddin, sejarah singkat tentang raja-raja Banten, terdapat suatu bagian yang seluruhnya mengisahkan kelima imam Masjid Demak. Pemberitaan mereka dalam kronik Banten ini dapat dihubungkan dengan kenyataan bahwa penyusunnya ternyata menaruh minat terhadap soal-soal kerohanian. Mungkin ia sendiri termasuk kelompok santri. Dapatlah dimengerti jika baik Tome Pires, orang Portugis itu, maupun penulis-penulis Belanda pada waktu-waktu kemudian, sedikit pun tidak membuat catatan mengenai imam-imam masjid. Jadi, berita-berita Jawa tidak dapat dibandingkan dengan berita-berita Barat. Kemungkinan pemberitaan-pemberitaan tentang kelima imam Demak itu dapat dipercaya pada pokoknya berdasarkan sifatnya sebagai kronik keluarga. Mungkin yang menjadi dasar pemberitaan-pemberitaan tersebut ialah suatu silsilah tua yang autentik. Maka dari itu, ada baiknya membicarakan berita-berita tentang imam-imam Demak dalam uraian berikut ini sehubungan dengan sejarah dinasti Demak.
Imam pertama di Masjid Demak konon ialah Pangeran Bonang, putra Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta (Surabaya). Ia telah dipanggil oleh "Pangeran Ratu" di Demak itu untuk memangku jabatan itu. Selang berapa lama ia telah meletakkan jabatan itu untuk pergi, mula-mula ke Karang Kemuning, kemudian ke Bonang, dan akhirnya ke Tuban; di tempat itu ia meninggal. Buku Sadjarah Dalem, suatu silsilah raja-raja Mataram-Surakarta, menyusun urutan tempat kediaman tersebut secara lain: Surabaya, Karang Kemuning, Tuban, Ngampel Denta, Demak. la juga diberi nama Pangeran Makdum Ibrahim dan Sunan Wadat Anyakra Wati; menurut cerita ia hidup membujang atau setidak-tidaknya tidak meninggalkan anak.[13]
Menurut Hikayat Hasanuddin, keempat imam Masjid Demak yang, berikut ini semuanya masih berkerabat dengan putri Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta, yang diberi nama Nyai Gede Pancuran, sesuai dengan nama tempat tinggalnya yang kemudian. Ia konon kawin dengan Pangeran Karang Kemuning, seorang alim ulama dari "Atas Angin" dari Barat, mungkin orang Melayu atau orang yang berasal dari India atau Arab, yang bernama Ibrahlm. Karang Kemuning itu tempat kedudukan Aria Timur, raja Jepara. "Pangeran Atas Angin" ini konon anak Pangeran Bonang. Pada akhir hidupnya ia pergi ke Surabaya, tempat ia wafat dan dimakamkan di samping ayah mertuanya, Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta. Janda dan keluarganya pergi ke Tuban, tempat tinggal saudaranya, Pangeran Bonang. la menetap di Pancuran. Sejak itu ia diberi nama sesuai dengan tempat tersebut. Menurut cerita, ia mempunyai mukjizat. Adipati Tuban pun sangat menghormatinya. Pada akhir hidupnya janda itu kembali ke Surabaya, dan dimakamkan dekat ayah dan suaminya.
Menurut Hikayat Hasanuddin, imam kedua Masjid Demak ialah suami cucu Nyai Gede Pancuran. la diberi nama Makdum Sampang. Ayahnya berasal dari Majapahit. Makdum Sampang selama beberapa waktu tinggal di rumah ipar perempuannya, Nyai Pembarep, juga cucu Nyai Gede Pancuran, dan janda Kalipah Husain, yang juga seorang alim ulama dari "Sabrang". Konon, mereka bertempat tinggal di Undung (dekat Kudus sekarang). Dari situ Makdum Sampang pindah berturut-turut ke Surabaya, ke Tuban, dan ke Demak. Di tempat-tempat itu ia selalu memangku jabatan imam. Kepergiannya dari Tuban itu disebabkan ia merasa sangat keberatan untuk bekerja di bawah kekuasaan seorang adipati yang masih bersikap sebagai abdi maharaja Majapahit yang "kafir" itu. Itulah sebabnya ia memenuhi panggilan "Pangeran Ratu" Demak, untuk menjadi imam di masjid setempat. Setelah wafat dalam usia lanjut, konon ia dimakamkan di sebelah barat masjid yang termasyhur itu.
Makdum Sampang sebagai imam diganti oleh anaknya, yang dalam Hikayat Hasanuddin disebut Kiai Gedeng Pambayun ing Langgar. Tidak lama kemudian ia bersama ibunya pindah ke Jepara, untuk menjadi imam di sana. Mereka berdua, dan sesudah mereka juga beberapa sanak saudara lainnya, dimakamkan di sana, di gunung keramat Danareja.[14]
Imam keempat Masjid Demak, menurut Hikayat Hasanuddin, konon seorang saudara sepupu dari pihak ibu imam pendahulunya. Jelasnya: ia anak Nyai Pambarep, yaitu ipar perempuan Makdum Sampang. la mendapat gelar Penghulu Rahmatullah dari Undung. la dipanggil oleh adipati Sabrang Lor untuk memangku jabatan itu dan ia gugur "dalam pertempuran". la dimakamkan dekat Masjid Demak, di samping pamannya Makdum Sampang.[15]
 Orang kelima pada daftar imam Masjid Demak yang disebut dalam Hikayat Hasanuddin ialah orang yang mendapat julukan Pangeran Kudus, sesuai dengan tempat tinggalnya kemudian. la juga terkenal dengan panggilan Pandita Rabani. Konon, ia putra Pengulu Rahmatullah. Menurut hikayat ini, kiranya ia telah dipanggil oleh Syekh Nurullah (yang kemudian akan menjadi Sunan Gunungjati dari Cirebon) untuk memangku jabatan imam. Buku Sadjarah Dalem silsilah keturunan antara Sunan Ngampel dan Sunan Kudus. Seharusnya ada lima keturunan, seperti yang disebutkan oleh Hikayat ini. Sunan Kudus dianggap sebagai salah seorang moyang raja-raja Mataram (menurut garis ibu).
Daftar lima imam Masjid Demak yang menurut Hikayat Hasanuddin telah memangku jabatan selama pemerintahan tiga (atau empat) raja pertama kerajaan itu (bandingkan Bab II-6, akhir) adalah sebagai berikut.
1.    Pangeran Bonang          : sesudah tahun 1490 sampai tahun 1506/12 (?), dipanggil oleh "ratu" Demak.
2.    Makdum Sampang        : tahun 1506/12 sampai kira-kira tahun 1515 (?), dipanggil oleh "ratu" Demak.
3.    Kiai Pambayun              : ca. tahun 1515 sampai sebelum tahun 1521(?), pindah ke Japara.
4.      Pengulu Rahmatullah     : tahun 1524 (?) - ditetapkan oleh Syekh Nurullah, yang kemudian menjadi Sunan Gunungjati.
Berdasarkan keterangan yang dikutip dari Hikayat Hasanuddin ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan imam-imam yang pertama itu amat tergantung pada raja-raja Demak, pelindung mereka. Kemudian (mungkin waktu kekuasaan duniawi mereka atas jemaah di sekitar Masjid makin bertambah besar) mereka bersikap agak lebih bebas dan mempunyai hubungan dengan pemimpin-pemimpin rohani kota-kota lain. Yang disebut paling akhir pada daftar kelima imam itu, menurut cerita tradisi Jawa, memegang peranan penting dalam merebut kota raja Majapahit yang masih "kafir" itu.[16]

II-8 Gelar Sultan Islam bagi Raja Demak yang ketiga; munculnya seorang tokoh yang kemudian menjadi Sunan Gunungjati di Cirebon
Berita-berita Portugis yang sezaman mengenai kejadian ini sama sekali tidak ada. Hal ini dapat dimengerti. Pemberitaan para penulis Portugis yang kemudian mengenai Sunan Gunungjati (yang mereka beri nama Falatehan atau Tagaril) akan diuraikan dalam sketsa sejarah Cirebon, dalam Bab VII. Dalam bab itu akan diceriterakan juga tentang asal dan kehidupan orang yang "aneh" ini.
 "Penobatan" raja Demak menjadi sultan itu diberitakan dalam Hikayat Hasanuddin di Banten (hal. 169-170). Pangeran Bonang (pada tahun 1524?) kiranya telah menggerakkan hati raja Demak untuk mengadakan kunjungan kepada Wali di Gunung Jati, yang di dalam teks ini diberi nama Syekh Nurullah. Pada kesempatan ini Nurullah menganugerahkan gelar dan nama Sultan Ahmad Abdu'l-Arifin kepada raja. Gelar emperador (maharaja) yang oleh penulis Portugis, Mendez Pinto, diberikan kepada raja Demak pada tahun 1546 itu merupakan pengungkapan betapa tinggi nilainya gelar Islam itu.
Sebenarnya kunjungan raja Demak ke Cirebon dan ikut campurnya Pangeran Bonang dalam perkara ini boleh dianggap kurang dapat dipercaya berdasarkan urutan waktu (kronologi). Dapat dipahami bahwa Syekh Nurullah (yang kemudian menjadi Sunan Gunungjati) datang di Demak dan mendapat pengaruh di kalangan keluarga raja yang baru beberapa puluh tahun memeluk agama Islam. Menurut cerita Jawa, Syekh Nurullah telah pergi ke Tanah Suci Mekkah; hal itu merupakan keistimewaan, mengingat begitu buruknya perhubungan pada waktu itu. Kalau berita ini benar, di kota suci itu ia tentu mendengar bahwa Sultan Turki, Sultan Salim I Akbar, pada tahun 1517 telah merebut Mesir, dan mengangkat dirinya menjadi Khalifah. Meningkatnya pemusatan kekuasaan dalam dunia Islam irii kiranya telah menyebabkan Syekh Nurullah - setelah kembali di Nusantara, dan karena terpengaruh oleh internasionalisme Islam - menganjurkan kepada raja Demak untuk bertingkah laku sebagai raja Islam benar-benar. Gelar dan nama bahasa Arab itu kiranya dapat dianggap sebagai sahnya niat untuk menjadikan Demak ibu kota kerajaan Islam.[17]
Bisa diduga bahwa masjid suci di Demak mendapat kedudukan yang penting dalam rencana tersebut. Bukankah imam keempat itu, yang akan ikut bertempur dalam perang melawan Majapahit yang masih "kafir", telah dipanggil oleh Syekh Nurullah dari Sumatera itu (atau oleh pengaruhnya) untuk memangku jabatan "penghulu" (gelar Melayu!) masyarakat Masjid Demak?

II-9  Hubungan antara kerajaan Islam Demak dan kerajaan kuno Majapahit yang "kafir"; legenda dan sejarah
Berita Jawa tentang masa akhir kerajaan tua itu simpang siur dan berbau dongeng. Berita tersebut terdapat dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari abad ke-17 dan ke-18, paling sedikit dua abad sesudah kejadian-kejadian itu berlangsung. Tidak bisa diperoleh buku-buku sejarah Jawa, yang bersudut pandang "kafir", yang bertepatan atau hampir bertepatan waktu dengan kejadiannya, yang dengan panjang lebar mengisahkan peristiwa-peristiwa selama satu setengah abad terakhir berdirinya kerajaan "kafir" yang penghabisan di Jawa Timur (yang mungkin runtuh pada tahun 1527). Penutup kronik Jawa kuno, Pararaton, Kitab Raja-raja yang terdiri dari daftar tahun peristiwa tak banyak memberi petunjuk. [18]
Dalam bagian ini mengenai kerajaan Islam Demak cukup disebutkan bahwa buku-buku cerita (Serat Kandha) dan cerita babad yang kemudian bersifat Islam, selama masa akhir berdirinya kerajaan "kafir" Majapahit menonjolkan beberapa tokoh dalam suasana cerita legenda saja. Dalam cerita tutur Islam, raja-raja Majapahit bernama Brawijaya; disebutkan adanya beberapa Brawijaya selama beberapa generasi 'berturut-turut. Perdana Menteri Majapahit, patih raja, dalam legenda-legenda itu bernama Udara atau Madura. Nama ini muncul juga dalam ceiita "Damarwulan" yang berasal dari zaman permulaan Islam. [19]
Yang lebih penting untuk kepastian sejarah ialah pemberitaan-pemberitaan musafir Portugis, Tome Pires. Pada dasawarsa kedua abad ke-16, waktu ia mengunjungi Jawa, kerajaan tua itu masih ada. Ibu kotanya dinamakan Dayo, dan rajanya diberi nama Batara Vigiaja. Menurut Pires, raja ini tunduk pada Fiso-Rey a Capitam Mor. Guste Pate yang dahulu juga dmamakan Pate Amdura atau Pate Andura. Guste pate ini ayah mertua Raja dan juga ayah mertua Pate Madura. Anak laki-lakinya memerintah suatu daerah, Gamda. Kakek Guste Pate dahulu sudah menjadi tokoh penting di Keraton Majapahit.
 Menurut Tome Pires, Guste Pate ini telah berkali-kali berperang melawan raja-raja Islam di Jepara, Demak, dan Tidunang (Tedunan). Kemenangan orang-orang Islam dan runtuhnya kota-raja yang tua itu, tidak dialami lagi oleh musafir Portugis itu; ia telah meninggalkan Jawa. Nama-nama yang disebutnya dalam pemberitaan-pemberitaan tentang kerajaan tua itu kebanyakan mudah dikenal. Batara Vigiaja itu sama dengan Brawijaya dalam cerita tutur Jawa, dan Amdura adalah Udara atau Mahudara, patih yang legendaris. Gamda, daerah yang dikuasai putra Guste Pate, kiranya dapat dihubungkan dengan Gajah Mada, nama perdana menteri yang tersohor dari abad ke-14. Gelar Guste dapat diartikan "gusti patih".[20] Yang aneh ialah bahwa nama Majapahit, dalam bentuk apa pun, tidak terdapat dalam buku Tome Pires, Surna Oriental. Nama Dayo ialah satu-satunya nama yang dipakai untuk menyebut ibu kota tua itu. Tetapi pemberitaan mengenai kerajaan tua itu, yang dimuat dalam buku Portugis tersebut, menutup segala kemungkinan timbulnya keraguan-keraguan: pasti Majapahit yang harum namanya itulah yang dimaksud.[21]

II-10       Direbutnya kota kerajaan kuno Majapahit oleh orang Islam pada tahun 1527; legenda dan sejarah
Tidak mengherankan bahwa jatuhnya kota kerajaan tua yang "kafir" itu dianggap sebagai titik batik dalam sejarah, menurut buku-buku cerita (serat kandha) dan cerita babad yang bersifat Islam. la merupakan permulaan zaman baru. Menurut cerita, tahun kejadian peristiwa itu ialah tahun Jawa 1400 (tahun 1478 M.).[22]
Legenda-legenda Jawa mengenai direbutnya Majapahit oleh orang Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok:
1.    Cerita-cerita yang menunjukkan segala pujian kepada "para alim" Islam, dan terutama kepada para ulama dari Kudus.
2.    Cerita-cerita yang menyanjung Raden Patah, raja Demak, sebagai pahlawan.
Yang sangat mengecewakan ialah tidak adanya berita-berita sezaman tulisan orang Portugis yang dapat memberikan kejelasan pada peristiwa ini. Jadi, mau tak mau, kita harus membandingkan cerita-cerita Jawa itu, satu dengan yang lain, untuk kemudian mengambil kesimpulan yang dapat dipercaya tentang kejadian-kejadian yang sebenarnya.
Cerita-cerita yang termasuk kelompok pertama itulah yang paling lengkap. Cerita-cerita itu terdapat dalam buku-buku cerita Jawa Timur dan Jawa Tengah; boleh jadi ada beberapa bagian di antaranya yang telah disusun pada abad ke-17. Dalam buku-buku cerita (serat kandha) itu tampak dengan jelas sekali peranan para sunan dari Kudus, ayah dan anaknya, dalam pertempuran merebut kota kerajaan kuno Majapahit yang "kafir" itu. Karena sangat panjangnya cerita-cerita itu dan karena pemberitaannya cukup kongkret, maka cerita-cerita kelompok pertama itu tampaknya lebih dapat dipercaya daripada kelompok kedua. Dalam sketsa sejarah Kudus yang dimuat pada Bab V buku ini, cerita-cerita tutur mengenai perebutan Majapahit dan kepahlawanan para pejuang suci agama Islam akan dibicarakan dengan agak mendalam.
Cerita-cerita yang tergolong kelompok kedua, dengan Raden Patah dari Demak sebagai tokoh utama, dimuat dalam cerita babad dari Jawa Tengah, yang berisi sejarah-sejarah keluarga raja Mataram. Cerita-ceritanya lebih ringkas daripada yang termasuk kelompok pertama, dan bercorak legenda. Banyak perhatian ditujukan pada pengaruh alam gaib. Menurut Meinsma (Meinsma, Babad, hal. 45, dst.) Brawijaya raja Majapahit itu ayah Raden Patah, raja Demak. Brawijaya telah memperingatkan Raden Patah akan kewajibannya untuk taat terhadap raja lewat Adipati Terung, saudara tiri Raden Patah dari pihak ibu. Tetapi peringatan ini tidak berhasil. Adipati Terung malah menggabungkan diri pada umat Islam, yang berkumpul di Bintara-Demak. Dari situ mereka bersama-sama melakukan serangan terhadap Majapahit: penguasa-penguasa di Madura, dan di Surabaya, Arya Teja dari Tuban dan Sunan Giri, dan juga wali-wali (lainnya) dan kelompok-kelompok "orang alim" berbondong-bondong menggabungkan diri. Tanpa menemui perlawanan yang berarti umat Islam mengepung kota Kerajaan Majapahit; dan tanpa pertempuran Raden Patah dapat menggantikan kedudukan ayahnya di singgasana kerajaan. Brawijaya wafat dan masuk surga. Sekembalinya di Bintara-Demak, Sunan Ngampel Denta, yang tertua di antara para wali, menentukan Raden Patah hendaknya menjadi penguasa seluruh Jawa sebagai pengganti ayahnya. Tetapi Sunan Giri seharusnya memegang pimpinan tertinggi lebih dahulu selama 40 hari, masa interregnum untuk memusnahkan segala bekas kekafiran yang ditinggalkan. Sebagai maharaja seluruh Jawa, raja Demak akan memperoleh nama Senapati Jimbun Ngabdu'r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata' Gama.
Demikian menurut cerita babad; sifat yang mengarah kepada corak legendaris dan dinasti pada cerita tersebut kentara sekali. Tetapi yang sangat menarik perhatian ialah bahwa dalam cerita-cerita babad pun orang-orang alim Islam dan para imam disebutkan sebagai pembantu yang giat dalam menghantam kubu pertahanan terakhir "kekafiran". Hikayat Hasanuddin Banten, yang - kerap kali - sangat ringkas dalam pemberitaannya mengenai pertempuran melawan Majapahit, juga menyebut raja Demak sebagai seorang maulana Baghdad dan waliyu'liahi.
Apabila cerita-cerita Jawa mengenai jatuhnya Majapahit dibandingkan yang satu dengan yang lain, bisa disimpulkan ada dua hal yang telah memungkinkan pengerahan tenaga bersama yang besar dan hebat, yang mengakibatkan kekalahan angkatan perang kerajaan "kafir" itu. Pertama, keimanan kelompok-kelompok alim ulama Islam, yakni golongan menengah, dipimpin oleh para pemuka yang semula merupakan imam-imam di masjid; kedua, cita-cita politis yang mengarah ke perluasan wilayah kekuasaan dan kemerdekaan kerajaan-kerajaan Islam muda di Jawa Tengah. Masuk akal bahwa Penguasa Islam di Demak tidak berniat bertempur melawan tuannya yang "kafir" itu (yang mungkin pula tidak menghalang-halangi maksud itu) seandainya ia tidak dihasut oleh para pemuka kelompok orang-orang alim. Raja-raja Demak sendiri berasal dari kalangan orang alim. Para alim ulama di Kudus keturunan imam-imam atau penghulu-penghulu dari Masjid Demak yang keramat itu.
Sejarah berjalan terus, dan di Jawa Tengah tampaknya kekuasaan para penghulu dan alim ulama lainnya makin berkurang dibanding dengan para penguasa duniawi. Maka dari itu, masuk akal kalau dalam abad ke-17 dan ke-18 pujian terhadap kemenangan agama Islam atas Majapahit yang "kafir" itu hampir sepenuhnya ditumpahkan kepada jasa pahlawan-raja yang legendaris, Raden Patah dari Demak.
Oleh karena keterangan yang lebih benar tidak ada, para sejarawan bangsa Eropa (Raffles, Hageman, Veth) juga masih beranggapan bahwa benar tahun jatuhnya Majapahit adalah tahun Jawa 1400 (1478 M.) atau mendekati kebenaran. Orang mengira, jatuhnya Majapahit dan munculnya Demak mempunyai hubungan akibat yang erat, sehingga kedua peristiwa secara kronologis terjadi dalam tahun yang sama. Rouffaer ialah orang pertama yang berdasarkan perkiraan menetapkan jatuhnya Majapahit pada abad ke-16, yaitu sekitar tahun 1520. Setelah Rouffaer itu, Krom menjelaskan bahwa tahun itu pun masih terlalu dini.
Dalam laporan Portugis mengenai perjalanan ke Kepulauan Maluku yang disusun oleh Loaisa pada tahun 1535 (Navarrete, Collecion, jil. II, hal. 245) diberitakan, bahwa di Jawa terdapat baik raja-raja yang masih "kafir" maupun raja-raja yang sudah masuk Islam. Yang terbesar di antaranya ialah raja Demak, yang terus-menerus memerangi orang-orang Portugis. Dari pemberitaan itu dapat diambil kesimpulan bahwa pada tahun 1535 Majapahit sudah tidak ada lagi, atau setidak-tidaknya bukan lagi merupakan kekuasaan politik yang berarti.
Tahun kejadian yang paling mendekati kebenaran tentang jatuhnya kota kerajaan tua itu ialah tahun 1527 M. Pada tahun itu atau sekitar tahun itulah Kediri konon jatuh. Itu menurut daftar tahun kejadian Jawa (Babad Sangkala), yang memberitakan penaklukan daerah yang dilakukan oleh raja Demak. Di atas ini (Bab II-10 dan cat. 40) dinyatakan sebagai suatu kemungkinan bahwa dalam berita-berita sekitar tahun 1500, yang dimaksud dengan Daha-Kediri itu mungkin Majapahit. Nama Majapahit tidak dicantumkan dalam kronik tersebut, padahal jatuhnya kota tersebut semestinya tercatat juga.
Tahun 1527 merupakan waktu yang semakin mendekati ketepatan, kalau hal berikut dipertimbangkan. Pada tahun 1528 panglima perang Portugis di Malaka menerima beberapa utusan raja Panarukan (di ujung timur Jawa), yang ingin mengadakan perjanjian perdamaian dan persahabatan dengannya. (Barros, Da Asia, Dekade IV, Buku I, Bab 17). Sudah lebih dari satu abad Panarukan merupakan daerah taklukan Majapahit. Karena dalam berita ini tidak disebutkan adanya seorang maharaja, dapat diambil kesimpulan bahwa Panarukan sudah menjadi merdeka, sebab Majapahit telah direbut oleh orang Islam. Mungkin raja Panarukan (masih belum beragama) bermaksud minta bantuan orang Portugis dalam menghadapi ancaman serangan dari orang Islam di Jawa Tengah. (Serangan ini memang terjadi pada tahun 1546; raja Demak gugur sebelum sampai di Panarukan, mungkin sebagai akibat peperangan itu).
Suatu cerita dari Madura yang menyatakan bahwa pada tahun Jawa 1450 (1528 M.) keluarga raja Madura telah menganut agama Islam (lihat Bab XIII-2), juga sangat menarik perhatian sehubungan dengan yang diuraikan di atas. Sesudah jatuhnya kota kerajaan tua Majapahit itu, jalan untuk perluasan daerah Islam di Jawa Timur menjadi terbuka.
Trangganalah yang menjadi raja Demak, waktu tercapai kemenangan gemilang atas dunia "kekafiran". Sejak itu ia berhak menyebut dirinya raja Islam yang tidak perlu lagi takluk kepada orang yang tidak beragama. Berita bahwa ia sebagai sultan telah diakui oleh seorang tokoh utama Islam seperti Syekh Nurullah itu boleh dipercaya.
Dapat diterima bahwa dalam pikiran Sultan Tranggana dan kerabat Keraton Demak pada bagian pertama abad ke-16 terdapat hubungan antara mencapai gelar Islam yang tinggi itu, panggilan agama untuk memperluas daerah Islam, dan cita-cita dinasti untuk mendapat pengakuan sebagai pengganti kedudukan raja-raja "kafir" Majapahit yang sah, yang menguasai sebagian besar Jawa Timur dan Jawa Tengah.

II-11       Meluasnya daerah Raja Demak ke barat, Pasir
Berdasarkan cerita-cerita tutur Jawa dari Cirebon, lebih-lebih dari buku sejarah Banten, dapat diambil kesimpulan bahwa ibu kota Islam Demak, telah menjadi titik tolak perjuangan pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16, untuk menyebarkan agama Islam, bahasa, dan kebudayaan Jawa di sepanjang pantai utara Jawa Barat. Tindakan Syekh Nurullah tersebut di atas yang kemudian diberi gelar Sunan Gunungjati, dan juga tindakan anaknya, Hasanuddin, yang kelak menjadi raja Islam pertama di Banten, ternyata sangat penting dalam usaha meluaskan daerah pengaruh raja-raja Islam dari Demak ini. Dalam Bab VII dan VIII akan dilukiskan lahirnya kerajaan kerajaan .Islam baru.
Cerita tutur Jawa tentang sejarah Lembah Serayu-Atas di Banyumas, yaitu Babad Pasir (dalam Bab II-5 sudah disinggung), mengisahkan bahwa putra dan pengganti raja Islam pertama di Pasir, Senapati, Mangkubumi telah murtad. Maka, kekuasaan Demak-Islam dipulihkan kembali dengan ekspedisi militer, yang dikirim Sultan Demak. Pemimpin-pemimpin "kafir" yang bernama Carang Andul dan Binatang Karya (nama-nama ini masih terus hidup dalam cerita-cerita rakyat setempat) gugur dalam pertempuran melawan penyerbu-penyerbu itu, dan raja Pasir muda yang murtad itu lalu melarikan diri ke Bocor (daerah Kebumen; di situ keturunannya kemudian mungkin masih lama menjadi tuan tanah). Seorang anggota garis keturunan lain dari keluarga raja itu diserahi kekuasaan pemerintahan di Pasir.
Agaknya besar kemungkinan bahwa cerita tutur itu mengisahkan sejarah dengan tepat, mengingat adanya perincian keadaan setempat. Tindakan bersenjata yang dilakukan oleh orang-orang Jawa Tengah, untuk memulihkan atau memantapkan kekuasaan Sultan, dapat dianggap salah satu tindakan kekuasaan maharaja Islam itu, seperti juga dilakukannya di Jawa Timur pada bagian pertama abad ke-16. Tetapi harus diakui bahwa sifat kronologi sejarah Pasir ini tidak menentu. Babad Pasir ini suatu cerita tutur yang berwujud legenda, tanpa tahun-tahun kejadian.[23]

II-12       Meluasnya daerah Raja Demak ke timur
Keterangan mengenai perluasan ini dapat dikutip dari daftar tahun peristiwa Jawa (babad sangkala). Pemberitaan pada daftar ini sering terlalu ringkas, dan nama-nama yang disebutkan di dalamnya kadang-kadang sukar ditempatkan dengan tepat. Hanya dalam beberapa hal tahun-tahun kejadian dalam babad sangkala dapat dicocokkan dengan membanding-bandingkannya dengan berita Portugis yang sezaman. Karena tahun-tahun kejadian itu jika diperhatikan secara sendiri-sendiri bukannya tidak dapat dipercaya, atau bukan rekaan belaka (dengan maksud-maksud tertentu), maka tahun-tahun itu layak kita sebutkan di sini.[24] Tahun-tahun kejadian dalam cerita-cerita babad yang dicantumkan menurut tarikh Jawa-Islam dalam karangan ini dijadikan tarikh Masehi semua.
Pertempuran untuk merebut kota kerajaan kuno, Majapahit, yang digambarkan dalam Bab II-10 (dan dalam Bab IV-1- sejarah Kudus -akan diuraikan lebih lanjut) mungkin berlangsung dari tahun 1525 sampai tahun 1527. Dalam babad sangkala kota kerajaan "kafir".yang' kuno itu disebut "Kediri" (dan dalam buku Tome Pires disebut "Dayo"); tetapi hampir tidak mungkin diragukan lagi bahwa yang dimaksudkan adalah Majapahit, dekat Mojowarno sekarang ini.
Pada tahun 1527, kabarnya Tuban di Pantai Utara juga dikuasai tentara raja Demak. Dalam Bab X akan dimuat sketsa sejarah bandar penting ini. Para penguasa di Tuban, sekalipun sudah beralih ke agama Islam, agaknya sampai saat terakhir masih bersahabat dengan maharaja "kafir" itu.
Pada tahun 1528 Wirasari sudah diduduki. Letak tempat ini tidak diketahui dengan pasti (lihat Bab III-4, Ki Mas Sari, adipati Demak).
 Pada tahun 1529 raja Demak bersama tentaranya menyerang Gagelang. Gagelang ini boleh disamakan dengan Madiun sekarang.
Pada tahun 1530 Mendangkungan sudah diduduki. Nama ini mengingatkan kita pada nama Mendang Kamulan, di Blora, yaitu suatu tempat yang dalam cerita-cerita mitos Jawa Tengah sering disebut sebagai tempat asal keturunan raja-raja Jawa purba.[25]
 Pada tahun 1531 Surabaya tunduk pada kekuasaan maharaja. Ngampel Denta, dewasa ini termasuk wilayah Kota Surabaya, pada tahun 1531 itu telah lama beragama Islam.
 Pada tahun 1535 Pasuruan telah direbut atau diduduki.
 Pada tahun 1541 dan 1542 para penguasa di Lamongan (di sebelah barat Gresik), Blitar, dan Wirasaba (di daerah aliran Sungai Brantas) telah mengakui kekuasaan maharaja.
Pada tahun 1543 gunung keramat Penanggungan di sebelah timur Majapahit telah diduduki atau direbut. Ada petunjuk-petunjuk (berdasarkan sisa-sisa bangunan yang telah ditemukan) bahwa beberapa kelompok orang religius di lereng-lereng gunung, sampai abad ke-16, masih melakukan kebaktian "kafir" (lihat cat. 41).
Pada tahun 1544 konon Mamenang telah direbut. Mamenang adalah nama kuno untuk Kerajaan Kediri di daerah aliran Brantas tengah. Nama Desa Menang, dekat Kota Kediri sekarang, mengingatkan kita pada hal itu.
Pada tahun 1545 Sengguruh telah tunduk pada kekuasaan maharaja. Sengguruh adalah nama daerah di bagian hulu Sungai Brantas; di daerah inilah terletak Kota Malang sekarang. Salah satu bagian Kota Malang sekarang masih bernama Sengguruh. Menurut cerita tutur Jawa, di Sengguruh inilah terjadi pertempuran terakhir melawan tentara Islam oleh para pengikut atau keluarga patih Majapahit yang terakhir yang belum masuk Islam. Mengenai soal ini terdapat kesesuaian antara buku-buku cerita (serat kandha), Babad sangkala dan cerita tutur Jawa (juga yang lokal).[26]
Pada tahun 1546, menurut babad sangkala, terjadi pertempuran merebut Blambangan. Pada tahun 1546 Sultan Tranggana dari Demak gugur, mungkin akibat kegagalan dalam operasi militer melawan Panarukan. Blambangan ialah nama daerah di ujung timur Jawa sejak zaman Majapahit berabad-abad sesudahnya.
Pemberitaan dalam daftar tahun peristiwa Jawa, yang tampaknya bukan tidak dapat dipercaya, dalam beberapa hal masih bisa ditambah dengan cerita-cerita babad. Dalam Babad Tanah Djawi (Meinsma, Babad, hal. 187) diceritakan, bahwa Jaka Tingkir (seorang prajurit yang mengabdi raja Demak, yang kemudian menjadi raja Pajang) telah mengangkat Pangeran Timur, putra raja Demak, sebagai bupati di Madiun. Hal itu dapat memberi petunjuk bahwa antara Demak dan Madiun ada hubungan. Menurut cerita setempat, di Setana (dekat Ngrambe) para bupati Ponorogo itu keturunan Batara Katong dan Kiai Watu Aji, yang makamnya berada di tempat itu dikelilingi oleh makam-makam keturunan mereka. Mungkin kedua moyang ini dahulu panglima Demak, yang dikirim ke Madiun untuk menundukkan para kiai agung "kafir" di daerah itu pada kekuasaan maharaja Islam. [27]
Yang kurang penting bagi sejarawan, yang mencari peristiwa-peristiwa yang serba pasti, ialah cerita-cerita dalam Babad Kadhiri, yang (menurut penulisnya) menggambarkan gagalnya usaha Sunan Bonang untuk mengislamkan Kediri.[28] Dalam melakukan serangan terhadap "kaum jahiliah" dan melancarkan dakwah Islam, Sunan Bonang berpangkalan di Singkal, suatu tempat di tepi Sungai Brantas. Pada tahun 1678 para pemimpin laskar Belanda-Jawa, yang melancarkan serangan terhadap "pemberontak" Trunajaya, telah menemukan masjid di Singkal, yang mereka gunakan sebagai gudang mesiu. Rupanya, masjid tersebut merupakan bangunan batu yang cukup besar. Adanya masjid yang cukup penting di Singkal pada abad ke-17 menyebabkan legenda yang mengisahkan tempat itu sebagai pusat propaganda agama Islam pada permulaan abad ke-16 menjadi agak lebih dapat dipercaya.[29]
Pada paruh pertama abad ke-16 Madura juga sudah digabungkan pada daerah Islam. Sketsa sejarah Madura pada abad ke-16 dan ke-17 akan menyusul dalam Bab XIII.
Dapat dimengerti bahwa, sesudah kota kerajaan kuno Majapahit direbut, maharaja Islam di Demak ingin menguasai Jawa Timur dan ujung timur Jawa, yang sejak dahulu merupakan daerah-daerah terpenting dalam kerajaan itu. Menurut daftar tahun peristiwa Jawa (babad sangkala), dalam hal ini agaknya Sultan Demak hampir berhasil secara tuntas. Blambangan, bagian Jawa yang paling timur, masih tetap bertahan dan melawan.
Perlu dicatat di sini bahwa cerita tutur Jawa ini tidak sedikit pun menyinggung soal direbutnya atau didudukinya Gresik-Giri. Mungkin sekali tempat tinggal Sunan Giri yang suci itu sangat dihormati, jadi tidak diserang; bukankah moyang keluarga raja-raja Islam yang berasal dari Cina itu, telah datang dari Gresik ke Demak? Dalam Bab XI nanti akan dilukiskan sejarah Gresik-Giri.

II-13       Kekuasaan Raja Islam di Demak di daerah seberang laut pada paruh pertama abad ke-16
Menetapnya orang-orang Portugis di Malaka pada tahun 1511 dan kekalahan perang di laut yang diderita oleh angkatan laut Jepara pada tahun 1512-1513, telah merugikan kekuasaan raja-raja di kota-kota pantai Jawa terhadap daerah-daerah seberang di Sumatera dan Kalimantan; begitulah perkiraan orang. Sungguh mengecewakan bahwa sampai sekarang sedikit saja dapat ditemukan berita-berita yang jelas, yang menyangkut sejarah zaman tersebut. Tetapi, mungkin juga pada abad ke-16 hubungan antara Jawa Timur dan Palembang masih tetap berlangsung, dalam bentuk seperti yang telah ada pada zaman maharaja-maharaja "kafir" di Majapahit. Bab XVIII buku ini membahas sejarah Palembang.
Mengenai hubungan antara Demak dan pantai selatan Kalimantan, Kronik Banjarmasin mempunyai cerita-cerita legendaris yang pantas diberitakan di sini.[30] Menurut cerita tutur Banjar, kekuasaan maharaja Islam di Demak telah tertanam di Banjarmasin dengan kekuatan tentara yang untuk keperluan itu telah dikirim berdasarkan permintaan salah seorang calon pengganti raja. Mereka datang untuk bertindak sebagai penengah dalam sengketa dalam kalangan keluarga raja. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat Jawa masuk agama Islam. Kemudian, dari seorang ulama bangsa Arab ia menerima nama Islam. Selama maharaja Islam masih hidup, raja Banjar ini setiap tahun mengirim seorang utusan membawa upeti. Waktu kekuasaan beralih ke tangan raja Pajang di Jawa Tengah, penghormatan itu dihentikan.
Besar kemungkinan cerita tutur Banjar ini benar. Kuatnya pengaruh kebudayaan Pesisir Jawa Tengah yang tertanam di Kalimantan Selatan terbukti antara lain dari ungkapan-ungkapan setempat yang banyak bercampur dengan bahasa Jawa, dan juga dari seni panggung rakyat setempat.[31] Hubungan laut antara Banjar dan pantai utara Jawa sepanjang tahun dapat dilangsungkan dengan kapal layar, baik di musim kemarau maupun di musim hujan. Selama di bandar-bandar di pantai utara Jawa masih terdapat kekuasaan Islam yang kuat, orang Jawa tanpa banyak kesulitan dapat memperlihatkan pengaruhnya di daerah Seberang.

II-14       Campur tangan Raja Demak di Jawa Tengah sebelah selatan pada paruh pertama abad ke-16, Tembayat dan Pengging
Baik daftar tahun peristiwa Jawa maupun buku sejarah lainnya tidak ada yang mengungkapkan tindakan kekerasan maharaja Demak terhadap daerah-daerah yang berdekatan yaitu Pajang, Pengging, dan Mataram, daerah-daerah yang dalam buku ini tercakup dalam satu nama: Jawa Tengah sebelah selatan Pegunungan Merapi-Merbabu.
Pada abad ke-17 daerah-daerah itu masuk Kerajaan Mataram dan kemudian daerah-daerah ini disebut De Vorstenlanden (Daerah Raja-Raja Jawa Tengah). Perkembangan politik Pajang dan Mataram akan diuraikan dalam Bab XIX dan XX berikut ini.
Diislamkannya daerah-daerah ini merupakan pokok dalam legenda-legenda orang suci Islam, yang tokoh utamanya ialah Wali Tembayat. Tembayat ini letaknya di sebelah selatan Klaten. Makamnya yang ada di situ menjadi tempat ziarah bagi orang-orang saleh di daerah-daerah sekitarnya. Sunan Tembayat atau Ki Pandan arang, begitulah nama julukannya, tidak termasuk para Wali Sanga yang menurut legenda mengadakan musyawarah di Masjid Demak yang keramat itu. Kota-kota yang diperkirakan menjadi tempat tinggal Sembilan Wali itu, atau tempat mereka meninggal, hampir tanpa kecuali, terletak di daerah Pesisir. Meskipun begitu, berdasarkan pentingnya Tembayat sebagai tempat ziarah - sudah sejak abad ke-17 - dapat diakui bahwa legenda tersebut mempunyai inti kebenaran.[32] Tahun-tahun peristiwa Jawa, yang diukir pada batu-batu bangunan beberapa gedung di tempat permakaman keramat itu, menunjukkan bahwa pada tahun 1566 raja Pajang, Adiwijaya, dan pada tahun 1633 Sultan Agung dari Mataram, telah memberikan sumbangan untuk memperluas dan memperindah Tembayat.
Menurut legenda suci (yang di sini hanya disebutkan beberapa bagian saja) tokoh yang kemudian menjadi Sunan Tembayat itu termasuk keturunan para bupati Semarang (yang pada abad ke-15 dan ke-16 belum begitu penting sebagai kota pelabuhan, belum seperti sesudah mengambil alih kedudukan Jepara). Dari pihak ibunya ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan Keraton Demak. Karena terpengaruh oleh seorang suci (disebut-sebut nama Sunan Kalijaga), ia konon telah mengundurkan diri dari dunia ramai, dengan maksud bersama istrinya menyelenggarakan hidup berkelana mencari kebenaran. Sesudah mengalami petualangan, ia bekerja pada seorang wanita pedagang beras, di Wedi (dekat Klaten). Akhirnya, karena ia terus-menerus merasa lebih tertarik pada kehidupan rohani, ia lalu menetap di dekat Tembayat sebagai "guru". Daerah pegunungan yang gersang itu, di tepi pegunungan kapur yang memanjang sejalan dengan pantai selatan Jawa, agaknya telah dihubung-hubungkannya dengan Jabal Kat, suatu pegunungan pada perbatasan bumi permukiman manusia, yang disebut dalam legenda-legenda Islam (Jabal Qaf). Di Tembayat, konon orang suci ini masih hidup 25 tahun dan berjuang menyebarkan agama sebelum ia meninggal. Menurut buku-buku cerita Jawa, yang dikutip oleh Rinkes, orang yang kelak menjadi Sunan Tembayat itu, pada tahun 1512 menyerahkan pimpinan pemerintahan Semarang kepada adik laki-lakinya, agar ia sendiri dapat membaktikan seluruh hidupnya demi kepentingan agama.
Sedikit kepastian tentang kebenaran cerita-cerita tutur Jawa ini dapat ditemukan dalam pemberitaan Tome Pires mengenai Pate Mamet, penguasa di Semarang, yaitu ayah mertua Pate Rodin Jr., raja Demak. Itu membuktikan bahwa keturunan-keturunan yang memerintah di Demak dan Semarang memang mempunyai hubungan keluarga. cerita tutur tentang Sunan Tembayat yang berasal dari Semarang itu sudah ada pada abad ke-17; hal itu diberitakan dalam surat yang ditulis pada tahun 1677 oleh seorang panembahan dari Kajoran (keturunan ulama-ulama yang masih kerabat keturunan Tembayat).[33]
 Perlu diperhatikan bahwa dalam cerita tutur Jawa tidak disinggung-singgung adanya bantuan maharaja Islam di Demak kepada sanak keluarganya yang telah bersusah payah menyebarkan agama Islam di pedalaman sebelah selatan. Menurut satu cerita Jawa, raja Demak bahkan mengungkapkan rasa tidak senangnya, karena orang suci baru itu telah bertindak mengambil kekuasaan sendiri. Oleh karena hal itulah Sunan Tembayat lalu membangun masjidnya di tempat yang letaknya lebih rendah daripada yang direncanakan semula. Tidak adanya simpati raja Demak terhadap kerabatnya itu agak aneh apabila orang ingat akan cerita Banyumas mengenai masuk Islamnya raja Pasir (lihat Bab II-11) dengan perantaraan seorang ustad, Syekh Makdum yang telah diutus oleh raja itu.[34]
Menurut cerita tutur Jawa, yang tertulis dalam buku-buku cerita dan cerita babad, daerah di sebelah selatan dan tenggara Gunung Merapi pada abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 termasuk wilayah raja Pengging. Reruntuhan bangunan yang ditemukan pada tahun 1941 di tempat yang sekarang masih bernama Pengging, dan suatu makam yang dihormati - yakni makam Raja Andayaningrat - adalah bukti-bukti bahwa cerita tutur ini benar.
Raja itu, yang menurut sejarah memang pernah ada; dalam cerita-cerita Jawa Tengah diberi sifat-sifat seorang pahlawan mitis. Kemungkinan ia seorang bangsawan Keraton yang kemudian menjadi menantu maharaja "yang tidak beragama" di Majapahit.[35] Dalam cerita-cerita, semua putranya mendapat nama muluk-muluk yang dihubungkan dengan kata kebo (kerbau). Anaknya yang sulung, Kebo Kanigara, hidup sebagai pendeta "kafir" di pegunungan dan mayatnya dibakar setelah ia meninggal. Anaknya yang bungsu, Kebo Kenanga, menggantikan ayahnya sebagai raja Pengging. la konon menjadi murid seorang wali yang sangat tersohor, yaitu Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang yang murtad. Menurut legenda-legenda orang suci, oleh Majelis Wali Sanga di Masjid Demak Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati, dibakar sebagai seorang penyebar ajaran yang menyalahi agama Islam. Karena Kebo Kenanga tetap membangkang tidak mau datang memberikan penghormatan kepada maharaja Islam di Demak, akhirnya ia dibunuh di Pengging oleh Sunan Kudus, yang diutus oleh maharaja Demak untuk maksud itu. Penguasa-penguasa di Tingkir, Ngerang, dan Butuh - yang sebelumnya bersekutu dengan Pengging - waktu melihat datangnya Sunan Kudus bersama para pengikutnya dari Demak, menyatakan tunduk kepada maharaja Islam di Demak.
Sayang, tidak ada berita-berita yang dapat dianggap lebih obyektif (misalnya dari penulis-penulis Portugis atau Belanda), yang dapat dipandang sebagai penegas isi cerita-cerita Jawa yang bersifat legenda itu. Jadi, hanya kemungkinan yang terdapat dalam cerita itu dapat dipertimbangkan. Lepas dari latar belakangnya yang berbau mitos, tampaknya tidaklah mustahil bahwa sekitar tahun 1500 Pengging bukan lagi kerajaan yang tidak berarti di pedalaman, yang raja-rajanya merasa mempunyai ikatan dengan zaman Jahiliah melalui hubungan tradisi dan keluarga. Tindakan Sunan Kudus sebagai pendekar yang mempertahankan kemurnian agama Islam ini sesuai dengan apa yang diberitakan dalam cerita-cerita lain mengenai para penguasa di Kudus. Namun, mengherankan juga bahwa penaklukan Pengging itu tidak dicantumkan sebagai kemenangan maharaja Demak dalam daftar tahun kejadian.

II-15       Pertempuran di ujung timur Pulau Jawa pada tahun 1546 dan wafatnya Sultan Tranggana, sultan Demak
Sesudah jatuhnya kota kerajaan tua Majapahit pada tahun 1527, demikian perkiraan kita, para raja taklukan maharaja "kafir" yang ada di ujung timur Jawa-lah yang paling lama bertahan melawan kekuasaan Islam yang terus mendesak itu. Cerita tutur Jawa yang mengisahkan bahwa Brawijaya yang terakhir di Majapahit, sesudah kehilangan ibu kotanya menyingkir ke timur, agaknya banyak mengandung kebenaran. Demikian pula besar kemungkinan bahwa perlawanan penduduk Jawa Timur yang "kafir" melawan ekspansionisme umat Islam Jawa Tengah mendapat bantuan dari Bali yang berdekatan letaknya.
Sejak abad ke-14, di bagian paling timur dari ujung timur Jawa terdapat dua ibu kota; Panarukan dan Blambangan.[36] Boleh jadi Blambangan itu semula nama daerah di sebelah selatan Pegunungan Ijen, yang sekarang sesuai dengan ibu kotanya dinamakan Banyuwangi. Panarukan, di pantai utara, konon suatu bandar yang cukup penting. Dapat dimengerti bahwa maharaja Islam di Demak ingin menyempurnakan penaklukan kerajaan "kafir" yang sudah tua itu dengan menduduki ujung timur Jawa juga.
Menurut daftar tarikh Jawa, perang terjadi pada tahun 1968 J. (1546 M.), bahkan dalam tahun itu petebutan Blambangan berhasil. Tetapi wafatnya Sultan tidak diberitakan dalam daftar-daftar tahun peristiwa itu, dan juga tidak dalam buku-buku cerita (serat kandha) dan cerita babad.[37]
 Tetapi musafir Portugis, Fernandez Mendez Pinto, dalam bukunya (Pinto, Peregrinagao, Bab 172, dan seterusnya) telah melukiskan secara romantis apa yang telah terjadi menurut pandangannya. Ia bercerita tentang pertempuran besar di darat dan suatu ekspedisi di laut oleh emperador Pangueyran dari Demak, ke Pasuruan, yang terhenti karena Sultan terbunuh, sebelum kota itu dapat diduduki. Menurut dia, tentara Jawa Tengah itu kemudian mundur. Di Demak terjadi pula pertempuran antara para calon pengganti raja; dalam kekacauan itu Kota Demak hancur. Akhirnya terpilih juga seorang raja baru, yakni Pate Sudayo, penguasa di Surabaya.
Cerita ini dalam berbagai hal perlu diragukan. Menurut daftar-daftar tarikh, Pasuruan ini pada tahun 1535 sudah diduduki oleh tentara Demak. Boleh jadi nama Pasuruan dan Panarukan telah dikelirukan oleh penulis Portugis itu. Jumlah prajurit dan kapal perang yang luar biasa besarnya seperti yang diberitakannya, mustahil kiranya. Mengenai raja Surabaya, yang menggantikan raja di Demak, tidak disebut-sebut dalam cerita-cerita tutur Jawa.[38]
 Namun, perlu juga diperhatikan bahwa, menurut daftar tahun peristiwa, perang di ujung timur Jawa pada tahun 1546 merupakan peristiwa bersenjata yang terakhir bagi Sultan Demak, dan sesudah tahun 1546 di Jawa Tengah memang mulai masa kekacauan; terjadi perang saudara antara para penguasa. Walaupun ada kecurigaan yang beralasan terhadap Fernandez Pinto yang penuh khayalan dan romantis itu (pada tahun 1546 ia tidak ada di Jawa) masih juga dapat diakui bahwa ekspedisi ke ujung timur Jawa itu karena suatu hal fatal bagi Sultan Tranggana sehingga ia meninggal dalam pertempuran atau tidak lama sesudah itu.[39] Dengan itu berakhirlah usaha perluasan kekuasaan pusat keislaman baru di Jawa Tengah itu terhadap semua daerah yang sebelumnya mengakui raja Majapahit sebagai penguasa tertingginya.

II-16       Politik dan peradaban kerajaan Islam Demak pada abad ke-16
Pemberitaan-pemberitaan yang dapat dipercaya dan yang agak luas mengenai sistem pemerintahan, para pejabat kerajaan, dan Keraton Demak dalam abad ke-16 boleh dikatakan tidak terdapat dalam karya-karya tulisan Jawa dan Portugis mengenai zaman itu. Yang berikut ini berdasarkan beberapa catatan lepas, umumnya keterangan tentang tokoh-tokoh yang agak berarti dalam pelbagai cerita dan selanjutnya berdasarkan perkiraan belaka.
Menurut cerita tutur Jawa, yang dikuatkan dalam buku-buku cerita dan cerita babad pada abad ke-17 dan abab-abad berikutnya, kerajaan Islam Demak merupakan lanjutan Kerajaan Majapahit yang "kafir" itu. Dalam cerita-cerita selanjutnya (yang tidak dapat dipercaya) Raden Patah, raja yang legendaris itu, bahkan dianggap seolah-olah putra maharaja "kafir" yang terakhir. Ternyata bagi para penulis Jawa pada abad ke-17 dan abad-abad sesudahnya, perbedaan agama (antara kafir dan Islam) tidak begitu penting dibanding dengan kesesuaian dalam susunan pemerintahan. Padahal, penulis-penulis ini orang-orang Islam; malahan mungkin banyak di antara mereka termasuk "golongan orang alim". Karena itulah mereka banyak menaruh perhatian pada legenda-legenda tentang orang suci.
Masuk akal sekali bahwa pendapat Jawa ini banyak benarnya. Raja-raja Jawa Islam di kerajaan-kerajaan kecil sepanjang pantai utara Jawa telah bertahun-tahun hidup sebagai raja taklukan - begitulah perkiraan orang - di bawah kekuasaan maharaja "kafir", sebelum raja Demak merasa sebagai raja Islam merdeka dan memberontak terhadap "kekafiran". Tidak diragukan lagi bahwa sudah sejak abad ke-14 orang-orang Islam tidak asing lagi di kota Kerajaan Majapahit dan di bandar Bubat. Cerita-cerita Jawa, yang memberitakan adanya "kunjungan menghadap raja" ke Keraton Majapahit sebagai kewajiban tiap tahun, juga bagi raja-raja bawahan beragama Islam, mengandung kebenaran juga. Dengan melakukan "kunjungan menghadap raja" secara teratur itulah raja taklukan menyatakan kesetiaannya; sekaligus dengan jalan demikian ia tetap menjalin hubungan dengan para pejabat Keraton Majapahit, terutama dengan Patih. Waktu raja Demak menjadi raja Islam merdeka dan menjadi sultan, tidak ada jalan lain baginya - begitu perkiraan orang - selain meniru tata cara yang sudah dikenal baik dalam hal pemerintahan negara dan upacara keraton.[40]
Bahwa banyak bagian dari peradaban lama, sebelum zaman Islam telah diambil alih oleh keraton-keraton Jawa Islam di Jawa Tengah, terbukti jelas sekali dari kesusastraan Jawa pada zaman itu.[41] Raja Demak Senapati Jimbun disebut sebagai penyusun suatu himpunan undang-undang dan peraturan di bidang pelaksanaan hukum, yang diberi nama Jawa Kuno: Salokantara. Naskah-naskah Jawa kuno tentang pemerintahan dan pegawai-pegawai raja (Wadu Aji) ternyata telah dikenal juga dalam karangan-karangan selanjutnya dalam versi Jawa Tengah. Keraton Demak dan keraton-keraton Islam abad ke-16lainnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah pasti telah mengetahui naskah-naskah tersebut. Melalui perantaraan mereka, bahan itu telah dikenal di Jawa Tengah bagian selatan pada abad ke-17 dan sesudahnya.
Di keraton-keraton Jawa, juga di zaman pra-Islam, patih raja menduduki tempat yang penting. Beberapa cerita babad memuat penggambaran singkat mengenai para patih raja-raja Demak (Meinsma, Babad, hal. 62). Mereka itu mungkin para penguasa di Wana Salam (di selatan Demak, di tepi Sungai Tuntang), dan merupakan keturunan seorang hamba setia dari moyang raja-raja yang datang dari "atas angin" (jadi, mungkin seorang asing dari seberang lautan, seperti majikannya).[42] Dalam satu babad (Babad Tanah Djawi, jil. III, hal.14) Patih Demak diberi nama Mangkurat.
Di zaman pra-Islam, keluarga raja sebelumnya, sekelompok pemimpin rohani terkemuka mengambil alih kedudukan di keraton dan dalam pemerintahan. Mereka itu berkali-kali disebut, dengan gelar dan namanya, dalam kata pendahuluan amanat-amanat raja yang ditulis pada lembaran kuningan, yang tersimpan sampai kini. Beberapa di antara pemimpin rohani itu pernah menjadi hakim pada mahkamah agung kerajaan; mereka disebut dharmadhyaksa dan kertopapatti. Dalam kitab-kitab hukum dari zaman Demak, misalnya Salokantara karangan Senapati Jimbun, mereka itu disebut jeksa. Kata ini rupanya berasal dari dharmadhyaksa. Tentu raja-raja Islam di Demak mengambil alih lembaga mahkamah agung kerajaan itu dari Majapahit "kafir" pendahulu mereka. Pengadilan pradata, yang sampai akhir abad ke-19 terdapat di De Vorstenlanden (Daerah Raja-Raja Jawa Tengah) sebagai mahkamah agung kerajaan, dapat dipandang sebagai suatu lembaga yang berasal dari zaman pra-Islam.[43]
Dapat dimengerti bahwa di Demak para jeksa (yang tentunya beragama Islam, seperti semua pegawai negeri lainnya) tidak mempunyai kekuasaan rohani yang sama seperti para dharmadhyaksa "kaftr" di Majapahit; kekuasaan itu mereka punyai karena memiliki pentahbisan dalam masyarakat Syiwa dan Budha. Dalam pemerintahan negara Islam di Demak sudah seharusnya disediakan tempat bagi hukum Islam, yaitu fiqh. Menurut teorinya, seharusnya fiqh itu di negara-negara Islam mempunyai kedudukan tertinggi; tetapi umum mengetahui bahwa keadaan demikian itu boleh dikatakan tidak pernah ada di mana pun. Di Jawa hukum adat dan hukum peradilan yang bercorak "Hindu" masih bertahan di samping hukum Islam. Fiqh hanya terbatas pada hukum perkawinan dan yang bersangkutan dengan itu. Juga segala perkara yang dalam arti sempitnya termasuk bidang ibadat tentunya dikuasai oleh fiqh.
Sebagai ahli dan penegak hukum fiqh (= fakih) di Demak yang beragama Islam itu, sudah tentu bertindak seorang kiai dari kalangan alim ulama. Jabatan pemangku hukum syariat dan fungsi pemimpin masjid (imam), sudah sejak permulaan zaman Islam di Jawa berhubungan erat. Gelar "pangulu" (kepala), yang sudah dipakai oleh imam-imam di Demak, mungkin suatu bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka peroleh, juga di bidang hukum. Mungkin sekali nama Sunan Kalijaga, yang menurut legenda merupakan orang terpenting di antara para wali dan pemimpin majelis di Masjid Demak yang suci itu, ada hubungannya dengan kata "kali"; dalam bahasa Arab kadhi. Biasanya nama itu dianggap berasal dari sebuah sungai kecil, Kali Jaga, di Cirebon. Di beberapa ibu kota (pernah di Pesisir) jabatan hakim kepala Islam (kali, kadhi) tetap terpisah (atau dipisahkan) dari jabatan imam. Seperti halnya di Majapahit "kafir", boleh jadi kekuatan militer raja-raja Demak sebagian besar berdasarkan para prajurit yang terdiri dari para pemuda sukarela dari kalangan tuan tanah dan para petani bebas.[44] Legenda tentang Jaka Tingkir, yang kemudian menjadi raja di Pajang, memperlihatkan bagaimana seorang pemuda dengan jalan masuk dinas pasukan tentara di ibu kota, akhirnya mencapai pangkat tertinggi. Pasukan Tamtama, yang dimasuki Jaka Tingkir, sudah ada di Keraton Majapahit, dan sampai abad ke-20 ini masih tetap ada "prajurit Tamtama" di keraton raja-raja di Jawa Tengah, Surakarta dan Yogyakarta. Tetap dipakainya nama kuno ini untuk suatu kelompok prajurit merupakan salah satu contoh betapa kuat naluri orang Jawa untuk mempertahankan peninggalan di bidang budaya.[45]
Pada zaman Demak kefanatikan orang-orang yang baru saja memeluk agama Islam dan jiwa kepahlawanan tradisional umat Islam telah mendorong orang-orang yang semula termasuk "masyarakat alim" -yaitu para perajin dan pedagang di lingkungan masjid ibu kota dan desa - bergabung menjadi kelompok-kelompok bersenjata dengan tujuan mempertahankan agama yang benar dan memperluas daerah agama Islam. Dapat diakui bahwa itulah yang merupakan latar belakang terbentuknya kelompok "penghulu bersenjata", seperti diberitakan dalam Serat Kandha (hal. 337-339) dan dalam beberapa cerita babad. Pejuang-pejuang agama yang penuh semangat itulah yang menurut cerita, di bawah pimpinan yang dipertuan di Kudus (ia sendiri keturunan penghulu) telah secara aktif ikut serta dalam perang suci yang menyebabkan jatuhnya ibu kota "kafir" Majapahit untuk selama-lamanya.[46]
Masuk akal jika ada dugaan bahwa kelompok pegawai keraton yang setengah militer setengah religius itu (di keraton-keraton Jawa Tengah sejak abad ke-17 dikenal dengan nama Suranata) adalah peninggalan suatu kelompok "orang-orang alim" yang dipersenjatai dan berasal dari golongan menengah di kota-kota. Mereka telah berhasil merebut tempat yang paling dekat dengan raja.[47]
Pada paruh kedua abad ke-17, lama sesudah keluarga raja Demak terpaksa menyerahkan segala kekuasaannya kepada raja-raja Mataram, kekuasaan di Demak dipegang oleh seorang tumenggung Suranata. Hal itu antara lain tertulis dalam uraian berbahasa Belanda tentang ekspedisi di bawah pimpinan Hurdt pada tahun 1678 (Graaf, Hurdt). Orang-orang Belanda mengira bahwa ia harus dipandang sebagai "pangeran pewaris" (putra mahkota). Mungkin juga tumenggung itu mengambil namanya dari Suranata, satu golongan prajurit yang telah ada pada zaman gemilangnya Demak, seabad yang lalu. Nyatanya di Kudus juga terdapat sebuah masjid kecil Suranata (lihat cat. 103) di dekat reruntuhan keraton dahulu. Dalam Sadjarah Dalem, silsilah keturunan keluarga raja Mataram (Padmasoesastra, hal. 262) disebutkan bahwa Ratu Podang, putri kedua Ratu Wandan (saudara perempuan Sultan Agung di Mataram yang giat dan cerdas itu, dan kawin dengan Pangeran Pekik, Pangeran Surabaya yang terakhir) telah dikawinkan dengan seorang tumenggung di Mataram. Oleh seorang pamannya yang sangat berkuasa, yaitu Sultan Agung, ia diangkat sebagai bupati di Demak dengan nama Tumenggung Suranata. Konon, makamnya terletak di Kroya. Mungkin inilah orangnya, atau mungkin ayahnya yang dimaksud dengan Tumenggung Suranata dari tahun 1678 (lihat juga Bab III-4, penutup).
Tentang susunan tempat kediaman raja-raja, keraton, dan pembangunan kota-kota di Jawa dalam abad ke-16, hanya sedikit yang kita ketahui. Dapat diterima bahwa para raja Islam di Demak, raja-raja sezamannya dan para pengganti mereka di kerajaan-kerajaan Islam lainnya mengikuti contoh ibu kota kerajaan Majapahit yang terkenal itu. Menurut cerita, ada bagian-bagian gedung yang dipindahkan dari Majapahit ke Demak dan Kudus, dan ada seorang ahli bangunan Majapahit, Ki Sepet, yang bekerja untuk raja-raja Demak dan Cirebon.
Tempat kediaman maharaja Majapahit dalam abad ke-14 dilukiskan dalam buku Nagara Kertagama (Pigeaud, Java, jil. V, denah I dan II). Persamaan dalam pola dasar antara tempat kediaman maharaja itu dan keraton-keraton dewasa ini di ibu kota kerajaan-kerajaan Jawa Tengah bagian selatan, Surakarta dan Yogyakarta, memang sangat mencolok. Persamaan itu membuat kita mengakui bahwa raja-raja Mataram pada permulaan abad ke-17 telah mencontoh keraton-keraton Demak dan Pajang, yang pada abad ke-16 telah dibangun menurut pola dasar Keraton Majapahit pada abad ke-14 atau ke-15. Besar kemungkinan, perbandingan dan ukuran bagian-bagian gedung-gedung itu telah berubah dalam waktu beberapa abad. Boleh jadi keraton-keraton di Daerah Raja-Raja Jawa Tengah (De Vorstenlanden) itu lebih luas dari keraton-keraton sebelumnya. Sayang, kerusakan-kerusakan hebat yang diakibatkan oleh perang pada abad-abad ke-17 dan ke-18, dan yang disebabkan pula oleh tata kota modern pada abad ke-19, peninggalan tempat-tempat kediaman raja-raja di kota-kota Pesisir Jawa hampir hilang sama sekali. Hanya penyelidikan tanah dan penggalian-penggalian oleh dinas purbakala yang sanggup menampilkan pola dasarnya kembali.
Menurut uraian-uraian para pengunjung Portugis dan Belanda yang pertama, kebanyakan kota-kota pelabuhan Jawa pada abad ke-16 dan pada permulaan abad ke-17 diperkuat dengan kubu-kubu pertahanan, pagar-pagar bertiang atau tembok. Demikian diceritakan tentang kota-kota Demak, Jepara, Cirebon, Banten, Pati, Tuban, Sidayu, Gresik, Surabaya, Aros Baya, Wirasaba, dan Pasuruan. Sebagian dari kubu-kubu itu baru dibuat sesudah pertengahan abad ke-16, atau diperbaiki dan diperluas. Tidak ada petunjuk-petunjuk yang jelas bahwa pada abad ke-14, selama pemerintahan raja-raja "kafir" di Majapahit, kota-kota di Jawa telah dikelilingi oleh kubu-kubu pertahanan perang yang kuat. Jika pada abad ke-15, lebih-lebih pada abad ke-16, terjadi pertambahan peralatan perang di Jawa, hal itu disebabkan mengendurnya keamanan dan bertambahnya bahaya serangan dari pedalaman. Perlawanan orang-orang alim dan raja-raja Islam melawan Majapahit, dan kekeruhan di Demak sesudah meninggalnya Sultan Tranggana, mungkin telah menimbulkan kekacauan dan bentrokan-bentrokan di semua wilayah. Tentang hal itu tidak ada berita yang sampai kepada kita.
Bertambahnya bangunan-bangunan militer di Demak dan ibu kota lainnya di Jawa pada abad ke-16, kecuali karena keperluan yang sangat mendesak, disebabkan juga oleh pengaruh tradisi kepahlawanan Islam dan contoh-contoh yang dilihat di kota-kota Islam di luar negeri. Mungkin juga golongan menengah Islam yang bertempat tinggal di perkampungan sekitar masjid besar merasa perlu mengamankan kepentingan materi mereka dan membantu Perlindungan Agama, yaitu raja, membangun kubu pertahanan militer.[48]
Peranan penting Masjid Demak sebagai pusat peribadatan kerajaan Islam pertama di Jawa, dan kedudukannya di hati orang-orang beriman pada abad ke-16 dan sesudahnya, telah dibicarakan lebih dahulu (Bab I-7 dan II-7). Terdapatnya jemaah yang sangat berpengaruh dan dapat mengadakan hubungan dengan pusat-pusat Islam internasional di luar negeri (di Tanah Suci, dan bila perlu, dengan Khalifat Turki) mungkin merupakan hal yang membedakan pemerintahan negara Keraton Majapahit "kafir" lama itu dengan Kesultanan Demak yang masih muda.
Bagian-bagian penting peradaban Jawa Islam yang sekarang, seperti wayang orang, wayang topeng, gamelan, tembang macapat, dan pembuatan keris, kelihatannya sejak abad ke-17 oleh hikayat-hikayat kebudayaan Jawa dipandang sebagai hasil penemuan para wali, orang-orang suci Islam, yang hidup sezaman dengan Kesultanan (Demak). Cerita-cerita itu bahkan menganggap jenis-jenis wayang tertentu ada kaitannya dengan beberapa orang suci, sebagai penemunya. Namun, pasti kesenian tersebut sudah mendapat kedudukan penting dalam peradaban Jawa sebelum Islam, kemungkinan berhubungan dengan ibadat. Pada waktu abad ke-15 dan ke-16 di kebanyakan daerah di Jawa tata cara "kafir" harus diganti dengan upacara keagamaan Islam, seni seperti wayang dan gamelan itu telah kehilangan sifat sakralnya. Sifatnya lalu menjadi "sekuler". Sekularisasi dari yang dahulunya memiliki unsur-unsur "kafir" merupakan awal perkembangan ungkapan seni yang terkenal di Jawa Islam dewasa ini. Sejak abad ke-17, cerita-cerita Jawa berpendapat bahwa beralihnya Pulau Jawa ke agama Islam adalah berkat semangat dakwah Islam para wali. Oleh karena pengislaman itu membawa serta sekularisasi dalam kesenian, maka sekularisasi itu, yaitu permulaan perkembangan kesenian Jawa "modern", untuk masa itu, merupakan jasa orang-orang suci itu juga.
Sampai seberapa jauh ungkapan-ungkapan kesenian, seperti jenis-jenis wayang dan tembang tertentu, dapat dikaitkan dengan para wali, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, masih perlu diselidiki kebenarannya. Pokoknya abad ke-16 itu ternyata sangat penting bagi perkembangan seni Jawa Islam sekarang ini, yang lahir dari contoh-contoh yang lebih tua, yang "kafir" dan sakral.[49]
Perkembangan sastra Jawa, yang pada waktu itu dikatakan "modern", juga mendapat pengaruh dari proses sekularisasi karya-karya sastra yang dahulu keramat dan sejarah suci dari zaman kuno. Peradaban ,Pesisir", yang berpusat di bandar-bandar pantai utara dan pantai timur Jawa, mungkin pada mulanya - pada abad ke-15 - tidak semata-mata bersifat Islam. Tetapi kejayaannya pada abad ke-16 dan ke-17 dengan jelas menunjukkan hubungan dengan meluasnya agama Islam.[50]
Keruntuhan yang cepat dari Kesultanan Demak yang masih muda itu, dan kerajaan-kerajaan lain sepanjang pantai utara Jawa pada abad ke-16 dan ke-17 beserta muncuinya Kerajaan Mataram di pedalaman pada satu pihak, ditambah dengan munculnya Betawi yang asing dan tidak-Islam itu pada pihak lain, menyebabkan cara berpikir yang bersifat internasional dari kaum beragama dan para penguasa duniawi makin lama makin melemah di Jawa. Pada abad ke-18, di Jawa Tengah sebelah selatan, lebih-lebih di Surakarta, mulai tampak kegiatan renaissance di bidang sastra dan peradaban Jawa dari zaman sebelum Islam, yang sangat mengagung-agungkan "zaman kuno" dan Majapahit yang "kafir" itu. Sejak itu sampai zaman modern ini, "Majapahit" di Jawa, dan di Indonesia, merupakan tonggak keagungan ketatanegaraan dan kebudayaan kuno. Kesultanan Islam di Demak, yang hanya sebentar mengalami masa jayanya, dalam kenangan-kebudayaan orang-orang Jawa dari kalangan atas, terdesak ke pojok.[51]
e-books a.mudjahid chudari




[1]       Pada abad ke-17 selama musim hujan orang dapat berlayar dengan sampan lewat tanah yang tergenang air, mulai dari Jepara sampai Pati di tepi Sungai Juwana (Graaf, Sunan Mangku Rat, jil. ke-1, hlm. 218). Pada lahun 1657 Tumenggung Pati mengumumkan, bahwa ia bermaksud menggali saluran air baru dari Demak ke Juwana, hingga Juwana akan dapat menjadi pusat perdagangan (Grad, Sunan Mangku Rat, jil. ke-1, hlm. 112). Boleh jadi ia menginginkan memulihkan jalan air lama, yang satu abad yang lalu masih dapat dipakai.
[2]       Pada tahun 1678 tentara gabungan Belanda-Jawa telah bergerak dari Jepara ke Kediri untuk menghadapi pemberontakan Trunajaya. Di Grompol pasukan-pasukan tersebut sampai di Bengawan Solo, dan bergerak terus ke arah timur lewat lembah sungai itu. (Graaf, Hurdt dan juga Bab mengenai "The Javanese landscape and the system of roads and waterways", dalam Schrieke, Ruler, hlm. 102 dst.).
[3]       Lihat Pigeaud, Literature, jil. 1, hlm. 138 dan seterusnya. Buku Kandha yang mungkin telah diterjemahkan sekitar tahun 1800 di Semarang ke dalam bahasa Belanda, dan yang dalam karangan ini akan berkali-kali dakutip, berisi bagian-bagian yang lebih tua daripada naskah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden (Codex LOr, No. 6379).
[4]       Penulisan sejarah Banten dengan panjang lebar telah diuraikan dan dibicarakan dalam Djajadiningrat, Banten, dan dalam Edel, Hasanuddin. Karangan Brandes (Brandes, Register) memberikan ringkasan historiografi tentang Mataram.
[5]       Mengenai kedudukan para kawula di Jawa pada abad ke-15, ke-16 dan abad-abad berikutnya, lihat Pigeaud, Java, jil. V, "Society". Kedudukan kawula dapat dibandingkan dengan "kedudukan sebagai budak tebusan /orang bujang", yang di bagian-bagian lain di Nusantara telah menjadi kelaziman.
[6]       Patih ialah gelar atau pangkat di Jawa yang sudah tua sekali. Kemudian kedudukan patih tidak selamanya sama derajatnya. Pada umumnya patih ialah seorang kuasa usaha dan bendahara para bangsawan. Mungkin pernah terjadi bahwa seorang patih dipilih dari golortgan "kawula" (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 450454, mengenai Piagam Karang Bogem, 1387 M.) Patih raja "Cina", yang muncul dalam cerita Sadjaah Banten, tidak perlu dianggap sebagai pemimpin pemerintahan.
[7]       Jumadil-Kubra ialah nama seorang suci Islam (atau lebih daripada satu), yang menjadi tokoh lagenda (Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah kata "Jumadil Kubra”).
[8]       Mengenai kedudukan tanda dalam abad ke-14, ke-15 dan kemudian, lihat cat. 5 terdahulu, Pecat tanda. Pecat tanda di Terung, yang kiranya telah memainkan peranan penting pada hari-hari terakhir Kerajaan Majapahit, berasal menurut cerita tutur Jawa Timur juga dari keturunan "Cina".
[9]       Dari cerita ini tidak ternyata bagaimana kiranya kedudukan Lembu Sora, yang telah dibunuh itu, dalam Kerajaan Majapahit. Kejadian-kejadian yang telah dituturkan itu akan menjadi jelas, apabila kita akui bahwa ia seorang raja bawahan yang memerintah daerah Demak, dan secara langsung menjadi atasan tandha tersebut. Lembu Sora ialah nama perlambangan ("Lembu yang berani"). Nama-nama yang disusun dengan nama-nama binatang (Lembu, Kuda) demikian itu kita jumpai dalam kesusastraan Jawa yang berupa legenda-legenda mengenai raja-raja Kediri maupun kerajaan-kerajaan sesudahnya. Yang bernama Lembu ?eteng, 'Lembu Gelap', disebutkan sebagai salah satu moyang sunan Tembayat dan pangeran Kajoran, Orang-orang Suci di Jawa Tengah bagian selatan dari abad ke-16 dan ke-17. Lembu Peteng ini kiranya seorang putra raja Majapahit (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 445). Dari Nagara Kertagama diketahui bahwa dalam Keiajaan Majapahit anggota-anggota keluarga raja (kadang-kadang) dijadikan raja (muda) di pelbagai bagian negara; boleh jadi kekuasaan mereka hanya bersifat nominal saja (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 521 dst.). Satu dan lain hal memungkinkan adanya perkiraan bahwa pemberontakan tandha di Bintara itu ditujukan kepada atasannya yang mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga Majapahit.
[10]     Panembahan Jimbun diberitakan dalam sebuah buku cerita (serat kandha) yang isinya panjang lebar (Pigeaud, Literature, jil. II, hhn. 3626 dan 363a). Yang penting untuk dikemukakan ialah bahwa dengan menyebut nama Senapati Jimbun sebagai penyusun, telah diterbitkan buku hukum yang diberi nama Salokantara (Pigeaud, Literature, jil. 1, hlm. 310a). Buku ini tergolong kesusastraan abad ke-16 yang bersifat hukum. Mudah sekali dapat diduga bahwa buku ini telah disusun atas perintah raja yang paling kuasa dari dinasti Demak, mungkin raja pertama yang dapat mengetengahkan dirinya sebagai raja Islam yang berdaulat.
[11]     Lihat Knebel, Babad Pasir; lihat juga Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 146 dst.
[12]     Sebelumnya telah dibicarakan (cat. 18) pusat-pusat kehidupan Islam lain sebagai pangkal penyebaran agama Islam ke seluruh Jawa, yaitu sekolah-sekolah agama (pondok-pondok, pesantren-pesantren).
[13]     Pangeran (atau Sunan) Bonang ialah satu di antara Sembilan Orang-orang Suci (Wali Songo), rasul-rasul dalam agama Islam, yang telah dihormati oleh orang-orang beriman dari zaman lama di Jawa Tengah. Banyak legenda diceritakan tentangnya (Pigeaud, Literature, jil. III, Indeks). Buku Sunan Bonang, secara tidak tepat oleh Dr. Schrieke (Schrieke, Bonang); dianggap sebagai karangan Sunan Bonang telah diterbitkan lagi oleh Dr. Drewes (Drewes, Admonitions).
[14]     Memang kita tertarik untuk berkesimpulan bahwa pindahnya Imam Demak yang ketiga ke Jepara itu terjadi pada saat ketika raja Jepara (mungkin Pate Unus menurut orang-orang Portugis, Adipati Sabrang Lor menurut ceritera tutur Jawa) mempunyai kekuasaan juga di Demak. Karena raja itu meninggal pada tahun 1521, tentunya perpindahan itu terjadi sebelum tahun tersebut.
[15]     Peperangan (melawan Majapahit) itu terjadi kira-kira pada tahun 1524 (chat Bab II-10). Imam yang keempat ialah imam pertama, yang diberi sebutan "pengulu", dengan istilah pinjaman dari bahasa Melayu yang sekarang lazim dipakai di Jawa. Dapat diperkirakan, bahwa penggantian sebutan imam menjadi pengulu ini dapat dihubungkan dengan pergantian fungsi. Dengan gelar pengulu itu mungkin raja hendak menambahkan bobot yang lebih nyata lagi pada kekuasaan sekuler yang dimiliki kepala jemaah masjid. Rupanya Pengulu Rahmatullah memang benar-benar ikut bertempur di medan laga. Rahmatullah agaknya merupakan nama anumerta: "Yang telah kembali ke Rahmat Allah".
[16]     Pangeran Kudus ini dalam sejarah Jawa Tengah pada pertengahan pertama abad ke-16 telah memainkan peranan yang cukup penting (lihat Bab 5). la juga termasuk Wali Songo, seperti sanak keluarganya yang lebih tua, yaitu Sunan Ngampel Denta dan Sunan Bonang, yang dihormati oleh orang-orang beriman zaman lama di Jawa Tengah. Sudah jelas bahwa Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).
[17]     Menurut cerita tutur yang bersifat sejarah tentang raja-raja Melayu (Sajarah Melayu, Bab II), raja Malaka yang ketiga telah menerima gelar dan nama Sultan Muhammad Shah dari Sayid Abdu'l Aziz dari Jedah. Tampilnya orang Arab terkemuka ini dapat dibandingkan dengan apa yang dikisahkan oleh cerita tutur Jawa tentang Syekh Nuruddin dan raja Demak. Ada keanehan bahwa menurut berita seorang Portugis (Barros, Da Asia), "Raja Jepara" telah merelakan dirinya "diislamkan" oleh Palatehan. Ini mungkin dapat diartikan bahwa raja Demak telah diakui dan diumumkan sebagai sultan dan raja Islam yang sebenarnya oleh Sunan Gunungjati.
Dalam sejarah dinasti Jawa yang lebih muda, diketahui bahwa beberapa raja telah meminta atau menerima bantuan atau persetujuan ulama terkemuka guna memperoleh gelar sultan. Raja Pajang bersama dengan raja Demak diakui sebagai sultan oleh Sunan Gunungjati. Cerita yang sukar dipercaya ini tercantum dalam riwayat singkat raja-raja Cirebon, yang pada tahun 1684 disusun oleh Panglima Jacob Couper (yang dapat berbahasa Jawa) untuk keperluan Pemerintah Tinggi di Betawi. Cerita serupa itu telah dicantumkan oleh Ds. Valentijn dalam karyanya yang terkenal yang bersifat ensiklopedi itu (Valentijn, Oud en Nieuw, jil. IV, hlm. 69). Antara pemerintahan raja Pajang dan pemerintahan Sultan Demak yang pertama terdapat jarak waktu hampir setengah abad. Yang mungkin lebih besar kebenarannya ialah cerita (Meinsma, Babad, hlm. 121) bahwa raja Pajang menerima gelar sultan itu (1581 M.) dari Sunan Giri (di Gresik). Yang dapat dipercaya pula ialah berita-berita bahwa Syerif di Mekkah yang pada waktu itu memegang kekuasaan, pada tahun 1638 dengan perantaraan surat telah mengakui raja Banten dan pada tahun 1641 mengakui raja Mataram sebagai sultan. Raja Mataram sejak itu disebut Sultan Agung. Diketahui juga adanya kejadian-kejadian mengenai raja-raja atau para calon raja, yang minta bantuan tokoh-tokoh agama sebagai penengah dalam perselisihan keluarga mereka. Sunan Giri tersebut di atas rupanya telah bertindak sebagai penengah antara raja Surabaya dan Panembahan Senapati Mataram; Panembahan Senapati telah mendengar ramalan bahwa keturunannya akan menjadi maharaja di seluruh Jawa. Dengan disaksikan oleh Panglima Couper tersebut di atas, pada tahun 1680, Sunan Giri telah menolak permintaan bantuan Mangkurat II dari Mataram dan menjatuhkan pilihannya pada Pangeran Puger; dan Pangeran Puger kemudian menjadi raja Mataram. Dalam hubungan ini Couper bahkan menganggapnya sebagai suatu pengurapan 'menjadi raja'. Tetapi upacara serupa itu, seperti upacara naik tahta yang berlaku bagi raja-raja Eropa, sepanjang diketahui orang, di Jawa tidak pernah dilakukan terhadap raja-raja Islam.
 Akhirnya diketahui adanya surat Jawa dari tahun 1708 (terjemahan ke dalam bahasa Belanda terdapat dalam buku Bataviaas Inkomend Briefboek, .1709, jil. VIII), yang menyatakan anggapan penulis surat itu tentang raja-raja Mataram dahulu, seolah-olah mereka itu "ditetapkan sebagai raja oleh sahabat-sahabat Tuhan, para wali tua itu, dengan persetujuan dari Mekkah".
Kiranya dapat dipertimbangkan, apakah pengaruh yang cukup besar dari. para pemimpin rohani terhadap putusan-putusan politik dan penggantian raja-raja Jawa ini merupakan sisa-sisa kekuasaan, yang dimiliki para pendeta brahmana maupun para rohaniwan lain pada zaman Hindu di Jawa, (sebelum zaman Islam) untuk dapat bertindak terhadap kaum awam, bahkan juga terhadap raja.
[18]     Mundurnya kekuasaan raja-raja Majapahit di Nusantara pada abad ke-15 merupakan pokok isi sebuah tinjauan ilmiah Dr. De Graaf (Graaf, "Tome Pires").
[19]     Tentang Kisah Damarwulan, lihat cat. 9 sebelumnya. Ikhtisar singkat mengenai cerita-cerita legenda dalam pelbagai buku-buku cerita dan cerita babad tentang raja-raja Brawijaya di Majapahit terdapat dalam Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah kata "Majapahit".
[20]     Berita Tome Pires tentang Guste dan keluarganya serta daerahnya "Gamda" akan ditinjau lebih lanjut dalam Bab-bab 12-17, yang membicarakan Jawa Timur.
[21]     Mungkin keluarga raja Majapahit telah terpecah menjadi dua cabang pada abad ke-14. Satu cabang disebut dengan mengingat akan Kediri, kota kerajaan lama, yang hampir seabad sebelum Majapahit sudah sangat penting kedudukannya. Mungkin ibu kota Majapahit mempunyai bagian kota atau "anak" kota tempat tinggal "Pangeran Kediri" hingga namanya disesuaikan dengan nama pangeran itu (Pigeaud, Java, jil. IV, Bab 9). Adanya tempat "Daha" (= Kediri) di dekat kota lama Majapahit dapat dibaca dalam suatu naskah Jawa Kuno yang memberitakan adanya jalur jalan antara Majapahit dan Pasuruan yang melewati "Daha" (Berg, Traditie, hlm. 23). Kota Kediri sekarang, yang terletak agak jauh di sebelah barat Majapahit, dan Pasuruan di sebelah timurnya. Dapat diperkirakan bahwa sekitar tahun 1500, yakni periode yang dibicarakan oleh Tome Pires, kekuasaan keluarga raja cabang Kediri begitu besar, sehingga seluruh kota kerajaan itu disebut "Daha", sesuai dengan nama keluarga raja itu; "Daha" berarti Kediri. 
Tome Pires menamakan Pakuwan, kota Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, juga Dayo (lihat Bab VIII-1). Dayeuh ialah kata Sunda, yang artinya ibu kota. Orang mungkin akan mencari-cari hubungan antara kata dayeuh ini dan nama kota Daha di Jawa Timur. Suatu usaha yang patut dipuji untuk memantapkan pengetahuan kita tentang Majapahit pada akhir kejayaannya telah dilakukan oleh Dr. Noorduyn dalam karangannya "Majapahit in the fifteenth Century" (Noorduyn, "Majapahit").
[22]     Mungkin sudah pada abad ke-17 di Jawa Tengah 14001. (1478 M.) telah diakui oleh para sarjana Jawa sebagai saat runtuhnya Majapahit dengan maksud memenuhi keinginan agar terdapat tata tertib dalam sejarah negeri mereka. Menurut pandangan mereka, pada 1400 J. Majapahit harus menyerahkan kedudukannya kepada Demak; pada 1500 J. Pajang menyerahkan kedudukannya kepada Mataram; dan pada 1600 J. Mataram menyerahkan kedudukannya kepada Kartasura. Keinginan akan perlunya tata tertib dalam sejarah ini ada hubungannya dengan perasaan akan adanya Ketertiban Agung Alam Semesta, yang menjadi dasar jiwa keagamaan Jawa maupun pandangan falsafahnya. Menurut kenyataannya, Majapahit masih tetap berdiri sampai dasawarsa ketiga abad ke-16. Prasasti bertanggal 1512 M, yang ada di bangunan sua di Gunung Penanggungan (salah satu dari "gunung-gunung keramat" sekitar Majapahit), menunjukkan bahwa cara penyembahan "kafir" tetap bertahan sampai pada abad ke-16 (Van Romondt, Penanggungan).
[23]     Hampir 150 tahun kemudian, seorang petualang Islam dari Makassar, yang menamakan diri Raja Namrud, telah mendirikan benteng di Slinga, dekat Purbolinggo di Banyumas, tempat ia mempertahankan diri selama beberapa waktu terhadap serangan orang-orang Jawa dari Mataram dan serangan pasukan-pasukan Kompeni (VOC). Tempat ini diberi nama Mesir. Nama ini mungkin, kecuali ada hubungannya dengan kefanatikan jiwa Islam Raja Namrud, juga telah berkaitan dengan Pasir, kerajaan tua Banyumas asli, yang telah mempertahankan tradisi lama untuk menentang penjajahan orang-orang Jawa Tengah, sejak zaman Demak (riwayat Yang Dipertuan di Bocor), zaman Pajang (ekspedisi terhadap Wirasaba di Banyumas); lihat: Graaf, "Kadjoran".
[24]     Dalam karangan De Graaf (Graaf, "Tome Pires") keterangan-keterangan dari babad-babad sangkala Jawa dan berita-berita Portugis telah kita banding-bandingkan sebaik mungkin.
[25]     Dalam Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah kata "Medang" dan "Mendang") disebutkan segala bahan keterangan yang ada dalam buku-buku cerita Jawa yang berkaitan dengan tanah asal menurut mitos. Mendangkungan juga merupakan nama wuku yang ke-20 (wuku adalah minggu yang mempunyai 7 hari; satu "tahun" Jawa terdiri dari 30 wuku). Tentang arti nama-nama 30 minggu/wuku itu belum ada keterangan memadai. Ada kemungkinan arti nama-nama tersebut ada hubungannya dengan siklus pertumbuhan padi dan mitos padi.
[26]     Legenda-legenda tentang Sengguruh dan Gribig telah tercatat dalam naskah Jawa, Codex LOr no. 3035, (Pigeaud, Literature, jil.III, Indeks; lihat juga Bab XI-4 dan cat. 186).
[27]     Legenda-legenda dari Madiun telah dicatat oleh J.D.V. (J.D.V., "Madioen" dan oleh Adam (Adam, "Madioen").
[28]     Apa yang disebut "Babad Kadhiri" telah dibicarakan oleh Prof. Drewes (Drewes, "Struggle").
[29]     Ekspedisi (gabungan) Belanda-Jawa terhadap Kediri pada tahun 1678 merupakan pokok-isi buku De expeditie van Anthonio Hurdt (Graaf, Hurdt).
[30]     Hikayat ini dibicarakan oleh Cense (Cause, Bandjarmasin), dan kemudian diterbitkan dan diterjemahkan lengkap oleh Ras (Ras, Bandjar).
[31]     Bukti pengaruh kebudayaan Jawa di Kalimantan Selatan jelas ternyata dari tulisan-tulisan dalam bahasa Jawa pada balok-balok kayu yang menjadi bagian dari suatu gedung di Martapura, tempat kediaman seorang raja Banjar. Tulisan-tulisan prasasti tersebut (Cohen Stuart, "Martapura") ternyata merupakan baris-baris sajak (tembang) dari Kisah Islam Ahmad Muhammad dalam bahasa Jawa Pesisir (Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 225).
[32]     Legenda-legenda tentang Ki Pandan Arang, yaitu Sunan Tembayat atau Bayat, telah diuraikan oleh Dr. Rinkes (Rinkes, "Heiligen"); lihat juga Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Tembayat".
[33]     Surat dari Panembahan telah dibicarakan dalam Graaf, "Kadjoran".
[34]     Legenda-legenda tentang Sunan Tembayat tidak memberitakan sesuatu tentang hubungan macam apa pun antara dia dan penguasa-penguasa daerah atau dengan raja-raja di tanah pedalaman di sebelah selatan. Dapat diperkirakan bahwa pada paruh pertama abad ke-16 daerah tempat Sunan Tembayat bekerja tidak mempunyai arti ekonomi yang penting. Karena itu, daerah ini tidak mendapat perhatian dari penguasa daerah (seperti penguasa-penguasa di Pengging, Tingkir, Butuh, dan Ngerang; lihat Bab XIX-4 dan cat. 309), dan juga tidak dari maharaja di Demak. Sangat besar kemungkinan, Jawa Tengah sebelah selatan, setelah mengalami zaman kemajuan besar pada abad-abad sekitar tahun 1000, kemudian mundur di bidang ekonomi dan politik karena hal-hal yang belum dapat diketahui dengan jelas. Mungkin Panembahan Mataram yang datang kemudian dapat dianggap sebagai perintis, yang membangun kembali perkampungan-perkampungan di daerah-daerah yang lama tidak lagi didiami orang, sehingga akhirnya menjadi daerah yang makmur. Sebaliknya, menurut cerita tutur Banyumas, raja di Pasir yang telah rela diislamkan berasal dari keturunan penguasa setempat yang amat disegani dan telah lama sekali berkuasa di daerah itu dan yang membanggakan diri karena nenek moyangnya berasal dari alam mitos.
[35]     Keterangan-keterangan mengenai tokoh-tokoh legenda, yang tampil dalam cerita-cerita Jawa tentang Pengging dan Pajang dapat dicari melalui Indeks dalam Pigeaud, Literature. Lihat juga ikhtisar sejarah Pajang dalam Bab XIX buku ini, dan catatan-catatan 300-310.
[36]     Panarukan dan Blambangan telah disebutkan dalam Nagara Kertagama (Pigeaud, Java, jil. V, Indeks; juga Bab XVI dan XVII buku ini). Tempat-tempat tersebut telah disinggahi oleh pelaut-pelaut Eropa yang pertama datang mengunjungi Nusantara. Baru pada tahun 1777 Blambangan kehilangan kemerdekaan untuk selamanya, waktu laskar gabungan Madura-Jawa Timur dan Belanda mengusir orang-orang Bali dari Banyuwangi.
[37]     Dapat diperkirakan bahwa daftar-daftar tahun peristiwa Jawa dan buku-buku cerita Jawa, yang masih dapat kita manfaatkan sekarang ini, sebenarnya hasil pengolahan apa yang dapat disebut catatan harian atau kronik keraton dari zaman Sultan Agung sendiri. Ikhtisar tentang kejadian-kejadian penting ini tidak diteruskan lagi setelah raja meninggal karena waktu itu mulai masa yang penuh kekacauan.
[38]     Kekurangtelitian Peregrinacao (karya Pinto), hingga karenanya tidak dapat dipercaya, antara lain telah disoroti oleh Jacques Boulenger (Les Voyages, hlm. 29) dalam pendahuluan karyanya yang berupa terjemahan karangan Pinto (Pinto, Peregrinacao) yang diperpendek; R.A. Kern (Kern, "Verbreiding") telah berhasil meyakinkan kita bahwa Pinto telah menukar Panarukan dengan Pasuruan. Pembetulan kesalahan ini telah membuat laporan yang disusunnya tentang kejadian-kejadian itu menjadi mudah dimengerti, sekalipun tidak sepenuhnya dapat diakui kebenarannya.
[39]     Di samping Masjid Demak, ditunjukkan tiga makam raja Demak, tanpa nama dan tanpa tahun. Ini sering terjadi pada makam-makam tua. Satu makam yang lebih panjang dari lainnya, kiranya makam Raden Patah (Brumund, Indiana). Soedjana Tirtakoesoema, yang sekitar tahun 1930 menjadi juru bahasa Jawa di Yogyakarta, telah mendengar bahwa makam Raden Tranggana terdapat di dalam cungkup di makam itu; bukan di luar, bersama makam-makam tua. Pemberitaan-pemberitaan para juru kunci mengenai makam-makam "keramat" sering kurang teliti; bagi mereka sifat kesucian keseluruhannya demikian menonjol, sehingga perhatian mereka pada makam-makamnya satu demi satu kurang sekali.
[40]     Kelestarian upacara-upacara di keraton kerajaan sejak zaman Majapahit pada abad ke-14, sampai pada abad ke-20 di keraton-keraton Surakarta dan Yogyakarta, lebih-lebih yang berkenaan dengan "garebeg-garebeg" setengah tahunan, telah dibicarakan oleh Dr. Pigeaud (Pigeaud, Java, jil. IV, "The Court"). Dapatlah diterima bahwa "garebeg-garebeg", dua upacara besar Islam yang bertepatan dengan berakhirnya bulan Puasa dan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, di keraton-keraton disamakan saja dengan upacara-upacara setengah tahunan yang semula bersifat "kafir" dan yang pada abad ke-14 di Majapahit sudah menjadi titik menentukan tiap tahun. Keraton Demak diduga menjadi tempat peralihan berlakunya upacara setengah tahunan itu dari Majapahit ke keraton-keraton Jawa Tengah pada abad ke-17 dan sesudahnya.
[41]     Mengenai peralihan kesusastraan Jawa kuno ini ke dalam pustaka Islam di Pesisir dan kemudian ke dalam Pustaka Mataram, telah dikemukakan ulasan-ulasan oleh Dr. Pigeaud (Pigeaud, Literature, jil. I, hal. 134 dan 158).
[42]     Dalam uraian mengenai ekspedisi Hurdt pada tahun 1678 (Graaf, Hurdt) dikisahkan terjadinya pertemuan dengan seorang "imam tua" dari Wana Salam, yang disebut Tuwan Bangbang. la terkenal karena kesuciannya. Ada kemungkinan bahwa ia berasal dari keturunan para patih Demak dan bahwa ia juru kunci makam-makam mereka. Sebelum zaman Islam, Bangbang atau Wangbang itu suatu gelar bagi seorang terkemuka di bidang rohani.
[43]     Para dharmadhyaksa pada piagam-piagam dalam bahasa Jawa kuno memakai nama-nama pelantikan Sanskerta dan di samping itu juga nama-nama gelar yang aneh, yang asal dan artinya tidak diketahui. Yang menarik ialah beberapa nama gelar yang tidak jelas itu masih juga terdapat dalam cerita-cerita zaman Islam. Jaba Leka ternyata disebutkan dalam cerita babad Jawa Tengah (Meinsma, Babad, hlm. 66) sebagai wong tapa, orang di bidang keagamaan, dari Dukuh Cal Pitu di kaki Gunung Lawu, dan berasal dari suatu keturunan Majapahit. Kiranya ia dahulu ayah Ki Mas Manca, yang mula-mula berguru pada buyut di Banyubiru, kemudian menjadi pengikut dan kelak menjadi patih Jaka Tingkir, Sultan Pajang, dengan nama gelar Tumenggung Mancanegara. Sejarah keluarga raja Pajang yang aneh dan bersifat legenda itu akan dibicarakan dalam Bab XIX.    Terus munculnya nama-nama gelar yang aneh dan serba. tidak jelas itu sampai zaman Islam menimbulkan dugaan bahwa setidak-tidaknya beberapa di antaranya berakar pada latar belakang peradaban Jawa kuno asli (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 368: "Purwadigama"; dan hlm. 402: "Ferry Charter"). Hubungan yang dalam piagam Jawa kuno itu diletakkan antara nama-nama gelar ini dan fungsi kehakiman para dharmadhyaksa kiranya dapat dijelaskan mungkin apabila kita menganggap bahwa para pemakai nama-nama ini pada zaman kuno dahulu kiranya telah memangku jabatan-jabatan penting dalam hubungan kesukuan tertentu. Pada zaman "penghinduan" tanah Jawa kiranya para pemangku jabatan "kuno asli" ini telah dapat diintegrasikan dalam tata susunan rumah tangga, kerajaan dan tata susunan peradilannya.
[44]     Organisasi ketentaraan raja-raja Jawa sebelum zaman Islam telah dibicarakan dalam Pigeaud, Java, jil. IV, "the Court", hlm. 532 dst.
[45]     Yang umum diketahui ialah bahwa (juga pada kebudayaan-kebudayaan lain) ilmu perang, yang erat hubungannya dengan keraton, mempunyai sifat yang konvensional dan kolot.
[46]     Bukan tempatnya di sini untuk mengadakan tinjauan lebih lanjut terhadap gejala-gejala lokal dari fanatisme Islam, yang mungkin sering terjadi sepanjang sejarah di Jawa. Gerakan Darul Islam masih jelas membekas dalam ingatan semua orang, yang telah mengalami tahun-tahun huru-hara sesudah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Pada umumnya pemerintah sah raja-raja Jawa dan pemerintah di Betawi/Jakarta selalu berusaha segera mengakhiri gerakan-gerakan rakyat yang tidak terkendalikan ini; yang merupakan bahaya bagi stabilitas politik. Tidak diketahui apakah raja-raja Demak juga telah merasa terpaksa bertindak dengan kekerasan terhadap "penghulu-penghulu bersenjata" yang sebelum perang membantu mereka dalam menjatuhkan Majapahit (lihat juga cat. 100).
[47]     Mr. L.W.C van den Berg (Berg, "Geestelijkheid") telah melukiskan tempat para suranata di keraton-keraton Surakarta dan Yogyakarta. Mereka mempunyai masjid sendiri, berdekatan dengan pusat kompleks keraton, dan (di Surakarta) mempunyai penghulu sendiri. Van den Berg menamakan mereka ulama-ulama keraton. Lihat juga cat. 103.
[48]     Dengan asumsi bahwa berita-berita tentang menetapnya orang-orang Cina Islam di kota-kola pelabuhan Jawa pada abad ke-15 itu benar, dapat diperkirakan bahwa kota-kota besar di Cina merupakan contoh yang juga mendorong raja-raja Islam yang pertama (yang mungkin mempunyai sepercik darah Cina juga) membuat tembok pengeliling kota.
[49]     Dalam kesusastraan Jawa Islam dapat ditunjukkan adanya hubungan antara para wali dan wayang. Di antara suluk-suluk itu, yaitu nyanyian-nyanyian mistik Islam yang dianggap sebagai karya beberapa ulama dari abad ke-16, ada yang menempatkan wayang dan dalangnya pada pusat perhatiannya (Pigeaud, Java, jil. III, hlm. 396, "Suluk II"). Persamaan nama (Suluk) antara nyanyian-nyanyian mistik dan irama lagu dalang dalam pertunjukan wayang mungkin juga bukan tanpa arti. Suatu. persamaan yang mengumpamakan Tuhan sebagai dalang yang menggerakkan boneka wayang sangat digemari untuk dipakai dalam wejangan-wejangan mistik Jawa pada zaman dahulu. Cerita tutur Jawa, yang mengatakan bahwa para wali agaknya telah memanfaatkan wayang agar agama Islam mudah merasuk ke dalam masyarakat Jawa, dengan demikian ternyata tidak seaneh seperti kesan semula. Baiklah kita ajukan juga suatu cerita legenda, yang mengisahkan bahwa yang kelak menjadi Sultan Pajang itu dilahirkan pada waktu di rumah ayahnya diadakan pertunjukan wayang-beber, dan bahwa ayah ini menjadi penganut guru mistik heterodoks, yaitu Syekh Lemah Abang (hhat Bab XIX-4, dan cat. 309).
[50]     Perkembangan peradaban Pesisir di Jawa telah dibicarakan Dr. Pigeaud (Pigeaud, Literature, jil.I, hlm. 134 dst., dan hlm. 212 dst).
[51]     Renaissance di Surakarta dalam kesusastraan lama, yang telah berkembang pada abad ke-18, telah diuraikan Dr. Pigeaud (Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 235).

0 Response to "Lahirnya dan Masa Kejayaan Kerajaan Demak pada Dasawarsa-Dasawarsa Terakhir Abad ke-15 dan pada Paruh Pertama Abad ke-16"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel