Perjalanan Nahdlatul 'Ulama Tahun 1942-1952
Friday, May 24, 2013
Add Comment
Kelahiran
Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada
masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi hak
hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suaraMIAI tetap diijinkan untuk terbit selama
isinya mengenai hal-hal berikut:
-
Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.
-
Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur'an.
-
Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama' atau kyai yang terkenal.
-
Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.
-
Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.
Akan
tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember
1942 berpidato di hadapan para ulama' dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke
istana Gambir Jakarta, yang isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang
baik kepada pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan
dengan golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang
akan dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama' tampil ke depan untuk
memelopori kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai
organisasi yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan
kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat politik, agar
keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan
segera dapat dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.
Pembentukan laskar rakyat
Pemerintah
Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda
terhadap para ulama' di Indonesia. Dari informasi yang diberikan oleh para
senior yang dikirim oleh pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke
Indonesia (mereka menyamar sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang
keluar masuk kampung), penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia
yang mayoritas beragama Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,
semuanya ta'at, patuh dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para
ulama'.
Oleh
karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para ulama' untuk memukul bangsa
Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan berbagai macam dalih dan alasan,
penjajah Jepang meminta kepada para ulama' agar memerintahkan kepada para pemuda
untuk memasuki dinas militer, seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.
Sedang
Nahdlatul Ulama' sendiri mempunyai maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan
pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu
Nahdlatul Ulama' berusaha memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan
Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama' tidak melupakan
untuk membentuk Barisan Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun
sebenarnya selama penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU
selama penjajahan Jepang adalah menggunakan wadah MIAI dan kemudianMASYUMI.
Masyumi menjelma sebagai Partai Politik
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama' yang dibubarkan oleh penjajah
Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk
membela dan mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum
penjajah yang ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.
Rais
Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama', Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkana fatwa bahwa
mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya.
Seruan
dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif
dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya,
sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil
artinya dalam peristiwa 10 November '45
Pengurus
Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya
yang mengancam dari fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku
penjajahannya di Indonesia.
Kelambanan
NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya
membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal
yang menyangkut perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan
selalu disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas
prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada
masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam,
mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres
tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari
Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan
Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan
Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:
Majlis Syura (Dewan Partai)
| ||
---|---|---|
Ketua Umum
|
:
|
Hadlratus Syaikh KH. Hasyim
Asy'ari
|
Ketua Muda I
|
:
|
Ki Bagus Hadikusuma
|
Ketua Muda II
|
:
|
KH. Abdul Wahid Hasyim
|
Ketua Muda III
|
:
|
Mr. Kasman Singodimejo
|
Anggota
|
:
|
1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim. 3. KH. Abdul Wahab Hasbullah. 4. KH. Abdul Halim. 5. KH. Sanusi. 6. Syekh Jamil Jambek |
Pengurus Besar
| ||
Ketua
|
:
|
Dr. Sukirman
|
Ketua Muda I
|
:
|
Abi Kusno Tjokrosuyono
|
Ketua Muda II
|
:
|
Wali Al Fatah
|
Sekretaris I
|
:
|
Harsono Tjokreoaminoto
|
Sekretaris II
|
:
|
Prawoto Mangkusasmito
|
Bendahara
|
:
|
Mr. R.A. Kasmat
|
Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari Masyumi
Perpecahan
yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul
Ulama'. Sebab Nahdlatul Ulama' selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan
ummat Islam untuk mencapai cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama'
yang dimotori oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikanMIAI,
MASYUMI, dan akhirnya
mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama' adalah modal
pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama' pada
konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai
menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor
Nahdlatul Ulama' juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII (Gabungan Pemuda Islam
Indonesia).
Akan
tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan
bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat
menyulitkan gerak langkah mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang
bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui
oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak.
Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama'/kyai dengan
golongan intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama
semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi.
Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya;
sampai kemudian PSIImenjadi partai.
Pengunduran
diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin
Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di
Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 - 19 Desember 1949, telah diputuskan
perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula
menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak
veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.
Sikap
Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama' tersebut dapat ditolelir oleh
warga Nahdlatul Ulama'. Namun PBNU masih berusaha
keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama' meminta kepada
pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi
Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari
masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak
digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama' untuk mengambil keputusan pada
muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari
Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai.
Nahdlatul Ulama' membentuk Liga Muslimin
Setelah
Nahdlatul Ulama' keluar dari Masyumi, Jam'iyyah NU yang sudah menjadi Partai
Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu
Nahdlatul Ulama' mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk
federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan
hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan
yang positif dariPSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952
diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta,
lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri dari Nahdlatul
Ulama', PSII,
PERTI dan Darud Dakwah Wal
Irsyad.
0 Response to "Perjalanan Nahdlatul 'Ulama Tahun 1942-1952"
Post a Comment