Harun Ar Rasyid, Berusaha Memadukan ‘Leadership’ dan Taqwa.



          Dari Abu Hurairah ra. , Nabi Muhmmad saw. bersabda:

“Tatkala Allah menciptakan surga dan neraka, maka Dia mengutus jibril ke surga seraya berfirman: “Lihatlah disana dan apa yang telah Aku siapkan bagi para penghuninya”. Maka Jibril datang ke surga dan melihat apa yang telah disiapkan Allah bagi para penghuninya. Dia kembali menemui Allah dan berkata: “Demi kemulianMu, tidaklah seseorang mendengarnya melainkan dia masuk ke dalamnya”. Lalu Allah swt. memerintahkan agar surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai, seraya berfirman: “Kembali kesana!” Maka Jibril kembali ke surga, dan dia berkata: “Demi kemuliaanMu surga itu telah dikelilingi dan tidak bisa dimasuki seorangpun”. Allah swt. berfirman: “Pergilah ke neraka dan lihatlah ke sana apa yang telah Kusiapkan bagi para penghuninya”. Maka Jibril melihat ke sana, yang ternyata sebagian neraka tersususn di atas sebagian yang lain. Jibril kembali menemui Allah dan berkata: “Demi kemuliaanMu, seseorang tidak mendengarnya lalu dia ingin masuk ke dalamnya”. Lalu Allah memerintahkan agar neraka itu dikelilingi dengan syahwat. Allah swt. berfirman: “Kembalilah ke sana!” Maka Jibril kembali ke neraka, lalu dia berkata: “Demi kemulianMu, aku khawatir tak seorangpun selamat dari neraka, melainkan dia justru masuk ke dalamnya”.

(HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan At Tirmidzi).

 
             Salah seorang keturunan paman Rasulullah saw. yang bernama Abbas menggoreskan pena sejarah sebagai pendiri dinasti baru bernama Abbas as-Saffah. Pergantian kekuasaan dari dinasti Umayyah ke dinasti Abbasiyah sudah dimulai sejak bani Hasyim sebagai keluarga terdekat Nabi Muhammad saw. menuntut kepemimpinan Islam. Saat yang menentukan suksesi dinasti baru terjadi sewaktu Abu Abbas memperoleh kemenangan atas pasukan Umayyah di hulu sungai Zab, yang diikuti oleh kemenangan-kemenangan berikutnya pada beberapa pertempuran di sepanjang perjalanan menuju Syam. Sejak saat itu daulah Abbasiyah memegang tampuk pimpinan kekhalifahan dengan Abu Abbas as Saffah sebagai khalifah pertama yang memerintah dari tahun 132 H / 750 M hingga 137 H / 754 M.
              Pembinaan selanjutnya terhadap daulah Abbasiyah dilakukan oleh khalifah kedua bernama Abu Ja’far Al Mansur yang memerintah selama 22 tahun dari tahun 137 H – 159 H. Ibukota negeri dipindahkan dari Al-Hasyimiyah dekat Kufah ke kota yang baru dibangunnya pada tahun 767 M, yang diberi nama Baghdad, disamping sebagai ibu kota berperan sebagai pusat informasi aktivitas daerah-daerah yang dikuasainya. Tugas ini dilaksanakan oleh Jawatan Pos disamping tugas pokoknya mengantar surat-surat. Lembaga-lembaga pemerintahan semakin diperkuat baik lembaga eksekutif yang dipimpin seorang menteri atau wazir maupun lembaga judikatif yang dipimpin seorang hakim pada lembaga kehakiman negara.Tidak luputdari perhatian Sultan adalah peningkatan kemampuan angkatan bersenjata dan kepolisian. Sebagian besar urusan administrasi negara pada waktu itu lebih banyak dipercayakan pada orang-orang Persia, dimana pada masa bani Umayyah seluruh aktivitas kenegaraan dipegang oleh orang-orang Arab.
              Seorang khalifah terkenal dari bani Abbasiyah bernama Harun Ar Rasyid memerintah selama 23 tahun sejak tahun 786 M hingga 809 M, berkat kerja keras dan kekuatan semangat ibadahnya dia berhasil membawa negeri dan rakyatnya menikmati kejayaan dan kemakmuran. Ia seorang pemimpin yang berwibawa dan memiliki wawasan luas dibidang ilmu pengetahuan dan kesenian disamping memiliki ketaatan beragama yang kuat. Bakat kepemimpinannya sudah terlihat sejak usia muda dimana dia berhasil menyelesaikan berbagai urusan pemerintahan bersama anak buahnya.
                      Walaupun sangat sibuk dengan urusan kenegaraan dan upaya perbaikan nasib kaum dhu’afa, Harun Ar Rasyid tidak melupakan ibadah, bahkan rajin melakukan shalat sunnah, melaksanakan ibadah haji dan umrah beberapa kali bersama keluarga, para ulama dan pembesar kerajaan dengan berjalan kaki dari Baghdad ke Makkah. Selain itu bila berhalangan ke tanah suci, Sultan menghajikan 300 orang yang terpilih dengan biaya dan fasilitas kerajaan.
                    Perhatiaannya yang luar biasa terhadap perkembangan sains dan kemajuan peradaban Islam yang didukung oleh kekuatan ibadah dan dzikirnya membawa Baghdad pada puncak kejayaan dan kesejahteraan.
Dalam kepemimpinannya Harun Ar Rasyid senantiasa berusaha memelihara silaturahmi dengan para ulama Baghdad dan Haramain, serta berupaya mendekatkan jarak dengan ummat yang dipimpinnya, sebagaimana dipertunjukkan oleh Rasulullah saw. sebagai suri -tauladan kepada para pemimpin yang mengikuti sunnahnya.

“Dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan RasulNya, jika kamu termasuk orang-orang yang beriman”.

(Surat An Anfal ayat 1).
“Orang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti bangunan, dimana sebagian dari bangunan itu (saling) menguatkan yang lain”
(HR. Muslim).
Usaha meneladani kepemimpinan Rasulullah saw. ini dilanjutkan oleh puteranya bernama Sultan Ma’mun dengan mendirikan Perguruan Tinggi Baitulhikmah yang dilengkapi dengan perpustakaan berbagai literatur disiplin ilmu terutama ilmu Taukhid, ilmu Hadits, Fiqih dan Tarikh. Pada dua periode kekhalifahan tersebut Baghdad menjadi kota tujuan utama bagi mereka yang ingin menuntut ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Baghdad kemudian berkembang menjadi sentra bisnis Timur Tengah serta pusat peradaban Islam, sehingga masa tersebut oleh para ahli sejarah dan orientalis Barat disebut The Golden Age of Islam. Meskipun demikian tidak berarti pemerintahan Sultan selalu dalam keadaan tenang dan damai, beberapa kali dia harus menyelesaikan perselisihan dengan kelompok-kelompok yang mengadakan pemberontakan terhadap kepemimpinannya.
                  Di sela-sela kesibukan orang bekerja membangun tempat peribadatan, rumah sakit, sekolahan, ditengah-tengah orang yang khusu’ beribadat, diantara keindahan syair-syair yang dilantunkan muncullah seorang seniman penyair bernama Abu Nawas, nama lengkapnya Abu Nuwas Al Hasan bin Hani al Hakami. Ia dilahirkan di Ahwaz Iran pada tahun 130 H / 747 M; ketika ayahnya sudah meninggal, ibunya membawa Abu Nawas ke Basra untuk belajar bahasa dan sastra Arab serta mempelajari Al Qur’an dari guru yang berbeda. Karena kemampuannya menulis dan membawakan sya’ir, dia diundang Sultan untuk menjadi penya’ir istana.
                  
Hidup di Alam Nyata dan Alam Dongeng.
                  Banyak yang beranggapan bahwa dongeng “Alf Laila wa Laila” (“Seribu Satu Malam”) merupakan sumbangan besar peradaban Islam abad sembilan pada khasanah sastera dunia. Kumpulan ceritera tersebut terdiri dari beberapa episode meliputi Aladdin dan Lampu Wasiat, Ali Baba, Sinbad si Pelaut dan Abu Nawas. Dongeng “Seribu Satu Malam” telah dicetak ribuan kali dalam berbagai bahasa dan memiliki berbagai versi termasuk versi kanak-kanak. Kepopulerannya merambah ke berbagai jenis dan tingkat komunitas, mulai pembaca awam, dunia sastra hingga penggemar film layar lebar. Berikut ini sebagian kutipan percakapan dalam bahasa Arab Amiyah antar mahasiswa bernama Nabilah dan Amin Kalim, di sebuah kampus perguruan tinggi di Mesir.
Nabilah: Hal qara’ta (telah membaca) “Alf Laylah wa Laylah”?
Amin K: Na’am qara’tuhaa”.
Nabilah: Wa hal a’jabatka (menyukainya).
Amin K: Na’am a’jabatni kathiiran.
Nabilah: Hal tuhibb (ingin) an takuuna (menjadi) l-malik (raja) Shahrayar.
Amin K: Na’am, idhaa kaanat hunaak fataat (gadis) mithl (seperti) Shahrazaad!
Nabilah: Qishash (kisah) “Alf Laylah wa Laylah” kamaa (seperti) ta’lam (kamu ketahui), tatahaddath’an (berbicara tentang) Haarunir-Rashiid, wa ‘an jamaal (keindahan) Baghdaad fii zamaanih (pada jamannya).
Fii ra’yii (menurut pendapatku), kaanat Shahrazaad awwal kaatibah (penulis/novelis wanita) qishashiyyah (kisah/novel) farabiyyah (dunia Arab).
(Duruus Fiil Arabiyyah).
               Kisah “1001 Malam” dimulai dari seorang maharaja bernama Shahrayar (Syarial) yang memiliki istana yang megah dan mewah, dan mempunyai kegemaran terhadap wanita. Setiap wanita yang dianggapnya sudah tidak dapat memuaskan dirinya segera disingkirkan. Sewaktu tiba giliran dua orang puteri patih kerajaan, yang sulung bernama Shereshade dan adiknya Dinarshade, keduanya tidak menyerah begitu saja. Mereka berunding dan sepakat bila nanti kakaknya dipersunting raja, sang adik akan menangis terus. Ketika saatnya tiba maharaja Shahrayar bertanya mengapa Dinarshade terus menerus menangis,yang dijawab dia bersedih karena bila kakaknya sudah tidak disenangi lagi nasibnya akan celaka dan dia pada gilirannya akan mengalami perlakuan serupa.
                   Untuk menenangkan hati adiknya, Shereshade akan menghibur hatinya dengan dongeng pelipur lara asal maharaja berkenan turut mendengarkan. Setiap kakaknya berhenti berceritera Dinarshade mulai menangis, dan atas permintaan maharaja, Shereshade melanjutkan ceriteranya yang semakin lama semakin menarik bersambung-sambung hingga memakan waktu hampir tiga tahun atau tepatnya seribu satu malam.
                     Terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai siapa pengarang dari ‘1001 Malam’, namun yang jelas kisah ini merupakan kumpulan ceritera rakyat Arab, dimana kisah-kisahnya ditata dan ditulis oleh seorang pengarang bernama Abu Abdullah bin Abdus Al Jasyyari berdasarkan cerita berbahasa Persia yang berjudul ‘Hazar Afsanak’ yang berarti Seribu Cerita. Pendapat lain mengatakan bahwa kumpulan dongeng ini tidak dikarang oleh satu orang melainkan oleh banyak penulis pada periode yang berbeda-beda.
             Di dunia Barat ‘1001 Malam’ dikenal sebagai ‘The Arabian Nights’ yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Perancis bernama Jean Antoine Galland. Sewaktu mendapat tugas sebagai sekretaris kedutaan Perancis di Timur Tengah dia menemukan naskah kumpulan dongeng Arab ini dalam perjalanannya sebagai kolektor benda-benda antik untuk museum. ‘1001 Malam’ diterjemahkannya ke dalam bahasa Perancis sebanyak 12 jilid, dimana jilid pertama terbit pada tahun 1704 sedangkan jilid 11 dan 12 baru dapat diterbitkan tahun 1717. Sebuah edisi yang dinamakan edisi Bulaq mengalami pencetakan berulang kali, dimana ceritera dan penampilannya menjadi lebih menarik berkat editing yang dilakukan oleh Rusydi Saleh dan dihiasi ilustrasi gambar yang indah oleh Husain Biykar. Dari edisi Bulaq inilah muncul terjemahan-terjemahan baru dalam bahasa Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, Polandia, Rusia dan Denmark.
                      Meskipun ada pendapat bahwa dunia Islam telah menyumbangkan “1001 Malam”  pada khasanah literatur sastra, namun sayang tidak nampak walaupun dalam bentuk ungkapan metaforis akan nilai-nilai Islami di dalamnya.     Dongeng fantastis ini menampilkan tokoh- tokoh legendaris, antara lain Baginda Sultan Harun Ar Rasyid yang memerintah kerajaan Baghad, Abu Nawas seorang penyair cerdik yang memiliki kemampuan solusi innovative serta tokoh pada episode hikayat lain seperti Ali Baba yang terbang dengan permadani, Alladin yang menyelesaikan beberapa permasalahan dengn bantuan lampu wasiat dan Sinbad seorang pelaut pemberani yang menjelajahi negeri-negeri fantasi di balik gelombang samudera.
                      Harun Ar Rasyid dalam dongeng ini digambarkan sebagai tokoh yang berkepribadian santai, sering dikesankan sedang ‘enjoy life’  duduk di sofa besar bertelekan bantal besar yang empuk dengan mengenakan pakaian kebesaran khas kesultanan Baghdad. Di dekatnya sebuah meja berlapis emas yang ditutup taplak sutera halus dengan buah-buahan dan anggur yang menjuntai ke bawah. Sementara pelayan menuangkan minuman dari ceret kuning emas yang bertahtakan berlian membentuk gambar bunga-bunga dan dedaunan. Para wazir dan crew istana sebagian berdiri dan yang lain duduk di bawah siap mendengarkan wejangan atau perintah yang disampaikan Baginda Sultan.
                 Dalam kenyataannya Harun Ar Rasyid seorang pemimpin yang suka bekerja keras dan berdisiplin, mencurahkan segala perhatiannya pada permasalahan negara dan kemakmurannya, berdiskusi masalah pengembangan ilmu pengetahuan, kemajuan seni dan peradaban Islam serta bertukar pikiran dengan para ulama tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan amal ibadah Islam.

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang bhatil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
(Surat Al Baqarah ayat 188).
“Allah tidak mensucikan suatu ummat, dimana orang yang lemah daripadanya tidak bisa menuntut hak kepada orang yang kuat tanpa mengalami kekhawatiran”.
(HR. Thabrani).
Ketika Harun Ar Rasyid memberi wewenang luas bidang keuangan kepada seorang wazir bernama Yahya bin Khalid dari keluarga Balmark, terjadi penyalahgunaan kepercayaan. Keluarga ini mendadak hidup mewah dan sering menghamburkan uang, setelah jabatan diserahkan kepada anaknya yang bernama Ja’far.
Harun Ar Rasyid membuktikan dirinya sebagai seorang khalifah yang mengutamakan kejujuran, dia mengambil tindakan tegas setelah mendapat laporan dan bukti bahwa Ja’far telah memperkaya diri sendiri, hidup bersenang-senang dengan menggunakan uang kerajaan. Mereka yang terlibat termasuk keluarga wazir setelah mengalami proses peradilan mendapat hukuman berat termasuk Ja’far sendiri.
             Permasalahan lain yang menguras waktu dan pikiran Sultan adalah perlawanan yang dilakukan kelompok Khawarij pimpinan Walid bin Tahrif, sementara Idris, saudara Yahya bin Khalid yang dihukum berhasil melarikan diri ke Maghrib dan memisahkan diri dari Baghdad mendirikan kerajaan Idrisiah di Maroko.
Harun Ar Rasyid juga aktif menjalin hubungan dengan mancanegara
bahkan dengan negara non Muslim seperti dengan Karl Agung di Jerman melalui pertukaran duta besar kedua negara serta beberapa kali mengirim utusan ke negeri Cina.
Sebagai seorang Umara yang sekaligus sebagai hamba yang bertaqwa, Sultan selalu memanfaatkan waktu selang untuk meningkatkan intensitas beragama setiap kali menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Beberapa kali Sultan berdiskusi dan mengajak tokoh-tokoh ulama di Makkah dan Madinah untuk membuat program kajian pengembangan syi’ar Islam secara damai ke berbagai kawasan di Timur Tengah dan tempat-tempat lain yang memungkinkan untuk dijangkau.

Berhasil dalam ‘Forming of Cadres’.
             Dapat dikatakan semua putera Harun Ar Rasyid mewarisi bakat kepemimpinan dan mencintai ilmu pengetahuan yang diturunkan ayahnya. Namun puteranya yang bernama Abdullah Al Ma’mun atau lebih dikenal sebagai Al Ma’mun sejak kecil sudah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Disamping guru-gurunya yang lain, dia banyak belajar ilmu Hadits dari bapaknya sendiri HarunAr Rasyid, disamping mempelajari ilmu Fiqh, sastra dan tata bahasa Arab serta ilmu falsafah. Sifat-sifat kepemimpinan yang diturunkan ayahnya berkembang dalam dirinya dan muncul sebagai kepribadian yang memiliki kecerdasan tinggi, teguh dalam pendirian, logis, pemberani serta dermawan. Inilah salah satu dari sukses yang dicapai oleh Harun Ar Rasyid baik sebagai pemimpin maupun sebagai seorang ayah yang mampu menampilkan kader pengganti tangguh dan berkualitas untuk melanjutkan realisasi misi dan visinya.
               Kebijaksanaan Al Ma’mun yang sangat mengesankan para sejarawan dan orientalis adalah keberhasilannya mendirikan ‘Baitul Hikmah’ sebuah perpustakaan besar yang kemudian berkembang menjadi sebuah perguruan tinggi dan pusat bahasa. Lembaga ini telah menterjemahkan ratusan literatur Yunani kedalam bahasa Arab, dimana para penerjemah memperoleh honor sebesar 500 dinar per bulan. Selain itu demi kemajuan sains dan teknologi Al Ma’mun membangun dua buah observatorium di Damaskus dan Baghdad.
Al Ma’mun benar-benar mewarisi kepemimpinan ayahnya yang memadukan nilai-nilai ajaran Islam dengan nilai-nilai ‘leadership’ yang berkembang pada saat itu.
           Sultan Al Ma’mun dalam usaha kerasnya mempertemukan nilai-nilai Ukhrawi dan Duniawi selalu berdzikir kepada Allah swt. sehingga keluar dari mulutnya ayat suci Al Qur’an surat Al Maidah ayat 44, sewaktu berdiskusi dengan seorang Khawarij dimana Sultan menyatakan bahwa Al Qur’an adalah pegangan hidupnya.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang di dalamnya berisi petunjuk dan cahaya, yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-Nabi yang menyerahkan diri (kepada Allah), dan orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Maka janganlah kamu takut kepada manusia tetapi takutlah kepadaKu, dan janganlah kamu menukar ayat-ayatKu dengan harga sedikit. Dan barang siapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir”.

             Pada masa kekhalifahan Sultan Al Ma’mun perekonomian negara menunjukkan kemajuannya berkat perhatian dan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang, para petani diperkenalkan dengan irigasi modern dan sistim bercocok tanam baru, sehingga anggur khas Shiraz dan Esfahan menjadi komoditi utama dalam perdagangan antar bangsa terutama dengan negara-negara di kawasan Asia. Untuk mendukung kemajuan perekonomian, pemerintah menggerakkan rakyat untuk mengeksploitasi bahan tambang yang ternyata mampu memberikan sumbangan besar bagi kesejahteraan ummat.
              Untuk memajukan peradaban bangsanya Al Ma’mun mensosialisasikan paham Muktazilah yang bertumpu pada kekuatan logika dan ratio disamping memperbanyak terjemahan-terjemahan bahasa Arab Persia. Cara ini dia tempuh dalam rangka percepatan penyerapan sains terutama ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat yang kebanyakan menggunakan bahasa Yunani. Keinginan Al Ma’mun untuk menerapkan Muktazilah sebagai satu-satunya paham yang diakui khalifah mengakibatkan munculnya pemberlakuan minah (inquisition) di negerinya, dimana konsekwensi dari kebijaksanaan ini menjadi pelajaran berharga bagi khalifah-khalifah sesudahnya.
Paham Muktazilah yang dibangun oleh seorang murid Hasan Al Basri yang bernama Wasil bin Ata, pada awal pertumbuhannya kurang mendapat perhatian ummat karena ajaran-ajarannya yang bersifat rasional dan filosofis itu sulit dimengerti, sementara yang lain berpendapat paham baru ini kurang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah saw. dan para sahabat. Paham ini lebih mengutamakan dalil-dalil ‘aqliah (akal) dan lebih mengedepankan sifat filosofisnya sehingga dianggap sebagai aliran rasionalis Islam.
(Sumber: “Duruus Fiil Arabiyyah”, Ensiklopedi Islam dan Lain-lain).
                   

Rasulullah saw. bersabda:
 “Simpanlah lidahmu kecuali untuk berkata baik, sebab dengan demikian itu engkau dapat mengalahkan godaan syaitan”
(HR. Tabrani dan Ibnu Hibban)

“Hendaklah engkau tetap bertaqwa kepada Allah, jika ada orang yang mencelamu dengan sesuatu hal yang ia ketahui ada dalam dirimu. Maka janganlah engkau membalas mencelanya dengan sesuatu hal yang engkau ketahui ada dalam dirinya”.
(HR. Ahmad dan Tabrani).

“Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba”.
“Dan kamu dapatkan sejahat-jahat manusia ialah orang yang bermuka dua, yakni datang kemari dengan satu muka dan datang kesana dengan muka yang lain”.
(HR. Bukhari dan Muslim).

“Apabila kamu bertiga janganlah berbisik-bisik berdua tanpa mengikut sertakan yang lain sehingga kamu bercampur dengan manusia banyak, karena yang demikian itu mendukacitakannya”.
(HR. Muslim).

“Sebagian tanda kebaikan Islamnya seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna”.
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

“Dan diantara manusia ada orang yang membeli (mempergunakan) cerita yang sia-sia untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu pengetahuan, dan menjadikannya olok-olok. Bagi mereka itu azab yang menghinakan”. 
(Surat Luqman ayat 6).
(Koleksi Ustadzah Ibu Khofifah Achyar-Bandung).

0 Response to "Harun Ar Rasyid, Berusaha Memadukan ‘Leadership’ dan Taqwa."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel