Penyemai ‘virus’ Ideologi Komunisme ; Antara Sneevliet, Mas Marco Kartodikromo, dan Haji Misbach.

Sneevliet ; Dari Belanda “Menanam Ideologi” di Indonesia
Dalam pustaka sejarah, nama Sneevliet lebih identik sebagai penyemai ‘virus’ ideologi komunisme, yang dibawanya dari Belanda. Sasarannya bukan hanya orang-orang Belanda yang ada di Indonesia, melainkan juga orang-orang Indonesia. Di negeri asalnya, dia adalah petaka bagi rezim. Kepalanya terlalu keras untuk ditundukkan. Akibatnya, dia masuk daftar buronan, yang siap diseret ke penjara kapan saja.
Bernama lengkap Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, kita lebih mengenalnya dengan nama nama Sneevliet. Ia lahir di Rotterdam, 13 Mei 1883. Proses berpolitiknya dimulai ketika tahun 1901, dia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Belanda. Akhirnya, pada usia 20–an, dia mulai berkenalan dengan gelanggang politik. Ia bergabung dalam Sociaal Democratische Arbeid Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat) di Nederland hingga tahun 1909, yakni sebagai anggota Dewan Kota Zwolle. Setelah itu dia diangkat sebagai pimpinan serikat buruh kereta api dan trem (National Union of Rail and Tramway Personnel) pada tahun 1911.
Di organisasi baru inilah, Snevlieet menunjukkan watak sejatinya, berani, dan tak pernah menyerah. Dia memimpin pemogokan-pemogokan buruh di Belanda, sehingga membuat namanya masuk dalam ‘daftar hitam’ di Belanda. Keberanian ini pastilah membuat rezim takut. Lewat federasi serikat buruh, yang dikuasai oleh pemerintah, dibuatlah cara untuk menekan Snevlieet. Sehingga, jabatan sebagai ketua serikat buruh kereta api cuma setahun dipegangnya. Pada tahun 1912, ia mengundurkan diri, setelah terjadi konflik yang panas antara serikat buruh yang dipimpinnya dengan federasi serikat buruh. Peristiwa itu terjadi setelah terjadinya pemogokan buruh-buruh kapal, di mana Sneevliet berdiri sebagai pimpinan aktif dalam pemogokan itu. Lepas dari aktivitasnya di Serikat Buruh, sempat membuat Sneevliet bimbang, ia bahkan berniat untuk mundur dari ranah pergerakan. Beralihlah dia ke dunia perdagangan, dan inilah jalan yang membawanya berkelana sampai ke Indonesia.
Tahun 1913, untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki ke Indonesia. Tepat pada saat itu, dunia pergerakan di Hindia Belanda tengah bersemi. Sneevliet, yang pada awalnya bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian di kota Surabaya, mulai terusik untuk kembali berpolitik. Namun saat itu kondisi kerjanya masih belum mapan, ia pindah ke Semarang dan diangkat menjadi sekretaris di sebuah perusahaan.
Sneevliet ; Mendirikan ISDV
Hasrat politiknya rupanya tak bisa ditahan-tahan. Dia sempat aktif menjadi sekretaris dari Handelsvereeniging (Asosiasi Buruh) di Semarang. Pada tahun 1914, ia mendirikan sebuah organisasi politik yang diberi nama Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Awalnya anggotanya hanya 65 orang, yang kesemuanya adalah orang Belanda dan kalangan Indo-Belanda. Sneevliet masih belum yakin untuk merekrut anggota dari kaum bumi putra. Dalam waktu setahun kemudian, organisasi tersebut mengalami perkembangan pesat menjadi ratusan anggotanya. Perkembangan tersebut tak terlepas dari peranan koran organisasi berbahasa Belanda, Het Vrije Woord yang menjadi corong propaganda ISDV. Beberapa tokoh Belanda yang aktif membantu Sneevliet adalah Bergsma, Adolf Baars, Van Burink, Brandsteder dan HW Dekker. Di kalangan pemuda Indonesia tersebut nama-nama Semaun, Alimin dan Darsono. Pengaruh ISDV juga meluas di kalngan buruh buruh kereta api dan trem yang bernaung dibawah organisasi Vereniging van Spoor Tramweg Personal (VTSP).
Dalam waktu yang bersamaan, pergerakan di Hindia Belanda tengah mengalami masa terang. Sarekat Islam, terus membesar dengan jumlah anggota mencapai puluhan ribu yang tersebar di berbagai daerah. Oleh karena itu ISDV, merubah haluan untuk menitik beratkan pengorganisiran pada anggota-anggota maju dari Sarekat Islam, dan inilah cikal bakal generasi pertama perekrutan kader-kader Marxis.
Pada bulan Maret 1917 Sneeveliet menulis artikel berjudul Zegepraal (kemenangan), yang memuliakan Revolusi Februari Kerensky di Rusia dengan kata-kata:
    Telah berabad-abad disini hidup berjuta-juta rakyat yang menderita dengan penuh kesabaran dan keprihatinan, dan sesudah Diponegoro tiada seorang pemuka yang mengerakan massa ini untuk menguasai nasibnya sendiri. Wahai rakyat di Jawa, revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau. Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan. Apakah penabur dari benih propaganda untuk politik radikal dan gerakan ekonomi rakyat di Indonesia memperlipat kegiatannya? Dan tetap bekerja dengan tidak henti-hentinya, meskipun banyak benih jatuh di atas batu karang dan hanya nampak sedikit yang tumbuh? Dan tetap bekerja melawan segala usaha penindasan dari gerakan kemerdekaan ini?Maka tidak bisa lain bahwa rakyat di Jawa, diseluruh Indonesia akan menemukan apa yang ditemukan oleh rakyat Rusia: kemenangan yang gilang gemilang.
Organisasi ISDV bergerak cepat dengan strategi mereka untuk merekrut massa dari SI. Pengaruhnya yang kuat ternyata mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda, sebab pada saat yang sama, pemogokan-pemogokan buruh bertambah kuat dan meluas. Semaun, Darsono dan Alimin, adalah pimpinan-pimpinan SI Semarang yang berhasil direkrut oleh Snevlieet. Mereka punya kesamaan pandangan, prinsip-prinsip ideologi radikal dengan ISDV. Pada akhirnya perpecahan di tubuh SI tak terelakkan, perpecahan antar sayap moderat dan sayap radikal. SI Putih yang dipimpin HOS Tjokroaminoto, H.Agus Salim dan Abdul Muis, serta SI Merah yang dikepalai oleh Semaun dan teman temannya.
Kemenangan revolusi Rusia makin banyak jadi bahan perbincangan rakyat. Agar pengaruh ISDV tidak semakin mengeruhkan situasi, yang dikhawatirkan memberi kemungkinan terjadinya pemberontakan rakyat, maka pemerintah Hindia Belanda menyusun rencana untuk menangkap Sneevliet dan menyeseretnya ke pengadilan. Sneeliet pun, pada bulan Desember 1918, akhirnya diusir dari Indonesia karena aktivitas politiknya.
ISDV pun mulai kehilangan kendali akibat para pimpinannya diusir dari Indonesia. Juga mulai dijauhi massa akibat prinsip-prinsip radikal mereka yang masih belum bisa dipahami massa. Semaun pun mengambil keputusan, mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia pada 23 Mei 1920. Tujuh bulan kemudian, partai ini mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Semaun terpilih sebagai ketua.
Akan halnya dengan Snevlieet, ia diproses oleh jaksa dan hakim Belanda dari pemerintahan Hindia Belanda. Seorang Belanda kontra Belanda; tetapi juga seorang sosialis kontra kolonialis. Di depan pengadilan yang terjadi pada bulan November 1917, ia membacakan pidato pembelaannya setebal 366 halaman. Pidato pembelaanya itulah yang merupakan sumber referensi mengenai ajaran-ajaran sosialisme secara ilmiah, yang dipakai oleh banyak pemimpin-pemimpin bangsa kita. Salah satunya adalah Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Bung Karno ayang dibacakan di muka Pengadilan di Bandung pada tahun 1930. Pledoi setebal 183 halaman itu jelas-jelas menunjukkan pengaruh yang besar sekali dari jalan pikiran Sneevliet yang dikembangkannya di tahun 1917.
Sejak saat itulah ajaran-ajaran Marxisme meluas di Indonesia. PKI berdiri di Semarang, pada tahun 1920 dengan Semaun-Darsono yang mempeloporinya. Di Surabaya Tjokroaminoto dari Serikat Islam, mulai juga memakai referensi-referensi kiri dan literatur yang disebut oleh Sneevliet di dalam pembelaannya, seperti: artikel Das Kapital-nya Marx.
Berbagai literatur tersebut mulai mulai dicari-cari beberapa aktivis. Ada juga yang berusaha mendapatkannya dengan membeli dan meminjam dari toko buku ISDV, dan dikaji di rumah Tjokroaminoto bersama-sama Surjopranoto, Alimin dan lain-lain. Termasuk salah satunya adalah Bung Karno, pemuda cerdas yang tahun 1916-1920 indekos pada keluarga Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan di Surabaya. Hal tersebut diakuinya dalam sebuah surat yang ditulisnya saat dia menjalani masa pembuangan di Bengkulu, tahun 1941:
    “Sejak saya sebagai seorang anak plonco, untuk pertama kalinya saya belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulut seorang guru HBS yang berhaluan sosial demokrat (C. Hartough namanya) sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja di dalam aktivitas politik, sampai sekarang, maka teori Marxisme bagiku adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.”
Terinspirasi oleh gerakan revolusi yang dilakukan oleh Bolshevik, ISDV mulai mengorganisir kalangan militer dengan membentuk dewan-dewan tentara dan pelaut. Dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan sekitar tiga ribu prajurit dan pelaut menjadi anggota gerakan yang kemudian dikenal dengan nama tentara merah. Akan tetapi, tanpa diduga, waktu kemudian berjalan bertolak belakang dengan semangat revolusioner yang tengah berkembang. Revolusi Rusia yang menjadi perspektif bagi tumbuhnya revolusi Eropa dan negeri-negeri lain di Eropa, di belahan Eropa lainnya justru mengalami kekalahan dan diberangus, termasuk di Belanda. Akibatnya kemudian berimbas pula pada pergerakan di Indonesia. Reaksi juga menjalar ke Hindia Belanda, anggota-anggota tentara merah dan anggota ISDV ditangkap dan dipenjara, seiring dengan kekalahan dan gerakan revolusi Belanda.
Langkah Sneeviet pun masih belum terhenti. Pada 1920 dia hadir pada Kongres Kedua Komintern di Moskow sebagai perwakilan dari ISDV. Dan dari 1921 hingga 1923 menjadi perwakilan dari Comintern di China. Sekembalinya ke Belanda, dia menjadi ketua Sekretariat Nasional Buruh. Pada tahun 1929, dia mendirikan Partai Sosialis Revolusioner dan terpilih sebagai ketuanya. Setelah penggabungan partainya berubah nama menjadi Revolutionary Socialist Workers’ Party, dimana Sneevliet menjadi sekretaris pertama dan kemudian kemudian menjadi ketua hingga 1940. Dia juga sempat menjadi anggota Parlemen dari 1933 hingga 1937. Pada saat perang Dunia Kedua dia memimpin grup pertahanan bernama Marx-Lenin-Luxemburg-Front. Dia kemudian tertangkap dan dieksekusi pada tahun 1942.
Mas Marco Kartodikromo: Dengan Sastra, Ia Mengasah Pena
    Soepaja djalannja SAMA RATA, Jang berdjalan poen SAMA me RASA, Enak dan senang bersama-sama, Ja’toe: “Sama rasa, sama rata.” (Sinar Djawa 10 April 1918)
Awal abad 20 tahun, gerbang dibukanya abad pencerahan. Jaman pergerakan, ditandai dengan hadirnya koran, munculnya puluhan jurnalis muda. Muncul pula sebuah pola baru dalam gerakan, organisasi. Dunia penerbitan –yang rata-rata dimiliki oleh orang Tionghoa– pun mencapai titik terang, ikut pula berperan mendorong proses kemajuan intelektual kaum bumi putra. Kaum jurnalis menjelma sekaligus sebagai aktivis-aktivis dan pimpinan pergerakan.
Pada masanya, Marco dikenal sebagai salah seorang jurnalis tangguh. Ciri khas yang paling kentara ialah: ia selalu menulis apa yang dilihat dan dirasa secara lugas. Tanpa ditutupi-tutupi. Tidak juga serba dipoles-poles, hingga akhirnya melenyap esensinya. Doenia Bergerak adalah surat kabar yang dibesarkan dan membesarkannya. Marco menjadikannya sebagai alat untuk menyampaikan gagasan akan sebuah perjuangan yang modern, dengan motto: “Brani karena benar takut karena salah”. Pentingnya menjaga pergerakan agar tidak melenceng dari cita-citanya, adalah salah satu sandaran dari medianya. Marco berani menentang penguasa kolonial dan orang-orang pergerakan yang dianggap berkolusi dengan rejim kolonial dengan mengkritisi kondisi sosial politik yang ada. Alhasil, tak kurang empat kali ia keluar masuk penjara. Semuanya lantaran tulisan-tulisanya yang memerahkan kuping penguasa kolonial. Kali pertama ia dipenjara di Semarang, kemudian sempat diisolasi di Belanda, sempat pula dibuang ke Boven Digul. Bebas dari penjara ia bergabung dengan Semaun, dan menjadi komisaris Serikat Islam Semarang dan redaktur Sinar Hindia. Selain itu ia juga menyunting Sinar Hindia, Soero Satomo. Bintangnya mulai berpijar terang tatkala ia berada di SI. Semarang yang menjadi pusat SI yang baru. Dalam kongres CSI ia terpilih menjadi komisaris CSI, khususnya menjadi kepala penerbitan.
Dikenal sebagai pribadi militan, Mas Marco Kartodikromo, lahir di Cepu, sekitar tahun 1890. Sebuah daerah tandus di Jawa Tengah, tepatnya di dekat pantai utara Pulau Jawa yang sarat bukit-bukit kapur dan dikelilingi hutan jati. Bumi gersang ini ternyata cukup menyimpan magma. Sebarisan nama yang mengharumkan dunia pergerakan lahir di sini, Tirto Adhi Soeryo, pelopor pers nasional, juga Pramudya Ananta Toer. Dr. Tjipto Mangunkusumo pun pertama kali merintis sekolah khusus untuk bangsa pribumi, di daerah ini. Serta, dari sini pula tak bisa kita lupakan nama harum seorang perempuan pemberani, Kartini.
Tak seperti kebanyakan tokoh yang dialiri darah priyayi, Marco sebuah perkecualian.Bapaknya hanya seorang priyayi rendahan, yang sehari-harinya juga mencari nafkah lewat bertani. Jika kaum pergerakan lain sempat menikmati pendidikan di sekolah-sekolah kelas satu, atau rata-rata menamatkan STOVIA, tokoh kita ini hanya sempat mengenyam sekolah bumi putra angka dua di Bojonegoro.
‘Kekalahan’ yang merupakan buah dari kelas sosialnya tersebut lah yang membuat Marco, seperti disebut Siraishi dalam Zaman Bergerak, “tergila-gila pada simbol–simbol modernitas dan tampil di depan umum dalam gaya Eropa seperti sinyo, sementara Cokro dan Soewardi lebih sering memakai pakaian Jawa“. Kekalahan, dan kekerasan hidup sebagai pribumi miskin ini pula yang justru mengasah kepekaan batin dan kepalanya.Jika kawan-kawannya mendapat pengetahuan dan kesadaran berdemokrasi dan buku-buku, Marko menjumputnya dari kehidupan sehari-hari. Ia jengah menyaksikan kemunduran bangsanya.
Ia gusar dengan penghisapan yang saban hari melata di depan matanya. Itulah yang membedakan, dan membuatnya menonjol dibanding kawan-kawannya. Marco, bagian dari kaum muda yang diciptakan dalam sistem penghisapan kolonial, dan ia bersikeras mendobraknya. Baginya hierarki gelar, pangkat dan medali kehormatan, bukanlah lahir turun temurun, bukanlah hadir akibat aliran darah, melainkan diperoleh melalui sebuah kerja keras, dan keberanian bersikap tegas.
Mas Marco : Menjadi Jurnalis, Menjadi Suluh Penerang
Pada awalnya, Marco bekerja sebagai juru tulis rendah di Dinas Kehutanan di tahun 1905. Tak lama, ia pindah ke Semarang dan tetap menjadi juru tulis di kantor pemerintah. Di sana ia punya kesempatan untuk belajar bahasa Belanda dari seorang Belanda yang menjadi guru privatnya.
Tahun 1911, terbuka satu babak baru dalam hidup Marco. Bahasa Belanda menghantarkannya pada cakrawala dunia yang serba baru; pengetahuan yang serba baru. Tak cukup lagi sekedar menjadi seorang juru ketik, ia memilih meninggalkan Semarang dan berangkat ke Bandung. Ia sangat bercita-cita menjadi jurnalis terkemuka. Di Bandung ia bergabung dengan Medan Prijaji pimpinan Tirto Adhi Soeryo.Saat itu, memang Medan Prijaji tengah mencapai puncak kegemilangannya. Pada Tirto, Sang Pemula dalam segala makna itu lah, ia berguru. Tak hanya soal dunia tulis menulis, ia juga berguru soal kebajikan, dan –terutama—tentang organisasi modern.
Medan Prijaji benar-benar mengasah talenta menulisnya. Oleh karenanya, bangkrutnya media pribumi dengan oplah terbesar tersebut, yang diikuti pula dengan dibuangnya Tirto ke Maluku, sempat membuat semangatnya runtuh. Terlebih, ketika akhirnya Sang Pemula wafat.
Dalam korannya Marco melukiskan kehilangannya yang sangat dahsyat. Marco belum putus asa. Ia kembali ke Surakarta dan mengikuti jejak guru yang dikaguminya itu dengan menerbitkan suratkabar sendiri dalam bahasa Melayu. Nyaris semua yang diserapnya dari Tirto dipraktikkan di sini, termasuk, berorganisasi.
Pada usia 22, barulah benar-benar ia terjun ke dunia pergerakan. Ia sadar, hanya organisasi lah alat mencapai perubahan dan tatanan dunia baru. Sebuah pengetahuan dan kesadaran yang tidak terlambat untuk diraihnya. Surakarta, adalah tempatnya berkiprah dengan energi dan vitalitas sepenuh-penuhnya. Dalam rangka mencapai tujuan ini, ia mendirikan Inlandshe Journalistenbond (IJB) di Surakarta pada pertengahan 1914 dengan Doenia Bergerak sebagai surat kabarnya.
Kaum pergerakan menyambut dengan luapan gembira hadirnya terbitan ini. Berakhirlah masa kebekuan pers bumiputera akibat tekanan pemerintah kolonial. Dengan itu pula, Marco berani mendobrak tekanan pemerintah kolonial, tanpa sedikitpun gentar.
Tahun 1913, Serikat Islam (SI) mencapai puncak kejayaan. Pada masa itu SI Surakarta adalah perkumpulan orang Jawa yang kuat pengaruhnya di bawah pimpinan pedagang batik dan aristokrat Kasunanan. Anggotanya mencapai puluhan ribu orang. Namun ketika jaman berganti, masa gemilang itu pun berlalu. Ketika orang-orang sudah terbiasa dengan vergadering dan membaca surat kabar, eksistensi SI berkurang. Para priyayi beramai-ramai lari meninggalkan SI Surakarta di tengah keterpurukannya. Yang tersisa hanyalah para jurnalis yang kemudian beralih, memegang kendali menjadi pemimpin pergerakan. Dalam situasi tersebut, sosok seperti Marco yang berani, radikal, lugas menjadi sosok lebih didengarkan rakyat.
Doenia Bergerak menjadikan suara Marco makin keras dan lantang. Ia merasa perlu mengambil taktik demikian, sebab, ia bukanlah kalangan intelektual berdarah priyayi dan berpendidikan Belanda. Jika Tjokro hanya perlu membuka suara sedikit saja agar suaranya didengar oleh Belanda, maka Marco harus “berteriak” kencang-kencang agar suaranya lebih lantang dan didengar.
Paruh 1915, Doenia Bergerak memasuki masa gemilang.Pemerintah kolonial mulai represif, makin semena-mena terhadap kaum bumiputra, terlebih terhadap para kaum aktivisnya. Dalam surat kabarnya itulah, Marco lantang berseru-seru: “Kita semua adalah manusia”. Hasilnya bisa diduga, Marco diseret ke pengadilan. Jatuhlah vonis 7 bulan penjara. Mau apalagi, Marco tak pernah menyesalinya. Pengadilan adalah panggung politik bagi siapapun yang berkesedaran maju!
Di depan pengadilan pula, ia terus saja berseru-seru:
    “Saya berani bilang, selama kalian, rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus diinjak-injak dan hanya menjadi seperempat manusia !!!”
4 kali keluar masuk penjara, ia lewati dengan kepala tegak. Kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Selalu mampu ia taklukkan. Selalu mampu tergantikan oleh pengalaman dan pengetahuan baru.Ia menyebutnya sebagai batu ujian; sebagai sekolahan baru; sebagai tempat untuk melatih agar moral bertambah kukuh dan liat.Itu sebabnya Soewardi Soerjaningrat menyebutnya sebagai seorang satria sejati. Secara khusus dipahatnya kekaguman itu dalam sebuah tulisan di Sarotomo:
    “Memang membela bangsa itu tidak mudah dan tidak menyenangkan, namun ini kewajiban kita.Ingatkah, yang berbahagia bukanlah mereka yang menyandang gelar dan pangkat, bagi saya, kebahagiaan yang paling besar berada dalam pikiran saya. Saudara telah mengorbankan diri dan semua hukuman sesungguhnya merupakan sebuah bintang kehirmatan bagi saudara dan itulah lambang kebahagiaan saudara. Sekarang, di mata saya pangkat saudara sangat tinggi, karena sudah jelas, kebahagiaan saudara terletak dalam upaya membela bangsa. Janganlah mengira bahwa tak ada orang lain yang akan meneruskan pekerjaan saudara. Puluhan orang nanti akan menggantikan saudara. Berani karena benar !(Akira Nagazumi, 1986)
Iklim politik di Hindia bergolak. Jauh melebihi dari yang pernah dibayangkan Marco. Perang Dunia I nyaris selesai. Revolusi Rusia meledak, tatanan dunia yang baru pun muncul. Sementara itu, kehidupan rakyat terus merosot; harga-harga meroket tinggi; upah terus digencet di bawah telapak kaki. Keresahan pun merunyak di mana-mana. Eropa meledak dengan Revolusi Rusia pada Maret 1917, diikuti dengan Revolusi Bolshevik.
Serikat-serikat buruh muncul bak jamur di musim hujan. Seperti terilhami oleh revolusi Bolshevik, pemogokan-pemogokan pabrik meledak hampir saban hari di pulau Jawa. Sebuah transformasi pergerakan tengah berlangsung, jika pada awalnya Serikat Islam ditandai dengan vergadering, kemudian beralih ke pemogokan. Perang Dunia I, menjadi batas waktu yang sangat penting bukan hanya bagi pergerakan tetapi bagi sejarah Hindia. Perang ini telah mempengaruhi posisi Hindia dengan negara induk. Cengkeraman terhadap negara jajahan tak lagi kencang.
Radikalitas kaum buruh membuat pemerintah mengawasi perkembangan kelompok kiri ini.Pertemuan-pertemuan dilarang, organisasi-organisasi diinteli, pers dan penerbitan pun tak lepas dari teror dan sensor kolonial. Belasan orang di seret ke penjara dan dihukum mati di depan umum, sementara sekitar 13.000 orang dibuang ke Boven Digoel.
Regenerasi gerakan pun terjadilah. Semaun, seorang pemuda belia berumur 18 tahun, berasal dari kelas buruh, maju ke depan dan memimpin pemogokan di Jawa. Dia adalah aktivis ISDV dan kemudian menjadi pemimpin SI Semarang.
Mas Marco : Ia juga seorang sastrawan
Jamaknya aktivis pergerakan adalah berjiwa seni yang tinggi, nyaris tak ada yang menyangkal. Marx seorang sastrawan sejati, demikian juga Marco. Selain tulisan-tulisannya yang bergaris politik dan agitatif, ia sangat mencintai sastra. Ia senang menulis syair dan cerita roman.
Bahkan bersama-sama dengan H. Mukhti dan Tirto Adhi Soeryo, Marco dianggap sebagai pelopor sastra modern Indonesia. Dari buah tangan merekalah disemai sastra modern di negeri kita.
Semua dan segala yang ditulisnya adalah potret dari seluruh realitas bangsanya. Hampir seperti Tirto yang meneguhkan dirinya sebagai wartawan-pengarang yang menjadikan tulisan sebagai senjata perang terhadap segala bentuk kesewenangan. Lewat tulisan serta sketsa-sketsa fiksinya ia mampu melukiskan dengan serba rinci tentang struktur sosial dan kebudayaan kolonial pada masa itu, seperti yang ditulisnya dalam Student Hidjo, buah karya terkenalnya yang membedah proses nasionalisme yang baru tumbuh di Hindia Belanda.
Syair-syairnya yang terkenal adalah Sama Rata Sama Rasa dan Badjak Laoet, keduanya menyuarakan kebenciannya pada kolonial, pada imperialis, yang ia gambarkan “menghisap mereka sampai pingsan”. Lewat sastra ia mengasah pena, sebagaimana lewat sastra pula ia belajar tentang kesanggupan dan ketidaksanggupan manusia dalam berhadapan dengan sejarahnya, sejarah kolonialisme yang liat untuk diruntuhkan.
Marco juga sangat menyukai pewayangan. Salah satu tokoh idolanya adalah Bima, ksatria sejati, yang gagah berani membela kebenaran. Bahkan, Takashi menyebut bahwa kunci untuk memahami Marco adalah pergerakan dan pengorbanan. Setelah ia keluar masuk penjara tanpa sedikit jera dan menyesal. Semua itu adalah buah dari sikap satrianya, yang berani menyuarakan apa yang dirasa benar dan bertindak sesuai dengan kata-katanya. Marco mengatakan bahwa makna “hidup” hanya bisa dipahami jika orang mengorbankan dirinya bagi “kita”.Ia tampil sebagai “cermin” dan sebagai suatu pengorbanan bagi pergerakan rakyat.
Marco, anak muda ciptaan kolonial itu, tintanya tak pernah mengering. Karyanya, hidupnya, terus saja mengalir. Tak ada data tentang bagaimana kehidupan pribadinya. Ia tak terlalu suka menulis biografi, atau menukilkan kisah hidupnya dalam cerita-cerita fiksinya.Namun,dari perjalanan hidupnya, dari gaya ia menulis, agaknya faktor ‘kekalahan’ sebagai pribumi rendahan seperti disebut di atas, cukup berperan kuat, ia sangat dendam dengan kepriyayian. Ia dendam dengan feodalisme.
Tahun 1917, terbit syairnya yang berjudul Sama Rata Sama Rasa, yang menggambarkan tekat Marco untuk kembali ke dunia pergerakan, yang sempat lama di tinggalkannya. Pergerakan yang lahir dengan ekspansi Serikat Islam yang luar biasa, sekarang memasuki tahap baru. Masa kolonial telah berakhir dan berganti dengan masa munculnya kaum bumiputra. Setelah keluar dari penjara, Marco bergabung dengan SI Semarang dan duduk sebagai komisaris. Ia tak kembali ke Surakarta sampai akhir 1924. Di masa selanjutnya, pergerakan ternyata tumbuh kembali di Surakarta, kali ini bukan di bawah panji-panji SI tetapi di bawah Insulinde yang dipimpin oleh H Misbach dan Tjipto.
Pada masa awal pembentukan SI Surakarta, Marco memegang peranan yang cukup penting.Ia bukanlah orang Surakarta, namun di kota inilah ia memulai karier pergerakannya.Di kota inilah yang turut menyalakan obor penerang, yang semula dipegang oleh Tirto dan H. Misbach.
Pada tahun 1924, setelah H. Misbach, seorang orator dan organisator ulung, tokoh yang memproklamirkan Islam Komunis, dibuang ke Manokwari, Papua dan akhirnya meninggal setelah diterjang penyakit malaria, Marco lah yang memegang kendali organisasi. Dia memimpin SR dan PKI di Surakarta pada tahun 1925, sekaligus tanpa daya menjadi saksi atas kehancurannya. Runtuhnya organisasi PKI yang diawali dengan pemberontakan yang gagal di tahun 1926.
Gelombang radikalisme yang melanda rakyat-lah yang membuat pergerakan murni menjadi milik rakyat sekaligus menguji para pemimpinnya. Ketika kekuatan kiri ditumpas habis-habisan pada tahun 1926, sebuah generasi baru intelektual yang kesadaran nasionalisnya sudah terbentuk mulai awal 20-an muncul dan menjadi kekuatan baru. Marco, satria sejati, yang tak pernah berlari ketika datang kesulitan — ia selalu menyambutnya dengan kepala tegak– adalah salah satu peletak dasarnya!
Haji Misbach: Muslim Komunis
Haji Misbach memiliki posisi yang unik dalam sejarah di Tanah Air. Namanya sedahsyat Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut lantaran pahamnya yang beraliran komunis. Menurut Misbach, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.
Lahir di Kauman, Surakarta, sekitar tahun 1876, dibesarkan sebagai putra seorang pedagang batik yang kaya raya. Bernama kecil Ahmad, setelah menikah ia berganti nama menjadi Darmodiprono. Dan usai menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach. Kauman, tempat Misbach dilahirkan, letaknya di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Di situlah tinggal para pejabat keagamaan Sunan. Ayah Misbach sendiri seorang pejabat keagamaan. Karena lingkungan yang religius itulah, pada usia sekolah ia ikut pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera “Ongko Loro”.
Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI). Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Sebagai seorang haji ia lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa, Misbach mulai aktif terlibat dalam pergerakan pada tahun 1914, ketika ia berkecimpung dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond)-nya Marco. Pada tahun 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, yang edisi pertamanya tertanggal 15 Januari 1915 dan kemudian menerbitkan Islam Bergerak pada tahun 1917. Surat-surat kabar ini menjadi media gerakan yang sangat populer di Surakarta dan sekitarnya.
Marco Kartodikromo, salah satu tokoh pergerakan pada saat itu berkisah tentang Misbach:
    “.. Di Pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memaki kain kepala dari pada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut “Haji”.
Apa yang tersirat dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus pedagang yang sadar akan penindasan kolonialis Belanda dan tertarik dengan ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada jaman itu.
Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemblejetan kolonialisme dan kapitalisme.Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap.
Pada 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun bukan yang pertama diasingkan tapi ia-lah orang yang pertama yang sesungguhnya berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri.
Orang menggambarkan Haji Misbach sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer. Satu tulisan tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, Misbach menjadi kawan berbincang yang enak, sementara di tengah pecandu wayang orang Misbach lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang.
“… di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama.”
Takashi Shiraisi mengungkapkan perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta. Ini dikaitkan dengan persamaan dan perbedaan antara KH Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan, Misbach, seorang muslim ortodoks yang saleh, progresif, dan hidup di Surakarta.
Di Yogya, Muhammadiyah yang lahir pada 1912 di Kauman, segera menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Dahlan sendiri sempat dipercaya menjadi chatib amin. Para penganjur Muhammadiyah umumnya anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga, kata Shiraisi, wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara.
Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah. Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah.
Lain dengan di Surakarta. Kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba’ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906) dan SI pun sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri “kaum muda Islam”.
Beda pergerakan Islam Surakarta dan Yogya, di Yogya reformis tentu juga modernis, tetapi di Surakarta kaum muda Islam memang modernis tetapi belum tentu reformis. Kegiatan keislaman di Solo banyak dipengaruhi kiai progresif tapi ortodoks, seperti Kiai Arfah dan KH Adnan. Sampai suatu ketika ortodoksi yang cenderung menghindar ijtihad itu terpecah pada 1918.
Perpecahan kelompok Islam di Surakarta dipicu artikel yang dimuat dalam Djawi Hiswara, ditulis Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI. Ketika artikel itu muncul di Surakarta tidak langsung terjadi protes, tetapi Tjokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono. Seruan itu muncul di Oetoesan Hindia, sehingga bangkitlah kaum muda Islam Surakarta.
Tjokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), yang mencuatkan nama Misbach sebagai mubalig vokal. Mengiringi terbentuknya TKNM, lahir perkumpulan tablig reformis bernama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV). Haji Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Segeralah beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium.
Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum muslimin Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto mengirim Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam), dua orang kepercayaannya di TKNM. Waktu itu terhimpun sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari “kaum putihan” Surakarta. Belakangan, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hiswara setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. Buntutnya, Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi TKNM. Muncul statemen seperti “korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan Islam”.
Dalam situasi itu muncul Misbach menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertama Misbach di media ini, Seroean Kita. Dalam artikel itu Misbach menyajikan gaya penulisan yang khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar lagi dari ayat itu. “Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig.”
Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda. Menurut Shiraisi, ada dua perbedaan SATV dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis non muslim. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup menjadi muslim sejati.
Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana pun yang perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan.
SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi “Islam lamisan”, “kaum terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri.” Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideolognya, “membuat agama Islam bergerak”. Misbach kondang di tengah muslimin bukan sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya “menggerakkan Islam”: menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.
“Jangan takut, jangan kawatir”
Misbach sangat antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis organisasi Islam. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggapnya berseberangan dengan misi keadilan.
Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebani pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai “suara dari luar dunia petani”. Bunyinya, “Jangan takut, jangan kawatir”. Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Ekstremitas sikap Misbach membuat ia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan kring (subkelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH), organisasi para bumiputera.
Misbach menegaskan kepada rakyat “jangan takut dihukum, dibuang, digantung”, seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis. Misbach mengagumi Karl Marx, dia sempat menulis artikel Islamisme dan Komunisme di pengasingan. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agama pun dirusak oleh kapitalisme sehingga kapitalisme harus dilawan dengan historis materialisme.
Misbach kecewa terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa. Berjuang melawan kapitalisme tak membuat Misbach tidak menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan. Misbach pun ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah, memilih ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI), bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta.
Terkait dengan “teror-teror” yang terjadi di Jawa, Misbach tetap dipercaya sebagai otaknya. Misbach ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta memberatkannya meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu karena iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang “ditangkap” bersama Misbach. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu arit dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran.
Namun Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, beserta dengan istri dan tiga anaknya. Selama penahanan di Semarang, tak seorang pun diizinkan menjenguknya. Misbach hanya dibolehkan membaca Al-Qur’an. Di pengasingan, selain mengirim laporan perjalanannya, Misbach juga menyusun artikel berseri “Islamisme dan Komunisme”. Medan Moeslimin kemudian memuat artikel Misbach tersebut,
    “…agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.”
Ditengah ganasnya alam di tempat pembuangannya Misbach terserang malaria dan meninggal di pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya.
sumber tulisan : http://www.geocities.com/Indomarxist

0 Response to "Penyemai ‘virus’ Ideologi Komunisme ; Antara Sneevliet, Mas Marco Kartodikromo, dan Haji Misbach."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel