The Grand Old Man ; Jalan Perjuangan H. Agus Salim


kh_agus_salim“Bismillahirrahmanirrahim’ MERDEKA! Dinda sayang, terima kasih atas surat Dinda yang menyenangkan hati itu. Dalam keadaan yang sesungguhnya merupakan bala, masih juga dapat kita menyaksikan nikmat Allah subhanahu wata’ala yang dalam kesukaran dapat juga memberi kelapangan. Kanda seperti yang sudah kerap dinda katakan, rupanya diperlakukan Allah dengan istimewa… sebab itu baiklah kita bersyukur memuji Allah Swt. atas rahmat karuniaNya yang terang terbukti dan dengan sabar menantikan dengan harap apa-apa takdirNya tentang itu. Sementara itu yakinlah Dinda akan cinta kasih sayang kanda dan terimalah peluk ciumku dengan salam dan doa”. Berkenaan dengan masa datang, tenangkan hati dengan harapan dan percaya kepada Allah swt. sabar dan tawakal… (”Surat Cinta” H.Agus Salim kepada Istrinya)
Inilah diantaranya kata-kata beliau yang penuh dengan makna tarbiyah kepada keluarga terlukis melalui suratnya untuk sang istri kala ia mendapat tekanan dalam proses perundingan dengan Belanda. Surat cinta yang beliau tulis dari Kairo pada 17 Juni 1947 untuk istri dan anak-anak tercinta melukiskan sosok Agus Salim sebagai ayah yang penuh perhatian kepada keluarga. Ketika para pejabat berkunjung ke rumah beliau, saat pembicaraan berlangsung tiba-tiba anak beliau minta digarukkan, sang ayah pun minta permisi sejenak pada tamunya untuk memenuhi hajat sang anak.
“Ia adalah seorang genie, genius. Ia yang dapat menggariskan haluan SI (Syarikat Islam) dengan tegas, ketika tantangan-tantangan tiba dari kalangan yang tidak hendak menyertakan agama ke dalam pergerakan. Dalil-dalilnya bersandar pada al-Quran, hadis dan riwayat-riwayat Nabi Muhammad saw., serta Islam pada umumnya.(Dr. Deliar Noer, “Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa”)
Dalam sebuah rapat Sarekat Islam (SI), Haji Agus Salim saling ejek dengan Muso, tokoh SI yang belakangan menjadi orang penting dalam Partai Komunis Indonesia. Pada awalnya Muso memulai ejekan itu ketika berada di podium.
“Saudara saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?”
“Kambing!” jawab hadirin.
“Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa?”
“Kucing!”
Agus Salim tahu dialah sasaran ejekan Muso. Agus Salim memang memelihara jenggot dan kumis. Begitu gilirannya berpidato tiba, dia tak mau kalah.
“Saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?”
Hadirin berteriak riuh, “Anjing!”
Agus Salim tersenyum, puas, lalu melanjutkan pidatonya. Agus Salim memang dikenal singa podium. Dia juga lihai berdebat, sehingga jarang ada yang mau melayaninya.
Anonim menulis “sebagai tokoh perjuangan, ia punya kadar kualitas yang sulit dicari tandinganya. Terutama kecerdasannya, barangkali termasuk jenius. Semua orang yang pernah bicara dengannya mengakui itu. Mohammad Natsir (alm), tokoh Islam termasyur mengungkapkan, “ kalau kita hendak menggunakan kualifikasi intelektual brilian pada salah seorang putra Indonesia, maka saya rasa yang paling pertama tepat ialah pada Haji Agus Salim”.
Tokoh tiga jaman, Prof. DR Ruslan Abdulgani, mengakui, “siapa yang pernah mengenal Oude Heer Salim dari dekat, pasti tertarik oleh nilai isi segala pembicaraannya, yang mencerminkan dua hal, yaitu ketajaman otak dan mendalamya kehidupan keagamaannya,” Fisiknya biasa-biasa saja, bahkan ukuranya termasuk kecil. Yang tak pernah lupa adalah jengotnya selalu dipelihara dan rokok kretek yang tak pernah berhenti mengepul dari dua bibirnya. Tapi tubuhnya yang kecil, tidak menjadikan dirinya kecil hati berhadapan dengan orang lain. Justru ia tampak gesit dan selalu mendominasi dalam setiap pembicaraan, seolah tidak memberi kesempatan lawan bicaranya mengungkapkan dua atau tiga patah kata.
George McT. Kahin, professor di Universitas Cornell Amerika Serikat, mengungkapkan kesaksiannya sebagai berikut: “Saya mengundang kedua beliau itu bersantap di ruangan pertemuan tenaga pengajar, dan duduk di tengah kedua beliau itu saya terperangah. “ yang dimaksud beliau disitu adalah Ngo Dinh Diem, tokoh perjuangan kemerdekaan Vietnam Selatan, dan Agus Salim. Diem telah dikenal sebagai seorang yang senantiasa merajai setiap percakapan. Percakapan berlangsung dalam bahasa Prancis- bahasa yang paling dimahiri Diem. Namun, Haji Salim tetap mengungguli Diem, berbicara amat fasihnya, sehingga Diem tidak dapat peluang sedikitpun!”`
Geneologi Pemikiran H. Agus Salim
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (yang bermakna “pembela kebenaran”); Koto Gadang, Bukittinggi, Minangkabau, 8 Oktober 1884–Jakarta, 4 November 1954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.
Melalui permenungan yang mendalam setelah membaca sebuah kitab, Sutan Mohammad Salim memberikan nama bayinya Masyudul Haq (pembela kebenaran). Nama bayi yang sesuai dengan judul kitab yang dibacanya itu ternyata belakangan berubah. Secara selintas perubahan itu hanya persoalan sepele. Namun kalau di renungkan, bisa dianggap serius. Ternyata, sengaja atau tidak, panggilan ”den bagus” disingkat “gus” (ingat Gus Dur, panggilan mantan Presiden Abdurrahman Wahid), oleh pengasuh Masyudul Haq kecil yang berasal dari Jawa, belakangan melekat abadi. Secara serius dalam tafsir pluralisme , keadaan itu adalah pencerminan watak apresiatif dan adaftif keluarga Sutan Mohammad Salim terhadap kultur lain, dalam hal ini Jawa. Watak itu nampaknya melekat sepanjang hidup keluarga Salim. Bahkan Mohammad Rum, seorang tokoh nasionalis-islami Jawa, merasa Salim adalah guru dan sahabatnya di dalam masa kehidupan mereka di belakang hari.
Kembali ke soal nama, tentu saja keluarga ini tidak memanggil “den bagus” menurut cara pembantunya tadi , tetapi menjadi Agus yang disetalikan dengan initial ayahnya hingga menjadi Agus Salim (1884-1954). Orang Belanda memanggilnya “August” (Panitia Peringatan, 1984: 36)
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Melalui pihak ayah, Agus Salim bertalian darah dengan orang-orang yang amat terdidik dari strata sosial atas . Kakeknya dari pihak ayah Abdur Rahman Dt. Rangkayo Basa adalah jaksa tinggi di Padang dan ayahnya sendiri belakangan menjadi jaksa tinggi di Riau. Dari sisi geneologis religius, ayah dari kakeknya, Tuanku Imam Syekh Abdullah bin Azis seorang ulama panutan di Koto Gadang.
Dari pihak ayahnya itu pula Salim juga bertalian darah dekat dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy. Tokoh yang juga lahir di Koto Gadang ini adalah Imam dan guru besar Mazhab Syafii di Masjid al-Haram di Mekkah yang sudah bermukim di kota suci ini sejak 1876. Tentu saja selain pertalian darah, tokoh ini sekaligus merupakan inspirator utama pembaruan pemikiran Islam Nusantara. Abdul Latief gelar Khatib Nagari, ayah Ahmad Khatib merupakan saudara seayah dengan ayah Salim, Sutan Mohammad Salim. (Hamka, 1982:271).
Dari pihak ibu, keadaannya sama. Karena ibu dan ayah Salim sebetulnya sebagaimana layaknya orang-orang Minang dewasa itu kawin mengawini masih dalam keluarga yang tidak begitu jauh. Tentu di luar garis keturunan materlinial line (ibu), perkawinan antara putra atau putri anak mamak dengan kemenakannya atau putra atau putri dari saudaranya yang perempuan merupakan hal yang biasa di ranah ini pada masa klasik hingga ujung abad lalu.
Belakangan tokoh terakhir ini, Syekh Ahmad Khatib bukan saja terkait secara geneologis dengan Salim, bahkan bagi Salim menjadi tranformator ide dan sumber ilmu agama selama menjadi staf Konsulat Belanda di Jeddah (1906-1911). Tentu saja setelah itu, tokoh jenius yang satu ini menimba dan mengeksplorasi kapasitas dan kualitas intelektualnya tanpa henti. Geneologis intelektual tadi tidak bisa menjadi satu-satunya modal, kalau Salim tidak mendapat dukungan lingkungan sosial yang kondusif serta faktor pribadinya sendiri yang mau dan mampu untuk mengembangkan diri untuk maju.
Tentu saja, seperti kajian Elizabeth Grave (1981:77-129), perkembangan lingkungan dan zaman telah membantu Salim. Ia berangkat menapak formatif intelektual dan pemikiran di era terjadinya booming pendidikan. Lebih khusus lagi, menurut Kustiniyati Mochtar (1984) meskipun mendapat peluang yang sama dari kolonial Belanda dengan beberapa nagari lain di Minangkabau untuk membuka sekolah sekuler, tetapi di Koto Gadang hasilnya melebihi nagari lainnya tadi. Pertanyaan yang muncul adalah , mengapa?.
Maka jawabannya terletak pada sifat, jiwa dan watak orang Koto Gadang itu sendiri. Mereka menggesa anak-anak mereka bersekolah melebihi dorongan untuk hal-hal yang lain. Sehingga masyarakat kala itu mengenal bahwa Koto Gadang adalah tempat berhimpunnya orang pandai. Sampai tahun 1915, sebanyak 165 orang Koto Gadang berstatus pegawai pemerintah sipil, 79 orang di antaranya bekerja di luar Minangkabau. Dari 165 orang tadi, 72 orang fasih berbahasa Belanda. Fasih berbahasa Belanda dapat menjadi indikator bahwa mereka keluaran pendidikan yang amat memadai. Pada kitaran 1940-an sebelum kemerdekaan, Koto Gadang merupakan gudang dokter, insinyur, sarjana hukum, jaksa dan pejabat administrasi pemerintah. Di tahun 1942, 40 orang putra Koto Gadang lulus sekolah tinggi kedokteran Stovia Batavia (Grave, 1981:131). Tentu saja semua orang ingat bahwa Rohana Kudus, pejuang dan tokoh wanita, pendiri Surat Kabar Soenting Melajoe dan sekolah Kerajinan Amai Setia, berasal dari nagari ini pula.
Kembali menurut Elizabetth Grave (1981:117), berkah out-put kecendrungan prima dan apresiatif tinggi terhadap dunia pendidikan bukan hanya milik Koto Gadang, tetapi merambat hampir merata di seluruh Minangkabau. Sebagai produk lokal inisiatif 1840-an yang disambut reorganisasi pendidikan Pemerintah Kolonial Belanda 1870-an, berdirilah sekolah di mana-mana. Dengan demikian Minangkabau mendahului suku lain di Indonesia banyak melahirkan kalangan terdidik baru. Salim tentu saja merupakan salah satu produk dari suasana tersebut.
Sekolah-sekolah nagari produk orisinal lokal inisiatif tadi , di ujung abad ke-19 telah dimerger menjadi sekolah-sekolah dasar pemerintah. Hal itu terjadi karena adanya perubahan kebijakan Belanda yang sedikit agak serius memberi bantuan pembangunan pendidikan ini. Buahnya seperti dikatakan Grave, sampai tahun 1945, kaum politisi, intelektual, dan elit profesional di Indonesia mayoritas berasal dari etnis Minangkabau yang hanya merupakan 3 persen dari jumlah total penduduk Indonesia (Ibid, vii). Salim tentu saja menghirup suasana itu dan mendapat pengaruh yang kuat mendorongnya untuk maju.
Dilihat dari era formatif intelektualitasnya, Salim sebenarnya dapat pula dikaji dari latar belakang pendidikan formal dan informalnya. Selepas sekolah di kampung yang belakangan ia sebut sebagai tempatnya belajar agama sebagai orang Islam dan Melayu, selanjutnya ia mengecap pendidikan formal yang bergensi di kala itu. Karena ayahnya Mohamad Salim menjadi jaksa tinggi pada Pengadilan Negeri Riau, Salim remaja dapat diterima di Sekolah Belanda Eruropeese Lageree School (ELS). Masuknya Salim dan kakaknya ke sekolah ini tidak terlepas dari status ayahnya tadi yang dianggap menduduki posisi tinggi untuk kaum pribumi (inlanders). Selepas belajar di ELS itu Salim hengkang ke Batavia dan sekali lagi karena kedudukan ayahnya, ia dapat masuk ke sekolah menengah bergengsi Hogere Burger School (HBS). Baik di ELS maupun di HBS Salim adalah anak yang cerdas dan pintar. Seperti diakuinya, kepintaran itu bukan karena orisinal genius, tetapi lebih kepada kemampuannya belajar dengan sungguh-sungguh dan disiplin. Oleh karena itu guru-gurunya orang Belanda bukan hanya memuji dan memberikan dorongan, di antaranya memperlakukan Salim sebagai anak didik khusus. Sebagai siswa yang unggul dalam pelajaran bahasa, ilmu sosial dan ilmu pasti, Salim berhasil lulus terbaik untuk seluruh HBS Hindia-Belanda yang ada di Batavia, Bandung dan Surabaya pada tahun 1903.
Kecerdasan intelektual dan kematangan spritual Agus Salim terbukti ketika beliau meraih nilai terbaik di HBS (Hogere Burgerschool), Sekolah Menengah Atas 5 tahun pada zaman Hindia Belanda. Hal ini membuat R.A Kartini menaruh perhatian yang sangat besar kepadanya. Pada tahun 1903, setelah Salim menyelesaikan pendidikan di HBS dengan nilai tertinggi ketika itu, Kartini berkeinginan agar pemuda ini disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran. Kartini berniat mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 Gulden untuknya. Namun beasiswa ini ditolak oleh Salim, karena menurut beliau bantuan dari penjajah tidak layak diterima. Sikap ini lahir dari keberanian Salim yang sudah terasah sejak kecil untuk menentang kebijakan-kebijakan kolonial.
Jalan Kehidupan H. Agus Salim
Dalam usia yang sangat muda, Agus Salim sudah berhasil menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman. Kecerdasan dan kepiawaian Agus Salim dalam berdiplomat ternyata sangat dibutuhkan oleh negara dan penjajah ketika itu. Belanda menawarkan kepadanya untuk menjadi penterjemah pada Konsulat Belanda di Jeddah pada tahun 1906-1911. Didorong oleh keinginan yang sangat dalam untuk mendalami Islam di Tanah Suci, Salim menerima tawaran ini. Di Mekkah, Salim mendalami ilmu agama dengan Syeikh Khatib al-Minangkabawi, pamannya yang sudah menjadi Imam di Masjidil Haram saat itu. Disamping ilmu-ilmu agama, Syeikh Khatib juga mengajarkan Salim ilmu diplomasi dalam hubungan internasional.
Petualangan sosial dan intelektual Salim hendak dimulainya di kampungnya sendiri Koto Gadang. Pasca Jeddah, lebih kurang 3 tahun, Salim mengabdi di Kampungnya Koto Gadang dengan membuka sekolah HIS swasta. Agaknya karena tidak betah di kampung sendiri atau mungkin pula merasa kurang puas atas perkembangan keadaan, sosial dan intelektual, maka Salim hengkang dari kampungnya. Kepergiannya boleh jadi sebagai koreksi total terhadap pepatah Melayu “setinggi-tinggi terbang bangau kembalinya ke kubangan juga” . Dalam makna konsep Minang kubangan itu adalah negeri sendiri, dan ini dibalik Salim, bahwa kubangan itu adalah rantau itu sendiri.
Apakah insfirasi ini memberikan penafsiran ulang pula terhadap kasus lain yang dilakukan beberapa orang Minang belakangan. Misalnya penafsiran terhadap legenda Malin Kundang dengan membalikkan logika bahwa bukan Malin Kundang yang durhaka, tetapi ibunyalah yang durhaka mendo’akan anaknya hingga celaka dan menjadi batu.
Salim hengkang ke Jawa, meneruskan petualanganya sebagai ”migran sukarela” istilah Mochtar Naim di ujung tahun 1970-an. Sebagai layaknya mayoritas intelektual secara umum, bahkan sampai sekarang, Salim sebenarnya menjadi sempurna sebagai cermin intelektual yang gelisah. Pada bulan-bulan awal oleh komisaris besar polisi yang ia kenal, Salim diutus untuk memata-matai gerakan Sarekat Islam yang dituduh menampung senjata gelap dari Jerman untuk melawan Belanda. Tugas itu ia terima untuk jembatan baginya untuk dapat mendekati HOS Tjokroaminoto yang sudah dia kagumi melalui opini yang berkembang ketika itu. Toh pada akhirnya karena kecurigaan terhadap orang-oarang SI itu tidak berdasar dan tidak ada fakta-fakta yang mendukung ia bukannya melapor ke Polisi Hindia Belanda, malah menyeberang dan bertungkus-lumus ke dalam Sarekat Islam itu sendiri.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Surat kabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Ia berhasil tembus menjadi salah seorang Pengurus Besar Syarikat Islam. Begitu kental dan lengketnya Salim dalam menggerakkan SI, ia bahkan sering diidentikkan dengan Oemar Said Tjokroaminoto sebagai dwi-tunggal pemimpin pergerakan nasional Syarikat Islam, Partai Syarikat Islam, kemudian Partai Syarikat Islam Indonesia itu. Agus Salim memulai debutnya di dalam Syarikat Islam (SI) tahun 1915 dan meroket menjadi tokoh puncak SI melalui Kongres PSII Malang 1935 setelah Tjokroaminoto wafat 1934. Seperti dituliskan Dr. Deliar Noer, Tjokrominoto sebagai ketua SI pertama selalu mendahulukan Salim sebagai juru bicara dalam berbagai Muktamar, diantaranya pada Muktamar di kota Mekah. Ini karena Tjokrominoto tidak bisa berbahasa Arab. Meskipun begitu, Salim selalu menjaga hati sahabatnya. Ini terbukti ketika Salim tidak pernah mmbeberkan kekurangan sang ketua hingga akhir hayatnya. Tongkat kepemimpinan SI berpindah ke tangannya ketika sang ketua pertama ini meninggal dunia.
Selain memilih Salim di dalam kongres itu, ada keputusan lain yaitu meneliti kembali politik hijrah (non-kooperatif). Belakangan penelitian itu tidak dilaksanakan lantaran ketua Lajnah Partai, Abikoesno Tjokrosujoso ingin meneruskan politik hijrah tersebut. Akibatnya, para pengusul peninjauan kembali politik hijrah meneruskan usahanya untuk menyadarkan barisan PSII di daerah tentang perlunya peninjauan itu.
Solusi yang diharapkan adalah bukannya Partai berkooperasi dengan pemerintah Hindia-Belanda, tetapi di Parlemen, Partai dapat bekerjasama dengan siapa saja yang sehaluan dengan Partai. Oleh pihak Abikoesno dinyatakan bahwa pembicaraan tentang hal ini sudah ditutup, maka terjadilah kebingungan di daerah. Untuk mengeeleminir kebingunan itu berdirilah barisan penyadar yang diketuai Mohammad Roem akhir November 1936 yang akan meneruskan usaha menyadarkan barisan PSII mengenai masalah peninjauan kembali politik hijrah. Langkah itu ditolak dan pihak Abikoesno memecat tokoh-tokoh Barisan Penyadar termasuk Agus Salim pada bulan Januari 1937 (Panitia, 1984: 163-4) . Selanjutnya Barisan Penyadar menjadi Pergerakan Penyadar yang mandiri diluar PSII, belakangan menjelma menjadi Partai Penyadar.
Terhadap Partai Penyadar, Agus Salim memberikan landasan perjuangan Islami dalam corak yang membebaskan, substantif dan bukan harfiah, fundamental bukan isntrumental-ornamental, filosofikal, bukan artifisial-simbolik. Oleh karena itu gerakan yang belakangan disebut partai itu bukan ditempel kata Islam, tetapi kata Penyadar. Tentulah Islam yang memberdayakan dan menyadarkan. Boleh jadi, kira-kira samalah dengan Islam liberal yang tengah mewabah pada sebagian intelektual muslim Indonesia dewasa ini. Menurut Salim, setiap warga Penyadar hendaklah lebih mementingkan misi bukan organisasi. Oleh karena itu, dalam keadaan seorang diri pun, warga Penyadar harus setia memegang dan mengembangkan misi itu. Organisasi, kata Salim dapat lahir dalam aneka ragam bentuk. Tetapi itu semua adalah alat guna memperbesar hasil usaha perjuangan seseorang atau kelompok orang menuju cita-citanya, organisasi bukan tujuan. Adapun tujuan Penyadar, kata Salimadalah menyadarkan umat manusia berittiba’ mengikuti contoh teladan yang diberikan Nabi Muhammad saw. dalam beliau mengamalkan isi al-Alqur’an al- Karim.Tegasnya dalam rangka menyerahkan diri total dalam Islam kepada kehendak Allah swt.
Oleh karena itu hendaklah diketahui oleh anggota Penyadar bahwa umat manusia berkeadaan berkelompok-kelompok menuruti kehendak lingkungan, kehendak zaman, kehendak kebudayaan dan ilmu pengetahuan . Manusia bersuku, berkaum, berbangsa, bernegara, kecil dan besar, berpartai politik, berperkumpulan yang berdasarkanprinsip ekonomi atau prinsip koperasi/gotong royong. Di antaranya ada yang sukabermusuhan, atau saling menutup pintu bagi anggota kelompok yang lain. Yang demikian itu karena ulah iblis, terhadap mana manusia “dengan fitrahnya” sebagai makhluk lemah dan suka lupa akan petunjuk Allah swt tidak jarang lembek hati, dan lalu menjadi pengikut iblis menyebar-nyebarkan mungkar dan fitnah. Itulah kalimat Salim yang khas bertutur dalam gaya bahasa pada masa itu. Konstatasi Salim ini agaknya merujuk kepada Qur”an (Lihat, QS, 49: 12-13).
Selanjutnya menurut Salim, hendaklah para anggota “Penyadar” berpegang teguh pada al-Qur”an dan Sunnah Rasulullah Muhammad saw. dan menginsyafi, bahwa Nabi Muhammad Rasul Allah telah mewariskan kepada kita ummat dan pengikutnya, yang anggota-anggotanya terdapat di dalam kelompok-kelompok yang beraneka ragam dan macam tadi, termasuk para anggota Penyadar sendiri sepanjang masa. Maka janganlah hendaknya para anggota Penyadar mengadakan sesuatu, kecuali usaha yang menyehatkan dan menyegarkan kelompok-kelompok tadi lewat pemimpin mereka sendiri, sehingga dengan demikian bukan “Penyadar” yang menonjol, melainkan misi itulah “yang ditonjolkan” oleh kaum “Penyadar”.
Itulah kira-kira garis umum khittah perjuangan penyadar yang mendasari idelisme menurut konsepsi Salim. Dapatlah difahami bahwa meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit, Salim boleh jadi merujuk kepada hadist Rasullullah yang mengatakan bahwa “Aku tinggalkan kepada kamu sekalian dua pusaka. Apabila kamu berpegang teguh kepada kepada keduanya niscaya kamu tidak kan tersesat selama-lamanya. Pusaka itu adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.” Selanjutnya, Salim agaknya juga merujuk kepada QS, 3 : 103 yang menggesa umat untuk berpegang teguh kepada agama Allah. Agus Salim berikutnya mengingatkan bahwa para anggota Penyadar hendaklah mengetahui tentang adanya “waktu pasang” dan “waktu surut” bagi usaha dan perjuangannya; namun yang penentuannya hendaknya dimusyawaratkan tanpa suatu keputusan yang mengikat, kecuali bagi yang sukarela menerima dan melaksanakannya, dengan arti (bahwa) yang mayoritas jangan memaksakan pelaksanaan keputusan kepada yang minoritas, dan sebaliknya yang minoritas jangan menghalang-halangi si mayoritas melaksanakan keputusannya.
Sehubungan dengan soal itu, kata Salim, hendaknya para anggota Penyadar menyadarkan dirinya dan khalayak ramai bahwa “kebenaran mutlak” hanya ada pada al- Khalik (Allah swt) sedangkan kita hanya makhluk yang diperintahkan untuk saling hormat menghormati antara sesama; dan bahwa pihak yang tadinya bermayoritas, pada suatu ketika bisa menjadi minoritas.
Pada masa hampir berakhirnya kekuasaan Jepang, ia menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merancang UUD 1945 bersama 18 orang lainnya yang dipimpin Ir. Soekarno. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Agus Salim diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Selain itu Salim juga dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta.
Pengetahuan dan kepiawaiannya dalam berdiplomasi menyebabkan ia dipercaya dalam berbagai misi diplomatik dalam rangka memperkenalkan negara baru Republik Indonesia ke dunia luar, serta bagian dari diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan. Salah satu buah dari upaya diplomasi itu adalah ditanda tanganinya pengakuan kedaulatan dan perjanjian persahabatan dengan Mesir pada 1947. Melalui desakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh Hasan al-Banna, Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Demikian Salim (Ibid : 161-2). Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Agus Salim ikut di dalam Masyumi yang berdiri pada tahun 1945. Kemudian karena PSII keluar dari Masyumi 1947 dan orang PSII ingin menariknya, namun Salim tidak mau, beliau menjadi tokoh netral saja, tidak di PSII dan tidak pula di Masyumi. Walaupun begitu tidak mengurangi peranannya dalam menjalankan misi kemerdekaan dan beliau aktif di pemerintahaan sebagai lokomotif diplomat dan menjadi Menteri Luar Negeri pada pemerintahan awal RI itu.
Kejeniusan yang dibungkus kesederhanan Agus Salim terlihat ketika beliau menghadiri berbagai macam muktamar. Sebuah kisah yang sarat dengan ibrah, dalam salah satu konferensi besar Beliau makan dengan menggunakan tangannya, sementara ketika itu para peserta muktamar menggunakan sendok. Ketika sebagian anggota muktamar mencemooh dengan mengatakan “Salim, Sekarang tidak saatnya lagi makan dengan tangan, tapi dengan sendok”, pemuda cerdas ini menjawab penuh wibawa “tangan yang selalu saya gunakan ini selalu saya cuci setiap kali akan makan, dan hanya saya yang memakai dan menjilatnya. Sementara sendo-sendok yang kalian gunakan sudah berapa mulut yang telah menjilatnya”. Hadirin ketika itu malu terdiam.
Kisah lain, pada sebuah muktamar beliau menjadi juru bicara ditengah para hadirin. Karena kecintaan pada sunnah rasulullah saw., salim memanjangkan dan memelihara jenggotnya. Karena jenggot merupakan sebuah tradisi yang aneh menurut Belanda, para kolonial menirukan suara kambing saat beliau berpidato. Dengan penuh bijaksana Salim menyahut: “Kambing-kambing yang mengembik silahkan keluar”. Akhirnya kolonialpun merasa malu dan semakin segan kepada Salim.
Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Agus Salim ditangkap bersama dengan pejabat tinggi negara lainnya, antara lain Presiden dan Wakil Presiden. Sesudah pengakuan kedaulatan, beliau tidak duduk lagi dalam pemerintahan, tetapi buah pikirannya tetap diperlukan oleh pemerintah sehingga ia tetap ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri. Di samping itu, Agus Salim juga sering memberikan kuliah di Amerika Serikat.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Kini “The Grand Old Man” itu telah pergi untuk selamanya. Nama harum telah beliau lukis melalui perjuangan militan yang dibalut dengan tujuan yang jelas dan ibadah yang kuat kepada Allah Swt.. Sungguh negeri ini sangat menantikan hadirnya pejuang-pejuang sekelas Salim, yang siap menjual dirinya untuk izzah dakwah dan umat ini. Semoga para kader dakwah bisa meneladani perjuangan beliau, amin.
dari berbagai sumber diantaranya :
    jowo.jw.lt ghabo.com wapedia.mobi/id/H._Agus_Salim pretty1sally.multiply.com empimuslion.wordpress.com mesias.8k.com/agussalim.htm syafrilerizon.blogdetik.com ranahminang.web.id nuwwman.multiply.com

0 Response to "The Grand Old Man ; Jalan Perjuangan H. Agus Salim"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel