Orang “Indonesia” di Negeri Penjajah
Wednesday, July 6, 2011
Add Comment
DI NEGERI PENJAJAH: ORANG INDONESIA DI NEGERI BELANDA 1600-1950 Penulis: Harry A. Poeze Penerbit: KPG Tebal: 417 halaman. MISTERI adalah spesialisasi Harry A. Poeze, sejarawan penulis paling ambisius tokoh misterius Tan Malaka. Tapi, bagi Poeze, misteri itu tak hanya ada pada orang besar sekaliber Tan. Baginya justru misteri terbesar dalam perjalanan historis berbagai bangsa, termasuk Indonesia, adalah mereka yang disebut oleh Tan sebagai murba alias orang kecil atau rakyat.
Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda (1600 – 1950), merupakan kisah sejarah suka-duka kehidupan orang-orang Indonesia yang merantau dan bermukim di Negeri Belanda. Harry A. Poeze dengan jeli dan teliti menulis serta mengungkapkan dinamika kehidupan orang-orang Indonesia itu, sejak dari lingkungan kaum bangsawan, pedagang, pelajar, buruh, pelaut, seniman sampai dengan kehidupan para babu yang belum banyak terungkap dalam penulisan sejarah sebelumnya. Buku ini lebih menarik lagi karena disertai dengan penampilan dokumen-dokumen, seperti foto-foto gaya hidup orang Indonesia di Negeri Belanda, Puisi-puisi yang dibuat oleh orang Indonesia tentang kehidupan dan kerinduan pada tanah airnya, gambar-gambar, kliping berita surat kabar dan majalah, iklan, bon makan di restauran, kartu ucapan selamat sampai dengan bentuk kartu undangan dan sebagainya. Dari membaca buku ini, kita mendapat gambaran yang lebih jelas lagi, tentang bangsa kita, atau orang-orang Indonesia yang hidup di negeri Belanda, oleh karena itu, buku ini penting dibaca oleh sejarawan maupun masyarakat umum yang peduli akan sejarah bangsanya.
Bagian pertama 1600-1898 merupakan tulisan sumbangan dari Cees van Dijk, lalu periode 1898-1945 hasil tulisan Harry Poeze dan ditutup oleh tulisan Inge van der Meulen (1945-1949). Buku ini diawali dengan ‘orang Indonesia’ yang datang ke tanah Belanda di seberang lautan pada 1600-an. Orang Indonesia yang dimaksud sengaja beri tanda kutip mengingat meragukan apakah pada masa itu kata “Indonesia” sudah ada.
Bab pertama buku ini berkisah tentang sejumlah utusan, budak, pelukis, dan beberapa siswa yang dalam rentang 1600-1898 mendatangi Negeri Kincir Angin. Sedari mula, mereka merupakan generasi awal yang secara terpisah mengawali satu kisah panjang orang Indonesia di sana. Dalam setiap bab, Poeze memang menyediakan pembahasan selain soal pergerakan dan pendidikan, semisal isu budak-babu, seni budaya, dan pendidikan pastoral. Demi menghemat ruang kata, isu-isu terakhir tersebut tidak dipercakapkan dalam ulasan ini.
Pada bagian pertama buku ini Van Dijk menelusuri tentang kedatangan tiga utusan Raja Aceh kepada Pangeran Mauritz ke Negeri Belanda pada tahun 1602, Cees van Dijk menyebutkan selepas De Houtman bersaudara tiba di Aceh (1599), orang Nusantara yang pertama datang ke Belanda adalah utusan Sultan Aceh, yaitu Abdul Zamat, Sri Muhammad, dan Mir Hasan. Mereka tiba di Zeeland, Belanda, pada akhir Juli 1602 atas undangan Pangeran Maurits. Mereka bertiga menjadi duta Aceh yang pertama sekaligus yang terakhir. Kedatangan mereka secara simbolik merupakan pengakuan pertama Negara Aceh (“Indonesia”) terhadap kedaulatan Belanda.
Waktu itu, Belanda masih berjuang menegakkan negaranya menjadi Republik Belanda dan tengah dalam pertempuran 80 tahun melawan Spanyol. Di Asia, Belanda sama sekali belum memiliki kuku. Multatuli pada tahun 1872 (ketika Perang Aceh mulai berkobar) pernah mengingatkan bahwa Aceh adalah negeri pertama yang mengakui Belanda sebagai bangsa merdeka.
Namun, selang tiga tahun setelah kedatangan utusan Aceh ke Zeeland, Belanda melalui VOC merebut Ambon dari Portugal, lalu pada tahun 1619 mereka menghancurkan Batavia. Sejak itu, VOC mulai menguasai perdagangan rempah dari Nusantara ke Eropa. Cerita haru biru pun mewarnai kolonialisasi Belanda di Indonesia.
Setelah Aceh, Ambon menjadi daerah kedua yang didekati Belanda demi perdagangan rempah. Adalah tiga pangeran dari Ambon yang berusia sepuluh hingga dua belas tahun. Marcus de Roy, Andrea de Castro dan Laurens de Fretis. Saat itu, pelayar-pedagang Belanda amat gemar membawa serta orang pribumi dalam pelayaran pulang ke Belanda. Ada kecenderungan bahwa tingkat kepemilikan budak mampu mengangkat status dan martabat pemiliknya. Saat itu, budak dianggap benda mati yang disamakan dengan kursi.
Pemuda Ambon yang dilayarkan ke Belanda biasanya dididik untuk menjadi misionaris Kristen. Nasib agak berbeda dialami Raden Saleh, yang diperkirakan datang pada awal abad ke-19. Meski awalnya bermaksud mengembangkan bakat seni lukisnya, Raden Saleh mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda untuk belajar. Ia menjadi pelopor kehadiran siswa-siswa Indonesia pada abad itu.
Sebagai dampak dari politik etis pada abad ke-19, kolonisasi diperluas pengertiannya pada tanggung jawab moral Belanda pada aspek ekonomi, pengajaran, dan pemerintahan di Indonesia. Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini, segera menjadi orang pertama yang memang berniat belajar di Belanda. Disusul kemudian Mas Abdullah, Abdul Rivai, J.E. Tehupeiory, dan Koesoema Joedha.
Sebagai dampak dari politik etis pada abad ke-19, kolonisasi diperluas pengertiannya pada tanggung jawab moral Belanda pada aspek ekonomi, pengajaran, dan pemerintahan di Indonesia. Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini, segera menjadi orang pertama yang memang berniat belajar di Belanda. Disusul kemudian Mas Abdullah, Abdul Rivai, J.E. Tehupeiory, dan Koesoema Joedha.
Angkatan ini bersama Clockener Brousson menginisiasi kelahiran surat kabar Bintang Hindia. Terbit pertama kali 1 Januari 1903, surat kabar ini ditujukan bagi khalayak Hindia agar lebih mengenal Belanda. Para pegiat Bintang Hindia dengan jelas sangat menaruh hormat pada daulat Ratu Wilhelmina sembari mewacanakan perbaikan nasib masyarakat Hindia. Semboyan surat kabar ini berbunyi, “Kekallah keradjaan Wolanda, Masjhurlah Tanah Hindia.”
Peran Bintang Hindia adalah kemampuannya dalam mendorong generasi muda Hindia dari kelas bangsawan untuk belajar di Belanda. Nama-nama yang muncul kemudian, antara lain, adalah Tjokroadikoesoemo, Soetan Casajangan, Hadiwidjojo VI, Asmaoen, Mas Soengkono, Noto Soeroto, Radjiman, dan Soemitro.
Gelombang baru para pelajar ini membawa suatu hasil nyata bagi lahirnya Indische Vereeniging alias Perhimpunan Hindia (PH) pada 1908 yang sedikit banyak dibantu Abendanon. Pemrakarsa utamanya adalah Casajangan dan Noto Soeroto. Meski awalnya ditujukan sebatas untuk menjalin kontak antarpelajar, perhimpunan ini menjadi cikal bakal bagi gerakan politik pada periode berikutnya.
Kisaran tahun 1913-1920 menjadi momentum bagi tersemainya gagasan-gagasan nasionalis. Kedatangan Tjipto Mangoenkoesomo dan Soewardi Soerjaningrat memberi warna baru. Dua orang ini “dibuang” ke Belanda karena kegiatan politik mereka di Comite Boemiputra dan Indische Partij (bersama E.F.E Douwes Dekker) dianggap meresahkan. Secara alamiah, kehadiran dua tokoh yang berpandangan radikal ini mengawali dialektika panjang gagasan kebangsaan. Konfrontasi pertama berlangsung dengan Noto Soeroto yang saat itu memimipin PH. Bagi Noto Soeroto, Indische Partij sudah benar secara prinsip namun keliru dalam metode. Dalam pandangannya, Hindia dengan Belanda harus tetap bersatu padu.
Perhatian aktivis PH secara otomatis terpagut pada dua gugus wacana antara kemandirian dan ketergantungan Indonesia terhadap Belanda. Mulai muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar semacam apakah masyarakat Indonesia sudah mampu memerintah dirinya sendiri? Apakah Indonesia memiliki hak untuk memerintah? Salah satu fragmen menarik adalah debat berbobot antara Soewardi dan Sneevliet yang disertai interupsi berapi-api dari Gunawan Mangoenkoesoemo (hlm. 134-135). Soewardi yang priyayi berhaluan nasionalis-moderat, sementara Sneevliet yang asli Belanda menganut prinsip komunis nan revolusioner, sedangkan Goenawan menggugat kebelandaan Sneevliet.
Riwayat Tan Malaka di Negeri Penjajah
Ketika pembicaraan beralih pada Tan Malaka, pembaca barangkali akan kecewa mengapa Bapak Republik Indonesia ini dibahas serba sedikit. “Di Belanda, Tan Malaka tidak terlalu terkenal,” tutur Poeze dalam sebuah obrolan bersama para mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, awal bulan ini.
Riwayat Tan Malaka dalam panggung sejarah Indonesia dimulai tahun 1913 ketika salah seorang gurunya (G.H. Horensma) di sekolah guru di Bukittinggi membawanya ke negeri Belanda sewaktu yang bersangkutan mengambil cuti. Ia kemudian dimasukan ke sekolah guru (Kweekschool) di Haarlem. Harry A. Poeze dalam bukunya yang lain mengemukakan bahwa selama tinggal di negeri Belanda Tan Malaka menanggung banyak hutang kepada pemberi dana pendidikan di Sumatera dan kepada guru yang membawanya ke negeri Belanda. Hutang yang menumpuk dan kondisi kesehatan yang beberapa kali menurun membuat motivasinya untuk belajar menurun. Tahun 1919 ia angkat koper dan menjadi guru anak-anak kaum buruh perkebunan tembakau di Sumatera Timur setelah sebelumnya memperoleh ijazah guru.
Tan Malaka berada di negeri Belanda ketika gagasan revolusioner sedang tumbuh di seluruh kawasan Eropa. Ide-ide Karl Marx tentang komunisme sedang disemai dalam ujudnya yang praksis. Buku terbaru dari Harry A. Poeze ini sayangnya tidak mengungkap pengembaraan Tan Malaka di Eropa sehingga tidak jelas benar bagaimana ide-ide komunisme mulai menariknya, sampai ia menerjuninya secara praksis. Di negeri Belanda lah minat politik Tan Malaka tergugah dan terbentuk. Ia menjadi seorang nasionalis yang berkobar-kobar sekaligus menjadi simpatisan komunisme yang aktif. Ia sangat tertarik dengan kemenangan revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Gagasan-gagasannya terbentuk antara lain di dalam kelompok diskusi yang ditokohi oleh Sneevliet dan gagasan itu ia lahirkan kembali dalam bentuk artikel.
Kiprah politik Tan Malaka memang baru bersinar ketika sudah tak lagi jadi mahasiswa. Ia kembali ke sana setelah diusir dari tanah air (1922). Ia bergabung dengan Partai Komunis Belanda, bahkan menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi calon anggota parlemen di Negeri Tulip.
Menggerakkan Indonesia dari Negeri Penguasa
Di negeri penjajah (baca: Belanda), pada tahun 1922, sekelompok mahasiswa yang datang dari tanah Hindia membentuk organisasi yang diberi nama Indonesische Vereeniging. Lewat organisasi inilah mereka kemudian merumuskan pergerakan kebangsaan Indonesia.
Dekade 1920-1930, tulis Poeze, merupakan suasana di mana nasionalisme Indonesia berada dalam isolasi. Hindia Poetra, organ baru PH yang terbit pada 3 Maret 1923, memuat pernyataan asas yang untuk seterusnya sangat berpengaruh. Pada 1925 PH memutuskan mengganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Setahun kemudian mereka mengganti istilah berbau Belanda tersebut dengan Perhimpoenan Indonesia (PI). Maknanya sama, tetapi kekuatan politisnya jauh berbeda. Sejarawan Taufik Abdullah dalam pengantar buku Sartono Kartodirdjo (Sejak Indische sampai Indonesia, 2005) menyebutkan, sejak itu untuk yang pertama kali istilah Indonesia yang semula hanya konsep geografis dan antropologis jadi konsep politik.
Sartono Kartodirdjo dalam buku itu menyebutkan, PI telah merumuskan konsep politik, masa depan Indonesia dalam bentuk pemerintahan semata-mata ada di tangan bangsa sendiri. Dalam majalah Hindia Poetra, Maret 1923, dimuat pernyataan asas PI dengan tekanan pada ide kesatuan serta demokrasi.
Dalam pernyataan dasar-dasar perkumpulan PI, menurut Sartono, tercantum antara lain pembebasan Indonesia dari penjajahan melalui aksi massa dari rakyat yang penuh kesadarannya. Majalah organisasi pun diganti menjadi Indonesia Merdeka, dengan semboyan merdeka. Oleh Taufik Abdullah disebutkan, semboyan itu adalah ”Indonesia merdeka, sekarang!”
Menurut Taufik, peristiwa itu memberi makna penting adanya sebuah bangsa yang bernama Indonesia dan bangsa ini menuntut kemerdekaan bagi negerinya.
”Jika sejarah pergerakan kebangsaan dikaji lebih teliti, kelihatan bahwa mahasiswa yang bergabung dalam PI di negeri Belanda itulah yang sesungguhnya bisa dianggap pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal,” kata Taufik.
Pada tahun-tahun ini, PI semakian memperlihatkan watak antikolonialnya. Di bawah kepemimpinan Hatta, menurut mendiang Sartono (2005), PI telah merumuskan suatu konsep politik bagi masa depan Indonesia yang nasibnya semata-mata berada di tangan sendiri. Belakangan konsep tersebut mewujud dalam terma nonkooperasi.
Kegiatan politik Hatta dan kawan-kawan pun kian hari kian mengental di jalur radikal, termasuk kesepakatan anehnya dengan Semaoen, partisipasi dalam pembentukan Partai Nasional Indonesia, hingga keikutsertaan dalam kongres internasional di Berlin yang menghasilkan liga melawan imperialisme dan penindasan kolonial.
Kegiatan politik Hatta dan kawan-kawan pun kian hari kian mengental di jalur radikal, termasuk kesepakatan anehnya dengan Semaoen, partisipasi dalam pembentukan Partai Nasional Indonesia, hingga keikutsertaan dalam kongres internasional di Berlin yang menghasilkan liga melawan imperialisme dan penindasan kolonial.
PI lantas mulai dianggap “brengsek” oleh pemerintah Belanda. Ancaman remeh semacam penarikan beasiswa pun dilakukan Belanda, hingga pada puncaknya Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdoelmadjid, dan Pamoentjak dipenjarakan untuk kemudian diadili.
Setelah secara dramatis pengadilan memutuskan keempat tokoh itu tak bersalah, PI mencari orientasi baru dengan ketua baru Abdullah Soekoer. Hingga 1929 PI kian gencar melancarkan aksi, rapat protes, manifes dan konsultasi dengan gerakan-gerakan kiri.
Era 1930-1940 adalah babak baru hubungan Indonesia-Belanda. Akumulasi peristiwa dan gagasan pada dekade ini, bagi Poeze, mengarah pada kerja sama yang sadar. Separuh dekade pertama PI masih memperlihatkan watak kirinya, dan kemudian berangsur lebih moderat. Pada era ini perkembangan di tanah air memberi pengaruh signifikan bagi situasi pergerakan di Belanda.
Perkembangan baru itu setidaknya ditandai dengan lahirnya Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi) yang bertujuan merapikan kembali kontak antarmahasiswa yang untuk sekian lama terabaikan. Lama kelamaan Roepi menjadi organisasi favorit dan, akhirnya, sentral bagi mahasiswa Indonesia di Belanda.
Periode 1940-1945 adalah saat-saat Belanda mulai “ompong”. Desakan kemerdekaan semakin kuat, sementara politik internasional kian menegang. Di negeri sendiri, Belanda takluk oleh Jerman. Situasi menjadi tak menentu. Organisasi yang banyak bermain dalam periode ini adalah Clubhuis yang membantu pemenuhan logistik bagi mahasiswa Indonesia dan Roepi yang terus melakukan kegiatan budaya.
Sementara PI menyusun barisan melawan pendudukan Jerman. Sayang sekali, Poeze tak banyak memotret senjakala kekuasaan Belanda. Tahun 1943 bagaimanapun adalah tahun krusial, termasuk pengaruhnya bagi orang Indonesia di sana. Saya menduga bahwa lubang ini disebabkan pribadi Poeze tak bisa mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada bab terakhir (1945-1949), dipilih judul “Berangsur Menjauh”. Penulisnya bukan lagi Poeze, melainkan Inge van Der Meulen. Sayang, bab ini lebih jauh dari sekadar antiklimaks. Saya penasaran mengapa Poeze tidak menulisnya sendiri. Silakan baca bab ini dan mohon periksa apakah pertanyaan bernada pernyataan saya berikut ini relevan: “Bung Poeze, apakah hubungan Indonesia dengan Belanda sedemikian kuatnya, sehingga kami seolah tak bisa menentukan takdir kami sendiri sebagai bangsa merdeka?.
Setelah kemerdekaan Indonesia—ketika Belanda masih bermimpi mengangkangi Indonesia dengan mengirimkan senjata dan serdadu pada awal 1946—ribuan pekerja kapal Indonesia dari Rotterdam sampai Belgia ”melakukan pemogokan sehubungan dengan pengiriman senjata dan serdadu yang tidak sangsi lagi akan digunakan terhadap bangsa kita yang sekarang di Indonesia membela kemerdekaan”. Satu lagi, berkat jasa babu dan jongos yang mendirikan restoran, seperti Restoran Senang Atie yang didirikan Saiman atau usaha rantangan Mak Ginem, para pelajar itu bisa mendapatkan masakan Indonesia dengan harga murah untuk pertemuan-pertemuan politik mereka. Tapi, idem dengan pekerja kapal, nasib mereka pun menyedihkan. Kalau ada perhatian elite, sebatas untuk berlebaran bareng, yaitu saat berdiri Roepi (Roekoen Pelajar Indonesia) pada 1936. Arus jongos dan babu ke luar negeri mengalir terus sampai kini. Ahli sejarah buruh, John Ingleson, menyatakan bahwa elite dan negara Indonesia sesungguhnya dihidupi oleh devisa (baca: keringat) para babu dan jongos yang secara halus disebut tenaga kerja Indonesia itu. Kepada mereka disandangkan gelar mentereng ”Pahlawan Devisa”. Tapi nasib mereka tak jauh menyedihkan dari jongos dan babu tempo doeloe. A. Muhlenfeld pada Maret 1916 menulis di Koloniale Studien: ”…babu dan jongos itu diperlakukan dengan cara yang mengingatkan orang pada Zaman Pertengahan di Eropa, ketika tuan budak dapat melakukan apa saja terhadap budaknya”.
Penutup
Pluralitas berbagai identitas subjek kajian tersebut menunjukkan bahwa sekalipun keberangkatan orang-orang Indonesia tersebut ke Belanda relatif tidak dijalin dalam suatu misi dan tujuan yang sama dan terjadi dalam rentang waktu yang terlalu panjang untuk terjadinya kebersamaan fisik (350 tahun!?), aktivitas mereka di Belanda dan jalinan sosial-politik-kultural yang mereka bangun selama tinggal di Belanda serta gambaran yang mereka imajinasikan selama tinggal di Belanda tentang negeri yang secara sama mereka sebut “Indonesia”, mencerminkan proses pencarian identitas “keindonesiaan” yang dari waktu ke waktu semakin mengkristal, kuat dan jelas.
Dalam konteks ini, buku “Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600 – 1950”, layak diapresiasi karena menyajikan pemahaman tentang proses menjadi Indonesia secara komprehensif. Pertama, ia menyajikan proses menjadi Indonesia yang berlangsung di luar wilayah geografis Indonesia sepanjang periode 1600 – 1950 yang dikaji. Kedua, proses Indonesia yang berlangsung di luar wilayah geogarafis Indonesia dalam periode tersebut dikisahkan tidak hanya dalam aspek perjuangan politik, tetapi juga aktivitas budaya, ekonomi dan sosial kemanusiaan lengkap dengan cuplikan fragmen – fragmen duka – lara dan suka – rianya. Khususnya butir kedua ini amat penting dicatat mengingat pemahaman yang berkembang selama ini tentang proses keindonesiaan di luar wilayah Indonesia hingga 1950an terfokus pada dinamika perjuangan politik, khususnya yang dipelopori organisasi-organisasi pelajar/mahasiswa seperti Perhimpunan Indonesia.
Di Negeri Penjajah, sementara menegaskan kembali peran penting perjuangan – perjuangan politik itu, menimbulkan kesadaran yang lebih luas tentang proses terbangunnya identitas keindonesiaan yang melampaui batas-batas negara maupun aneka label primordial bangsa kita.
Referensi link :
0 Response to "Orang “Indonesia” di Negeri Penjajah"
Post a Comment