Zaman Berdebat atau beradu fikiran
Wednesday, July 6, 2011
Add Comment
JAKARTA, 1933. Pada tanggal 29 September malam orang berjejal di sebuah tempat di gang Kenari, Salemba. Mereka mengikuti perdebatan antara dua orang tokoh: Nama terkenal A. Hassan yang mewakili Pembela Islam dan Abu Bakar Ayub Ahmadiyah Qadian. Pada akhir itu juga pihak Pembela Islam menerbitkan rekaman debat tersebut yang kemudian dicetak ulang 40 tahun kemudian (1973).
Pada halaman-halaman pertama boleh dibaca keterangan yang menggambarkan jalannya perdebatan: Rapat dihadiri oleh lebih kurang 2.000 orang Wakil pers yang datang: Keng Po, Sin Po, Pemandangan, Bintang Timur, Sikap Adil, Sumangat, Senjata Pemuda Jawa Barat, Ceto Welo-Welo. Wakil-wakil perkumpulan yang datang: Persatuan Islam, Pendidikan Islam, AnNadil Islamie, Persatuan Islam Garut, MAS Garut, Persatuan Islam Leles, Islamiyah Jatinegara, Perukun Kebon Sirih, Salamatul- Insan, Al Irsyad, PBO.
Pukul 8 rapat dibuka oleh Ketua, tuan Mohd. Muhyidin dengan lebih dahulu mengucapkan seperti berikut : “Tuan-tuan putera dan puteri. Saya mengucapkan terimakasih atas kedatangan sekalian. Ternyatalah perdebatan ini dapat perhatian yang penting. Melainkan saya harap supaya tuan-tuan sekalian akan tinggal dengan iman, seperti kemaren.
Sekarang akan diperingati lagi kepada tuan-tuan supaya janganlah mencela atau mengeluarkan perkataan atau isyarat-isyarat yang memihak ke salah satu partai yang sedang berdebat. Barang siapa tiada menurut akan aturan ini, saya akan ambil tindakan. Ingatlah, walaupun tidak setuju juga simpan sahaja dalam hati. Tetaplah memegang aturan seperti kemaren malam. Pembicaraan ini malam akan dibicarakan, apakah sesudah Nabi Muhammad s.a.w. akan ada lagi Nabi atau tidak. Fihak Ahmadiyah akan mengasih keterangan, dalil-dalil yang menguatkan pendiriannya, bahwa sesudah Nabi Muhammad, ada Nabi lagi yang tidak membawa syare’at. Pembela Islam akan kasi keterangan sesudah Nabi Muhammad tidak akan ada Nabi lagi, walaupun yang tiada membawa syare’at baru. Saya persilahkan tuan Abu Bakar Ayub waktunya 1 jam paling lama janganlah menyimpang dari rel.
Tuan A. Hassan: “Tuan Ketua dan Yuri! Saya minta bicara”.
Tuan Ketua: “Apa panjang?”
Tuan A. Hassan: “Cuma perkara yang kemaren malam sahaja”
Tuan Ketua: “Jangan sekarang dibicarakan”.
Tuan A. Hassan: “Saya majukan pertanyaan, apakah aturan tetap seperti kemaren atau ada robahnya, karena praktek kemaren tidak baik”.
Tuan Ketua: “Saya tidak mengizinkan. Saya pegang aturan yang sudah ditetapkan oleh kedua belah fihak”.
Tuan A. Hassan: “Karena tuan Rahmat Ali mendustakan saya”. Tuan Ketua: “Saya minta tuan tunduk kepada aturan”.
Tuan Hassan lalu duduk.
Ada tiga hal penting yang menjadi materi perdebatan, dua diantaranya adalah soal kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan turunnya Isa as dan Imam Mahdi.
Dalam perdebatan itu, A Hassan yang dikenal piawai dalam berdebat, mengemukakan sebuah ‘hadits’ yang dikutip dari kitab Mirza, yang berbunyi: “Di hari Rasulullah saw meninggal, bumi berteriak. Katanya: “Ya Allah, apakah badanku ini akan Engkau kosongkan daripada diinjak oleh kaki-kaki nabi sampai hari kiamat?” Maka Allah berfirman kepada bumi itu: “Aku akan jadikan di atas badanmu (di atas muka bumi, red) manusia yang hatinya seperti nabi-nabi:’
Secara spontan, Abu Bakar Ayyub menanyakan kepada A Hassan tentang riwayat hadits ini. Dengan berpura-pura, A Hassan menjawab “tidak tahu” sambil mengatakan, “Apakah tuan suka hadits ini? Bila tuan suka silakan pakai, bila tidak silakan tolak:’ Mendengar jawaban A Hassan yang tidak mengetahui siapa perawi hadits itu, Abu Bakar Ayyub dan para pengikut Ahmadiyah yang hadir menyunggingkan senyum dan bersorak kemenangan. Mereka mengganggap A Hassan sudah kalah karena mengutip ‘hadits’ yang tak jelas siapa perawinya, diambil dari kitab mana, dan siapa penulisnya. Karena tak jelas, Abu Bakar Ayyub menolak ‘hadits’ itu.
Setelah sorak sorai ‘kemenangan’ itu reda, A Hassan menyebutkan bahwa ‘hadits’ itu ada dalam kitab yang ditulis Mirza, yang berjudul Tuhfah Baghdad halaman 11, terbitan Punjab Press Sialkot, Muharram 1311. Seketika, Abu Bakar Ayyub dan para pendukungnya tersentak dan pucat pasi. Selanjutnya, giliran A Hassan tersenyum sambi! menyuruh Abu Bakar Ayyub bertanya kepada ‘nabinya’ (Mirza Ghulam Ahmad) untuk menanyakan siapa perawi hadits itu dan dari kitab mana diambilnya. Tanyakan pula, kata A Hassan, bagaimana bumi bisa bicara kepada manusia, sebab ‘hadits’ itu bukan hadits Nabi, mengingat dalam kitab Mirza itu ditulis, bumi berteriak setelah Rasulullah wafat. “Tentu ada orang lain yang mendengar omongan bumi. Siapa dia? Tanyakan kepada ‘nabr Mirza;’ ketus A Hassan. Meski sudah terdesak, Abu Bakar Ayyub masih berkelit dan mengatakan bahwa ‘hadits’ itu bisa jadi terdapat dalam Kitab Kanzul Ummi yang juga milik Ahmadiyah.
Namun saat itu, Abu Bakar Ayyub mengatakan tidak membawa kitab tersebut, jadi tidak bisa dicek. A Hassan kemudian menegaskan, dengan adanya perkataan yang ditulis oleh Mrza Ghulam Ahmad itu sudah cukup menunjukan palsunya kenabian Mirza. “Kalau perkataan yang begini terang, tuan mau putar-putar lagi, saya minta diadakan juri. Saya heran, apa sebab Ahmadiyah takut diadakan juri. Juri tidak akan makan orang!” tegas A Hassan yang meminta diadakan juri untuk menilai siapa yang salah dan siapa yang benar.
Kisah perdebatan itu ditulis oleh H Tamar Djaya, seorang sejarawan Muslim dalam buku Riwayat Hidup A Hassan, dan ditulis kembali oleh Yusuf Badri dalam Persis dan Ahmadiyah. Meski tak ada kesepakatan apapun setelah debat itu, risalah perdebatan A Hassan versus Ahmadiyah kemudian dibukukan dan disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Pihak Ahmadiyah memanipulasi sejarah dengan mengatakan, setelah debat itu banyak orang yang tertarik masuk dalam kelompoknya.
*****
Itu bukanlah satu-satunya debat antara Ahmadiyah dengan kaum muslimin umumnya. Zaman itu adalah zaman ketika kebebasan mimbar terbuka penuh. Sedang munculnya organisasi-organisasi pembaharuan Islam di awal abad 20 seperti Muhammadiyah Al-lrsyad atau Persatuan Islam telah menyebarkan satu udara di mana kegemaran berdebat secara terbuka tumbuh menjadi satu institusi yang di belakang hari boleh mengejutkan para penyelidik yang kurang teliti.
Namun dari besarnya perhatian — baik pers maupun para pengunjung luar kota — terhadap debat di atas diketahui bahwa pada tahun 30-an itu masalah Ahmadiyah bukan masalah yang asing bagi rakyat muslimin umumnya. Bahkan boleh dipastikan ia lebih aktuil di masa-masa tersebut dibanding sekarang ketika sudah begitu banyak soal-soal lain yang lebih merebut minat umat beragama.
Orang seakan-akan baru diingatkan kembali ketika dari Makkah dari satu mutamar organisasi-organisasi Islam sedunia beberapa waktu yang lalu datang keputusan yang mengkafirkan Ahmadiyah Qadian. Disusul dengan berita remang-remang tentang beberapa kericuhan di Pakistan negeri asal Ahmadyah akibat keputusan tersebut. Tidak begitu banyak yang diketahui orang tentang perincian peristiwa tersebut secara jelas. Namun dari berita-berita kecil di koran-koran didapat kesan bahwa di negeri yang baru pecah dua itu gumpalan sentimen yang rupanya sangat berakar — antara kaum Ahmadiyah Qadian dan umat muslim umumnya — memang cukup kuat untuk menimbiukan ledakan setiap waktu.
Dan bagaimana di Indonesia? Tak ada ledakan apapun. Syukurlah. Di kalangan muslimin Indonesia sekarang Ahmadiyah kurang-lebih hanya menduduki tempat pengenalan samar-samar. Mereka tahu ada Ahmadiyah Qadian dan ada Ahmadiyah Lahore. Bedanya tak begitu jelas tapi yang pasti Ahmadiyah Qadian meyakini Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) sebagai Nabi — meskipun hanya Nabi yang menghidupkan kembali ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. dan bukan Nabi yang membawa syari’at baru. Sedang yang Lahore menganggap Ghulam Ahmad sekedar seorang Mujaddid Pembaharu untuk abad ini — tak beda dengan pembaharu-pembaharu untuk abad-abad terdahulu seperti Iman Syafi’i Al-Ghazali. Ibnu Taimiah dan lain-lain. Para pembaharu ini menurut mereka juga menerima wahyu hanya saja bukan wahyu kenabian.
Terhadap Ahmadiyah Lahore memang bukan tidak pernah terjadi serangan dari kalangan muslimin selebihnya. Bahkan pada masa hidupnya HOS Tjokroaminoto bapak pergerakan rakyat itu sendiri pernah terlibat dalam satu debat terutama dengan kalangan Muhammadiyah: tentang penilaian terhadap tafsir Qur’an yang ditulis Maulana Muhammad Ali bapak aliran Lahore. Meski begitu reaksi yang lebih berat tentulah ditujukan kepada Ahmadiyah Qadian.
Debat A. Hassan lawan AlBakar Ayub sendiri hanyalah salah-satu bentuk reaksi tersebut. Di Sumatera Barat misalnya tujuh tahun sebelum itu telah tampil Haji Rasul — nama populer Dr. Abdul Karim Amrullah ayah Hamka — yang menulis sebuah buku berbahasa Arab berjudul Al-Qaulush Shahieh (Sabda Yang Benar) buat menyerang habis kaum Qadian.
Buku tersebut lantas dibalas oleh lawannya dengan judul yang juga dalam bahasa Arab Izharul aqq (Kumandang Kebenaran). Sementara itu majalah seperti Pedoman Masyarakat yang terbit di Medan (1937) maupun Panji II/Masyarakat di Jakarta tak ayal pula memuat tulisan-tulisan yang “menguliti” Ahmadiyah.
Pada 1936 misalnya majalah ini memuat tulisan keras yang kemudian dibalas oleh Abu Bakar Ayub (lawan debat A Hassan) dengan brosurnya berjudul Bantahan Lengkap. Beberapa bulan lalu janji juga memuat terjemahan Ali Aman dari ulama An-Nadi yang juga merupakan serangan kepada kaum Qadiani.
Tetapi mengapa Sumatera Barat dalam hal Ahmadiyah lebih dahulu terdengar beritanya daripada Jakarta misalnya? Imam Bonjol Orang tahu, daerah peninggalan Imam Bonjol ini pusat pergerakan dau pembaharuan keagamaan. Dan memang disinilah pertama kali Ahmadiyah Qadian menjejakkan kaki. Sudah sejak tahun 20-an perguruan Sumatera Thawalib lembaga pendidikan Islam yang bersejarah melihat-lihat keluar untuk memperluas orientasi bagi memperkaya idham modernisme Islam.
Sebagaimana Imam Bonjol pada abad sebelumnya berlayar ke jazirah Arab dan berkenalan dengan aliran Wahabi demikianpun beberapa orang murid Sumatera Thawalib pada 1922 pergi berlayar — tetapi bukan ke Mekah. Atas anjuran Labai ElYunusiyah ulama besar dan ayah Rahmah El-Yunusiyah yang terkenal tiga orang anak muda tersebut pergi ke India. Mereka adalah Ahmad Nurdin, Abu Bakar Ayub sendiri dan Zaini Dahlan.
Ini memang suatu keluar-biasaan. Alkisah, berkeliling di negeri Hindustan mereka konon tak mendapati perguruan yang mereka maksud — sebab semuanya “sama saja dengan yang sudah mereka pelajari” memang harus dipercaya. Demikianlah maka akhirnya mereka mendengar tentang Qadian dan pergi ke sana meskipun banyak mahasiswa Islam di perjalanan melarang. Kesudahannya sudah bisa ditebak.
Tahun 1924 ketiga-tiganya bertemu dengan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad Khalifah ke-II dari Ghulam Ahmad menurut fahaml kaum Qadian — dan mereka langsung minta dikirim mubaligh ke Indonesia. Maka berangkatlah ke sini Maulvi Rahmat Ali. Kapalnya hinggap di Aceh — dan dari sini entah naik apa pergi ke Padang dan Bukittinggi. Di sinilah benih pertama ditabur. Dan di sini pula setahun kemudian ayahanda Hamka (pribumi Indonesia pertama yang mendapat titel Doktor yakni dari Universitas Al-Azhar Kairo) menulis bukunya yang telah disebut yang dengan tegas menganggap kaum Ahmadiyah Qadian berada di luar Islam Bahasa populernya kafir.
Tapi sementara itu mubaligh Rahmat Ali yang juga berhadapan dengan A. Hassan dalam debat di atas — naik kapal lagi dan pergi ke Jakarta. Dari sini ke Bogor dari Bogor ke Bandung. Dan menyebarlah faham Ahmadiyah di Jawa Barat. Bahkan Jawa Barat dihitung-hitung merupakan daerah di mana peugikut mereka paling banyak sampai sekarang. Rahmat Ali tidak pergi berda’wah ke Yogya. Di sini sudah lebih dahulu bermukim mubaligh India yang lain — hanya saja dari Ahmadiyah Lahore. Pada 1924 dua belas tahun setelah Muhammadiyah berdiri dan setahun sebelum datangnya mubaligh Qadian ke Aceh dan Minangkabau dua orang ulama Hindu muncul di Yogya.
Mereka itu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig. Tidak begitu jelas siapa yang mengundang mereka — kalaupun ada. Tapi ceritanya kedua mubaligh itu semula hendak pergi ke Hongkong — hanya saja di Singapura konon tertarik ke Indonesia karena mendengar kuatnya zending dan missi Kristen di sini. Bagaimana sambutan kalangan Muhammadiyah? Mereka dielu-elukan. Sementara Maulana Ahmad pulang kembali ke India Miria Wali Ahmad Baig diberi tempat tinggal di Jalan Gerjen Kauman di rumah milik Haji Hilal — tokoh Muhammadiyah dan ayah ‘Aisyah Hilal yang terkenal itu.
Pengurus Besar Muhammadiyah sendiri menyambut mereka dalam Kongresnya yang diadakan tahun itu: di sini Maulana Ahmad melontar pidato dalam bahasa Arab sementara rekannya berusaha berkomunikasi dengan pidato bahasa Inggeris. Maka inilah cerita tentang Yogya. Rumah di mana Ahmad Baig tinggal menjadi tempat bertemu orang-orang Muhammadiyah khususnya yang muda-muda. Mereka terutama belajar bahasa Inggeris.
Bahkan jangan lupa: ke sini pula sering datang HOS Tjokroaminoto dan para anggota Sarekat Islam. Itu adalah masa ketika SI dan Muhammadiyah berbaur demikian rupa. Adapun Cokro sudah tentu tidak sekedar belajar bahasa Inggeris. Diam-diam rupanya pemimpin ini menterjemahkan Tafsir Qur’an Maulana Muhammad Ali MA LLB (Presiden Ahmadiyah Lahore) ke dalam bahasa Melayu. Itu bahkan dikerjakan di dalam kapal beliau sebagai wakil SI bersama Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah berangkat ke Mekah untuk Mu’tamar ‘Alam Islami.
Persaudaraan Muhammadiyah dan Ahmadiyah bahkan lebih kelihatan tatkala beberapa pemuda Muhammadiyah kemudian dikirim ke Lahore. Mereka adalah Kyai Ma’sum almarhum (terakhir ikut Kahar Muzakar) lantas Kyai Sabit dari Wonosobo yang di belakang hari menjadi aktivis PKI dan Jumhan, putera KHA Dahlan sendiri. Putera pendiri Muhammadiyah ini yang di tanah India berganti nama menjadi Irfan meninggal di Bangkok sebagai mubaligh Lahore .
Tetapi persaudaraan memang tak pernah bisa mulus terus-menerus. Kyai Dahlan meninggal sudah. Muhammadiyah akhirnya menghadapi kenyataan bahwa betapapun juga terdapat perbedaan-perbedaan doktrin tertentu dengan saudara-saudaranya dari Hindi itu. Benar bahwa Ahmadiyah yang Yogya ini bukan aliran Qadian yang secara sangat prinsipiil punya perbedaan asas dengan mereka. Namun penafsiran-penafsiran kaum Lahore (tentang Isa, tentang Adam pengertian mu’jizat pengertian wahyu tentang Isra Mi’raj beberapa hal tentang sorga-neraka misalnya) dirasa “kelewat jauh”.
Kesadaran terhadap perbedaan tersebut berkelindan pula dengan beberapa friksi yang terjadi antara perkumpulan tersebut dengan SI. Memang tidak boleh dikatakan hanya faktor keagamaan yang mendasari ketidak-akuran Muhammadiyah dan SI meskipun pentolan-pentolan SI seperti Tjokro — dan jangan lupa Haji Agus Salim — dikenal “bersaudara (lekat” dengan Lahore. Iklim politik dan beberapa hal lain memegang peranan. Tetapi yang agaknya termasuk penting ialah adanya pejabat-pejabat Belanda dari Islamietische Zazen yang sering “bertamu” baik ke rumah Tjokro maupun ke rumah H. Fakhruddin pengganti KHA Dahlan — dan selalu ada sajl hal-hal yang mereka bawa yang menyebabkan hubungan SI-Muhammadiyah makin kurang harmonis.
Boleh diingat pula bahwa masalah ko-operasi dan non-koperasi dengan Gubernemen waktuitu sudah timbul: dan sementara SI memilih non-kooperasi Muhammadiyah memanfaatkan subsidi pemerintah untuk program-program sosialnya.
Tetapi yang menarik ialah, pada 1927 kembali datang seorang ulama dari India ke Yogya. Namanya Abdul ‘Alim Siddiqui. Dan Muhammadiyah sebagaimana yang mereka lakukan dahulu pada kedatangan mubaligh Lahore, menyambut tamu tersebut. Kali ini dengan sebuah pengajian umum — dan pengajian ini menyerang Ahmadiyah baik Qadian maupun Lahore secara luar-biasa sengit.
Tak begitu jelas apakah hal itu melukai perasaan Cokroaminoto yang justeru sedang menterjemahkan tafsir Qur’an karangan pemimpin Lahore — atau barangkali tokoh-tokoh SI yang lain. Tapi kemudian SI pada tahun itu juga dalam kongresnya di Pekalongan memutuskan untuk menjalankan disipin partai kepada warganya yang juga menjadi anggota Muhammadiyah: mereka dipersilahkan minggir.
Ini tak urung mengingatkan orang kepada tindakan serupa yang dilancarkan SI pada 1921 kepada anggota-anggotanya yang komunis. Tak heran bila Muhammadiyah yang pada tahun-tahun 1922 dan 1924 telah bersedia bersama-sama SI menyelenggarakan ‘Kongres Al-Islamli Cirebon dan Garut — dengan pembicaraan lebih luas dari sekedar soal-soal agama — tidak bersedia ikut dalam Majlis Ulama yang dahulu direncanakan bersama.
Majlis itu akhirnya hanya berarti Majlis Ulama PSI dibentuk pada 1928 dalam Kongres di Yogya. Di forum ini iuga dibicarakan Tafsir Qur’an yang sedang di kerjakan Tjokroaminoto, Mr. AK Pringgodigdo dalam bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, ada menyatakan bahwa lantaran dan bagian-bagian pertama Tafsir itu ternyata hanya saduran dari Tafsir kaum Lahore timbullah di korupsi itu perlawanan yang keras Maka tampillah Agus Salim: beliau ini menerangkan bahwa dari segala jenis tafsir, tafsir Lahore yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar.
Tapi wibawa dua tokoh besar itu saja rupanya tak cukup: perlawanan baru mereda setelah diambil keputusan uutuk menunda penerbitan selanjutnya sampai Majlis Ulama mengambil ketentuan. Dan ketentuan itu diambil dalam rapat Majlis tahun itu juga di Kediri. Isinya: terjemahan boleh diteruskan asal dilakukan dengan pengawasan Majlis.
Dalam forum ini Tjokro tampil bersama Mirza Wali Ahmad Baig sang mubaligh Lahore. Tetapi reaksi kaum ulama sudah tentu belum selesai. Kongres Muhammadiyah diadakan tahun itu juga di tempat yang sama. Sidang selain mencela keras disiplin partai SI yang dikenakan kepada anggota organisasi agama non-politik seperti Muhammadiyah jua menyatakan tidak bisa membenarkan tafsir Qur’an karangan Maulana Muhammad Ali tersebut. Alasan: tidak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Tokoh ini dengan segera datang ke Yogya bersedia menghadapi sebuah debat terbuka mengenai itu Tafsir yang heboh. Tokoh-tokoh lanjut usia yang berada di sana waktu itu boleh menceritakan jalannya peristiwa begini:
Pertemuan diadakan di Pakualaman sebagian besar dihadiri orang-orang Muhammadiyah. Alangkah- ributnya hadirin waktu itu. Sangat ribut sampai-sampai pidato tokoh tua ini tidak terdengar. Maka naiklah Tjokro — kalau tidak salah ke atas meja — sembari berseru de ngan suaranya yang dahsyat: “Ini Tjokroaminoto keturunan ksatria! Mau ribut coba ribut!”. Maka hadirin pun heninglah. Namun tak ada perdebatan .
Dan Tafsir itu akhirnya terbit pada tahun itu juga 1928. Orang bisa melihatnya sekarang di musium: baru jilid I-III berisi juz ‘Amma atau bagian ke-30. Di dalam kata pengantar bisa pula dibaca tulisan Agus Salim yang dengan bersemangat membela Tafsir itu. Tapi itu Agus Salim. Bagi ulama Muhammadiyah lebih selamat bila mereka menyingkiri segala cara penafsiran yang bagi mereka sama dengan pengertian ta’wil. Ta’wil satu kata yang biasa digunakan untuk mengecam adalah “penyeret-nyeretan teks” ke arah maksud-maksud yang jauh yang lazimnya sudah direncanakan lebih dulu. Semua lektur Ahmadiyah kemudian mereka hindari.
Tertanggal 5 Juli 1928 Pengurus Besar Muhammadiyah mengeluarkan maklumat ke cabang-cabangnya di seluruh pelosok. Isinya: melarang mengajarkan ilmu dan faham Ahmadiyah di lingkungan Muhammadiyah.
Tapi maklumat tersebut hanyalah paralel belaka dengan keputusan lain yang diambil dalam Kongres tahun itu juga: yang mengecam disiplin partai SI plus Tafsir Muhammad Ali. Dalam kongres tersebut juga terjadi semacam kegaduhan: yakni ketika sidang membicarakan persoalan Djojosugito dan Muh Husni. R. Ng. Djojosugiti direktur yang pertama dari Madrasah Mu’alliminMuhammadiyah Yogya waktu itu Ketua Muhammmadiyah cabang Purwokerto. Sedang Husni tak lain Sekretaris Jenderal PB Muhammadiyah. Kedua-duanya adalah tokoh-tokoh Ahmmadiyah.
Tetapi pro dan kontra untuk menggeser mereka rupanya berjalan sengit dalam sidang. Maka berdirilah Kyai Abdullah Sirad — sambil menangis. Kyai mohon kepada sidang supaya demi persaudaraan Islam, semua hiruk-pikuk itu dihentikan saja. Supaya kedua tokoh itu sendiri disuruh memilih: atau Muhammadiyah atau Ahmadiyah …… Dan kedua-duanya di bawah tekanan perasaan memilih yang terakhir.
Sudah tentu. Sebab baik Djojosugito maupun Husni termasuk orang-orang pertama yang berhubungan dengan mubaligh Lahore Mira Wali Ahmad Baig. Djojosugito bahkan di belakang hari dikenal sebagai penterjemah Tafsir The Holy Quran — yang dikerjakan Tjokro-aminoto ke bahasa Melayu — kali ini ke bahasa Jawa.
Tetapi keputusan untuk memilih juga mengenai seorang tokoh lain Meskipun kedudukannya dalam Muhammadiyah tidak begitu penting ia harus disebut sebagai orang pertama dalam usaha penyebaran faham Ahmadiyah Lahore. Ialah Sudewo guru HIS Muhammadiyah. Di belakang hari orang tahu belaka bahwa hampir semua terjemahan lektur Ahmadiyah ke dalam bahasa Belanda tak lain berkat jerih-payah tangannya. Yang terpenting tentu saja kembali Tafsir Maulana Muhammad Ali.
Rupanya begitu Tjokroaminoto terlibat dalam polemik mengenai terjemahan tafsir tersebut ke bahasa Melayu Sudewo diam-diam menterjemahkannya ke bahasa Belanda dan itulah de Heilige Qoern, terbit pada 1935 beriringan dengan pengantarnya Inleiding tot de Studie van Den Heilige Qoer’an. Tetapi waktu itu Ahmadiyah sebagai organisasi belum lagi berdiri. Dan justru disiplin organisasi Muhammadiyah tersebut memaksa tokoh-tokoh seperti Djojosugito dan Moh. Husni mencari wadah lain buat aktifitas mereka.
Pada tahun itu juga mereka mendirikan Indonesische Ahmadiyah Beweging — mendapat badan hukum pada 1929 yang sekarang dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia (GAI). Bedakan dari Jema’at Ahmadiyah Indonesia atau JAI perkumpulan kaum Qadian. Kecil saja perkumpulan Ahmadiyah itu. Hanya 10 atau beberapa belas orang yang menyatakan bai’at (pra setia) pada tahun tersebut. Bahkan sekarang ketika anggota Muhammadiyah sudah berjumlah lebih setengah juta (SI pada 1918 sudah beranggota 800. 000 sedang Muhammadiyah ketika Ahmadiyah Lahore berdiri beranggota 175 ribu) anggota gerakan Lahore hanya berjumlah 500 sampai seribu orang.
Dengan catatan terdapat juga para simpatisan yakni mereka yang mengikuti pengajian-pengajian di cabang-cabang. Di Jawa Timur misalnya, di mana gerakan Lahore terhitung kuat (terutama Kediri) simpatisan itu berjumlah lima ribu orang. Adapun organisasi kaum Qadian sendiri (JAI) paling banyak sekarang beranggota 20.000 orang di seluruh tanah-air.
Jadi ternyata kedua perkumpulan yang hampir sama terkenalnya dengan Muhammadiyah itu bukan perkumpulan yang “laku”. Mengapa? Beberapa hal mungkin bisa menjelaskan sebab-sebabnya. Untuk menjadi anggota GAI (Lahore) misalnya orang harus bersedia menyerahkan 1/16 penghasilannya kepada organisasi.
Mereka yang tidak mampu diberi batas minimal 1%. Bagi Ahmadiyah Qadian (JAI) bahkan pungutan itu minimal 1/16 dan maksimal 1/3. Itu semuanya di luar zakat yang wajib untuk semua orang Islam yang besarnya 1/40 alias 2�% dari harta-lebih dan bukan dari penghasilan.
Bisa disimpulkan bahwa seperti dinyatakan tokoh-tokoh Ahmadiyah sendiri mereka yang menyatakan bai’at dan masuk organisasi adalah orang-orang yang dengan sendirinya bersedia menjadi aktivis yang bisa juga berbentuk da’wah pribadi.
Dan da’wah memang dilaksanakan dengan rajin khususnya oleh jemaat Qadian — meskipun tidak boleh dikatakan melebihi atau sama gencar dengan da’wah kalangan Kristen. Hanya saja bisa dilihat bahwa dalam pelaksanaan da’wah kedua kelompok itu tetap saja konvensionil. Yang mereka “serang” biasanya adalah alam fikiran: mereka menyebarkan brosur-brosur atau melayani debat. Padahal sebagian besar rakyat bukanlah orang-orang yang “rasionil” dan siap berubah pendapat lewat fikiran.
Banyak orang misalnya tertarik kepada Muhammadiyah — yang dulu juga dikenal ahli berdebat –justru oleh amal sosialnya seperti sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit yang banyak. Sedang kaum Ahmadi tidaklah masyhur dalam bidang ini. Tetapi sebaliknya merekapun tidak pernah menggunakan taktik “pintu belakang” atau membonceng kekuatan-kekuatan lain secara tidak sportif darl karena itu tak pernah terdengar berita kericuhan di Indonesia dalam hal Ahmadiyah. Toh faktor materi ajaran sendiri turut pula menentukan.
Untuk Ahmadiyah Qadian seorang yang sudah memeluk agama Islam lazimnya akan bukan main sulitnya menerima seorang Nabi lain (Ghulam Ahmad) setelah Nabi Muhammad meskipun bukan Nabi yang membawa syari’at.
Kenyataan menunjukkan bahwa selamanya akan terdapat cukup banyak yang mampu membendung umat mereka dari da’wah kaum Qadiani. Itulah sebabnya mengapa Ahmadiyah yang sebuah ini lebih bisa berkembang di negeri-negeri non-Muslim seperti Afrika (Barat).
Majalah Time misalnya pernah menulis bahwa di beberapa tempat di sana “satu orang masuk Kristen dan 10 orang masuk Ahmadiyah” — sebagai perbandingan. Sampai-sampai sambutan yang diterima Hafiz Mirza Nazir Ahmad (yang oleh orang Qadian dianggap Khalifah ke-III Nabi Mirza Ghulam Ahmad) ketika tokoh ini datang ke sana pada 1970, boleh mengherankan orang-orang di luar.
Bagai menyambut Paus layaknya kepala-kepala negara bahkan menunggu kedatangannya di lapangan terbang. Boleh ditambahkan bahwa di Afrika konon, Ahmadiyah juga dikenal sebagai perkumpulan sosial. Beberapa rumah sakit dan sekolah misalnya mereka dirikan — walaupun di hampir tiap negeri anggotanya tetap saja merupakan kelompok minoritas.
Tetapi kebesaran syi’ar seperti itu sudah tentu tidak pernah dialami golongan Lahore. Pertama karena, setelah kelompok ini tidak mengakui Ghulam Ahmad sebagai Nabi — dan dengan demikian juga tidak punya khalifah ia pun pada dasarnya tidak merupakan organisasi yang ketat.
Di tiap-tiap negeri hanya terdapat perkumpulan-perkumpulan yang relatif bebas, yang hubungannya dengan Presidennya di Lahore semata-mata sekedar korespondensi — mereka misalnya menerima kirimm majalah The Light, karena berlanganan. Bahkan hanya satu-dua orang, dari tokoh-tokohnya di Indonesia sekarang yang sudah pernah melihat kota di Pakistan itu — berbeda dengan jemaat Qadiani, yang bahkan untuk tabligh masih tetap rnemakai tenaga-tenaga Pakistan.
Kolonel II. Sutjipto SH, Sekjen PB GAI (Lahore), menerangkan kedudukan organisasinya seperti ini: “Bukan oderbouw apa-apa. Kami ini muslim, dan menjadi muslim juga tidak berarti kami onderbouw Arab.
Jadi kami memang tidak organisasi-sentris, tapi lslam-sentris. Kapan saja tidak diperlukan menyebut organisasi, dan cukup Islam saja, itupun bagi kami tidak menjadi soal”. Bahkan akhirnya: “Ada atau tidak ada GAI, bagi kami sendiri sebenarnya tidak penting. Tidak ada pun tidak apa”, katanya. Kalau sudah begitu? bisalah difahami mengapa da’wah ( dalam arti memperbanyak anggota resmi) bukan yang paling penting bagi mereka.
Sebab yang paling penting ialah. “bagaimana fikiran-fikiran kami dapat diterima sebanyak-hanyak orang, seluruhnya atau sebagiannya”, kata Sutjipto. Dan untuk itulah diadakan GAI dan dilakukan da’wah — tentu saja, menurut jalan yang mereka tempuh sejak pertama, melalui buku-buku dan brosur-brosur.
Harus diakui bahwa dari segi ini mereka sudah mencapai hasil. Tafsir Muhammad Ali yang telah dibicarakan itu sendiri boleh diambil sebagai contoh pertama. Terjemahannya ke bahasa Melayu yang dikerjakan Tjokroaminoto memang tidak terkenal akhirnya, selain juga tidak selesai dan hanya merupakan dokumentasi di museum. Tapi De Hedige Qoer-an, terjemahannya ke bahasa Belanda oleh Sudewo — bersama pengantarnya — boleh dicari di semua rumah tokoh-tokoh Islam intelektuil angkatan sebelum perang. Dan boleh dipastikan mereka menyimpan itu kitab.
Demikian pula buku Muhammad Ali ehammad De Profeet (Sukabumi 1932) atau buku Khwaja Kamaluddin et Geheim van Het hetaat of Het Evangelie van De Daal (Yogya 199). Kedua-duanya juga terjemahan (dari bahasa Inggeris) oleh Sudewo. Mengapa buku-buku tersebut begitu terkenal? Antara lain karena tokoh-tokoh Muhammadiyah tahun 20-an itu, yakni sayap intelektuilnya yang berpendidikan Barat, juga menjadi anggota Jong Islamieten Bond yang bersejarah. Sudewo misalnya banyak mengisi majalah JIB yang bernama HetLicht dengan ajaran Ghulam Ahmad versi Lahore yang dia terima dari Mirza Wali Ahmad Baig.
Tak heran bila semangat intelektuil seperti itu, apa lagi diyakini bersumber dari Islam, banyak memikat kaum terpelajar yang memang sedang berada dalam kegandrungan untuk “memadukan antara reliied an wetenschap ” — istilahnya waktu itu.
Lebih lagi, mengingat banyaknya kaum intelektuil Islam yang masih berada di luar JIB yakni tokoh-tokoh yang dinilai “tipis agamanya” — pada waktu itu didirikan pula di Yogyakarta perkumpulan Muslim Broederschap di bawah asuhan Djojosugito dan Moh Husni Di sini misalnya berkumpul Mustopo, Sjamsuridjal, Sudewo, Mohammad Kusban — dan menerbitkan sebuah majalah berbahasa Belanda pula bernama Correspondentie Blad. Perkumpulan ini boleh dibilang hanyalah wadah lain bagi Ahmadiyah Lahore selain (atau sebelum adanya) Ahmadijah Beweging.
Tidak berlebihan bila misalnya Jusuf Wibisono SH, orang tua yang juga anggota Muhammadiyah dan salah-seorang dari banyak rekan-rekannya yang dahulu aktif dalam JIB, mengatakan bahwa “aliran Lahore banyak sekali meninggalkan karya monumental” Ia sendiri mengaku, meskipun tidak pernah menjadi anggota gerakan tersebut, “ikut mempropagandakan agar buku-buku mereka dibaca banyak orang lain” Mengapa? “Karena bisa menenteramkan fikiran”.
Lihatlah misalnya: De Heilige Qoer-an sendiri dahulu sudah habis dipesan dari pelosok-pelosok, umumnya kaum terpelajar, sebelum percetakannya sendiri selesai. Karena itu tak heran pula bila, di masa sebagian intelektuil Islam berpendidikan Barat merasa kikuk karena agama yang mereka peluk dianggap “begitu buruk”.
Ir. Soekarno sendiri tidak absen dalam mengejar buku-buku Ahmadiyah — sampai-sampai sebuah koran di Jakarta memberitakannya sebagai telah membentuk cabang gerakan Ahmadiyah di tempat peuhuangannya di Endeh.
Soekarno misalnya, seperti juga Jusuf Wibisono dan boleh dipastikan banyak yang lain, menyatakan secara jelas bahwa buku Khwaja Kamal-ldnin Het Cehebn van Het Bestaan itu — yang di belakang hari diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Rahasia Hiup sebuah karya brilliant.
Islam Dan Sosialisme Dan bagaimana pula pengaruh Ahmadiyah Lahore dalam PSII? Sudah tentu tak ada — secara resmi. Hanya saja, di samping tak begitu jelas berapa banyak tokoh PSII yang kecipratan Ahmadiyah, jelas bisa dilihat bekas Tjokroaminoto yang sekaligus menyangkut Ahmadiyah sampai sekarang. Boleh dibandingkan misalnya kertas bai’at Partai tersebut, yang diucapkan seorang calon anggota pada waktu pelantikan sebagai warga baru, dengan kertas bai’at model Ahmadiyah. Mirip. Maka tak heran bila dalam bukunya Islam dan Sosialisme Tjokroaminoto banyak sekali mengutip dari Maulana Muhammad Ali.
Sedang bukunya Tarikh Agama Islam boleh dibilang 95% adaptasi buku Muhammad Ali Mohammad The Prophet. Tetapi bahkan Moh. Natsir, murid ulama A. Hassan musuh Ahmadiyah Qadian itu, menggunakan banyak keterangan Mohammad Ali (Lahore) untuk catatan kaki sebuah bukunya tentang shalat.
Juga buku kecil Agus Salim tentang Isra Mi’raj (dicetak kembali oleh Tintamas pada 1966) yang nyaris merupakan pindahan dari The Holy Qoer-an Muhammad Ali untuk bagian yang sama — yakni jalan fikiran yang mengantarkan kepada kesimpulan bahwa Isra Mi’raj itu peristiwa rohani dan bukan peristiwa fisik.
Adapun Bahrum Rangkuti, pada 1949 seniman ini menterjemahkan Bentuk Dasar Ekonomi lama karangan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifah ke-II Ahmadiyah Qadiani. Setelah itu bisa pula ditunjuk Tafsir Qur’an Departemen Agama.
Tafsir ini tidak hanya menukil The Holy Qur’an Muhammad Ali maupun The Holy Quran Yusuf Ali, tapi bahkan menterjemahkan mentah-mentah sebagian pengantar The Holy Qur’an Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad di atas (TEMPO, 12 Januari 1974).
Tetapi kesimpulan yang paling menonjol dari seluruh “peninggalan” Ahmadiyah ialah: mereka telah memberikan senjata yang bagus bagi umat Islam setidak-tidakna dalam apologi — menghadapi serangan Eropa yang terutama santer sampai sesudah Perang Dunia ke-I.
Senjata ini adalah salah-satu- dari dua senjata: yang pertama telah diberikan oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha atau Jamaludin Al-Afghani, yang telah lebih dahulu dibaca di Indonesia.
Merekalah yang dikenal pertama kali menaikkan harga diri umat muslim dari menampakkan keindahan Islam di atas agama dan faham -faham Eropa yang selama ini mereka pandang dengan perasaan minder. Tetapi Muhammad Ali dan buku-buku kaum Ahmadi telah “menyerang dengan lebih langsung”.
Buku-buku yang mengupas Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan kitab-kitab agama-agama lain, berasal dari mereka — hal-hal yang tidak pernah muncul dari bumi Mesir atau Arab umumnya sampai pada tahun-tahun yang lebih akhir.
Seakan-akan mewarisi ilmu ulama klasik Syahrastani yang mengarang kitab Al-Milal wan-Nihal (Agama-Agama dan Pandangan-Pandangan Hidup — buku perbandingan agama yang pertama di dunia), dari India bermunculan buku-buku kristologi menurut versi Islam.
Dan itulah yang diterjemahkan atau menjadi sumber penulisan baru di Indonesia. De Bronnen van Het Christendom misalnya, karangan Sudewo terbit pada 1931 di Sukabumi. Seiring dengan itu adalah De Ceboerte van Jezus in Het Licht van Den Heiligen Qoer-an, terjemahan Sudewo dari pengarang Basyarat Ahmad, terbit di Yogyakarta.
Pada tahun 1937 muncul pula dari Ahmadiyah Qadian empat buah buku dan brosur: Jezus Dalam Bibel serta Nabi lsa Anak Allah: — oleh M. Sadiq HA, terbitan Medan dan Jakarta. Dua yang lain adalah kebenaran Nabi Muhammad.
Menurut Bijhel oleh M. Rahmat Ali HAOT, Jakarta. Itulah buku-buku perbandingan agama atau kristologi yang pertamakali di tangan umat Islam di Indonesia.
Baru sesudah itu, di belakang hari, mahasiswa Islam di sini menerima buku perbandingan agama Prof. Dr. Syalabi (Kairo). Djarnawi Hadikusumo lantas mengarang pula dua jilid komentar terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Drs Hasbullah Bakry menulis Nabi Isa Dalam Al-Quran dan Nabi Muhammad dalam Bibel. Tapi yang sangat populer adalah brosur-brosur kecil keluaran Jajasan Pembela Islam (YAPI) dan penerbit Anoa di Surabaya.
Di sini menulis orang-orang muda dengan voltase tinggi sebagian dari mereka ini warga Ahmadiyahl Qadian seperti Saleh A. Nahdi. Pada umumnya semuanya berfikir menurut jalan fikiran Ahmadiyah.
Enam Tahun LagiTapi itu berarti bahwa jalan fikiran Ahmadiyah diterima orang boleh dikatakan hanya “pada segi-seginya yang praktis untuk pembelaan Islam”. Bila seorang khatib muda naik di mimbar Jum’at dan “mengupas” Bibel dan mengutip Muhammad Ali, atau kadang-kadang Mirza Basyiruddin tanpa menyebut sumber, dan dengan itu telah mengesankan keluasan berfikir yang cukup, galibnya ia tidaklah bermaksud mempropagandakan Ahmadiyah.
Fikiran-fikiran Ahmadiyah itu telah demikian saja merupakan satu bagian tak terpisahkan dari pemikiran Islam mutakhir. Mereka ini, setelah tidak bisa menerima Ghulam Ahmad sebagai Nabi (kalau bisa tentulah mereka masuk jemaat Qadiani), biasanya tidak begitu peduli apakah Ghulam Ahmad memang Pembaharu yang diutus Allah (seperti diyakini kaum Lahore), atau Yesus dan Imam Mahdi yang seperti dijanjikan dalam hadis Ibnu Majah akan bangkit mendukung syari’at Muhammad (seperti diyakini baik Qadiani maupun Lahore).
Bagi umumnya umat muslimin, hadis-hadis semacam itu termasuk jenis “hadis-hadis rawan“, yang boleh menimbulkan banyak penafsiran dan umum tertimbun di bawah hadis-hadis yang mereka anggap lebih praktis dan langsung berhubungan dengan amal.
Adalah menarik bahwa bagi aliran Lahore sendiri “masa kerja” ajaran Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid pilihan Allah akan sudah bisa berakhir dengan berakhirnya abad tahun Hijrah yang sekarang yakni enam tahun Iagi — sementara insya Allah sudah muncul Mujaddin pilihan yang lain.
Dan bagaimana lantas nasib GAI?
“Terserah beliau nanti” jawab tokoh-tokoh mereka sekarang. Ini secara diametral membedakan aliran Lahore dari Qadian. Yang terakhir ini menganggap Ghulam Ahmad tokoh satu-satunya dan setelah tiga abad nanti akan menjadi lantaran bagi bersatunya dunia di bawah Khalifah beliau.
Moertopo SH misalnya — Ketua PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang Qadian menyatakan bahwa cita-cita terakhir Islam memanglah membentuk sebuah dunia dengan seorang pemimpin rohani tertinggi — apa boleh buat: “kira-kira seperti yang dicita-citakan dunia Katolik”.
Ini selain kurang populer di kalangan Islam umumnya juga menyebabkan mereka — terutama kalangan intelektuilnya yang cenderung tetap membuka pintu bagi pembaharuan-pembaharuan sepanjang bisa dibenarkan –memandang jemaat Ahmadiyah sebagai semacam ikatan yang akhirnya bahkan tidak “membebaskan”, begitu konon istilahnya Pegangan teguh kepada Mujaddid pilihan sendiri sudah dengan sendirinya melenyapkan kemungkinan ijtihad yang kebetulan tidak sesuai dengan sang Mujaddid.
Terbaca Samar-Samar
Alhasil, minus kepercayaan-kepercayaan dasar terutama dari aliran Qadian, fikiran-fikiran Ahmadi memang baru menimbulkan bekas. Sekarang misalnya dunia Islam — seperti diwakili Syekh Mahmud Syaltut dari Al-Azhar dan lain-lain — sudah mengakui bahwa Isa benar-benar wafat dan bukan diangkat ke langit hidup-hidup seperti penafsiran kaum Sunni sebelumnya.
Jusuf Wibisono juga menyebut misalnya betapa fikiran-fikiran Muhammad Ali mempengaruhi pemikiran Islam tentang ekonomi. Dalam hal riba, merekalah yang mengumumkan bahwa yang dimaksud riba adalah rente dengan motif penindasan.
Sesuai dengan bunyi Qur’an: “Jangan kamu menindas dan janga kamu ditindas” (la tazhlimun wala tuzhlamoun). Benar masalah riba tersebut telah disinggung dalam tafsir Al-Manar ‘Abduh & Rasyid Ridha.
Namun penafsiran yang oleh Jusuf Wibisono dibaca dari Muhammad Ali tersebut, seperti dikatakannya membuka pintu bagi eksistensi bank asal tak menuruti syarat di atas. Jusuf Wibisono sendiri memang tidak bisa menerima misalnya penafsiran yang terlalu jauh dalam Tafsir Muhammad Ali Untuk ayat-ayat mu’jizat.
“Bagi saya”, katanya, “kalau Nabi Musa memecah laut dengan tongkat, ya kejadiannya memang begitu. Bukan misalnya ditafsirkan bahwa tongkat itu lambang kekuasaan dan mereka menyeberang dalam keadaan laut kering dan sebagainya”.
Tetapi pro dan kontra terhadap fikiran-fikiran Ahmadi, dengan asumsi pertama bahwa dari mereka banyak bisa diambil hal-hal yang elok, menunjukkan kedudukan ajaran ini dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia.
Sesudah masuknya kitab-kitab dari Timur Tengah di akhir abad 19, yang menumbuhkan perkumpulan-perkumpulan tajdid (pembaharuan) seperti Muhammadiyah dan lain-lain, dan sebelum datangnya konsep-konsep yang relatif lebih jelas seperti pemikiran-pemikiran tentang negara dari Iqbal atau Seyd Amir Ali, di Indonesia berhembus udara India yang merupakan sebuah titik yang penting, meskipun lazimnya dilupa.
Nama Mirza Ghulam Ahmad sendiri seakan-akan hanya terbaca samar-samar di sini. Bahkan Tafsir Muhammad Ali yang diterjemahkan antara lain oleh Tjokroaminoto itu, tidak mengupas apaapa tentang salah seorang tokoh dunia ini.
Sumber referensi :
- Riwayat Hidup A. Hassan, H Tamar Djaja, Penerbit Mutiara, Jakarta.
- Koran Tempo Edisi 21 September 1974.
- Gerakan Ahmadiyah di Indonesia Oleh Iskandar Zulkarnain
0 Response to "Zaman Berdebat atau beradu fikiran"
Post a Comment