KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL (BAAGIAN 1)

 1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
 Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur'an 2. Sunnah 3. Ijma' 4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur'an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma' (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur'an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur'an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya ijma' dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur'an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur'an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur'an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur'an bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur'an atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt. berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan akal seperti ijtihad atau ta'wil para ulama yang merupakan jalan bagi terwujudnya ijma' dan qiyas tidak berlaku (meskipun sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur'an) maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai "pendapat manusia" yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi'I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan pola pikir mereka "kasuistik", artinya terlalu tekstual dalam memahami dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur'an atau hadis secara khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka juga mengutarakan dalil khusus untuk "tidak membolehkan" perkara yang yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut "dalil khusus".
Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid'ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid'ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir "dalil umum".
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid'atin dhalalah (setiap bid'ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan "perkara baru", sehingga tidak sah bila kata bid'ah itu diarahkan kepada perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid'ah, tentunya karena pola pikir "kasuistik" atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur'an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid'ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku "Ensiklopedia Bid'ah" karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu'/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari'at atau menetapkan syari'at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta'wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari'at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur'an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur'an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.
Di sinilah pangkalnya, kenapa kaum Salafi & Wahabi selalu mempermasalahkan amalan atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah masalah furu' (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa adanya, sehingga semua urusan dan amalan "berbau agama" dipandang oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip) yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.
Padahal, untuk menentukan hukum sesat, syirik, atau kufur, mereka harus mendatangkan dalil-dalil yang pasti dan secara jelas menyebut demikian. Nyatanya, mereka malah menggunakan dalil-dalil umum. Dalil-dalil larangan bid'ah yang sangat diandalkan oleh kaum Salafi & Wahabi itulah yang akan kita bahas secara tuntas dalam buku/film dakwah ini, agar setiap orang dapat menilainya secara obyektif. Dan bila diklasifikasikan, maka dalil-dalil tersebut dapat kita kategorikan menjadi:
  • Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa'ur Rasyidin)
  • Dalil perintah & larangan
  • Dalil sesatnya setiap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan di dalam agama)
1. Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa'ur Rasyidin)
Kaum Salafi & Wahabi sering mengajukan dalil tentang perintah mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau dalam rangka mengharamkan bid'ah yang mereka tuduhkan. Dalil yang paling jelas adalah hadis Rasulullah Saw. berikut ini:
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِيْ اخْتِلاَفاً شَدِيْدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه)
"Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan mendengar serta taat (kepada pemimpin) meskipun ia seorang budak hitam. Dan kalian akan melihat perselisihan yang sangat setelah aku (tiada nanti), maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa' rasyidin mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk), gigitlah ia dengan gigi geraham (berpegang teguhlah padanya), dan jauhilah perkara-perkara muhdatsat (hal-hal baru dalam agama), sesungguhnya setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Ibnu Majah. Hadis senada diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Di dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Saw. menyebutkan:
... وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةًً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (رواه الترمذي)
"… dan akan terpecah umatku kepada 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan." Mereka (shahabat) bertanya, "siapakah itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu yang aku dan para shahabatku berada di atasnya" (yang mengikuti jalanku dan para shahabatku-red) (HR. Tirmidzi).
Perintah mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para Khulafa'ur-Rasyidin itu tidak disangsikan kebenaran dan keutamaannya. Hanya dengan cara itulah kita dapat menjalani kehidupan dengan selamat di dunia dan di akhirat. Hal itu bukan saja karena Rasulullah Saw. dan para shahabat merupakan figur-figur teladan di dalam ketaatan terhadap agama, tetapi juga karena Allah sendiri telah memberikan mereka keutamaan secara khusus di dalam al-Qur'an.
Kaum Salafi & Wahabi lantas menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai batasan bagi definisi bid'ah, sekaligus sebagai pembatasan sumber rujukan umat dalam memahami agama. Artinya, apa yang tidak pernah dikerjakan atau dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat dalam urusan agama, baik prinsip maupun formatnya, langsung mereka golongkan ke dalam kategori bukan "sunnah/jalan Rasulullah Saw. dan para shahabatnya" alias bid'ah dan kesesatan. Ini tampak jelas dalam definisibid'ah yang mereka buat dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.
Pada perkembangannya, mereka memberikan ruang lebih luas bagi umat Islam untuk mengikuti juga orang-orang yang hidup di masa setelah shahabat, yaitu para tabi'in yang kemudian disebut dengan generasi salaf. Hal ini disimpulkan dari sabda Rasulullah Saw:
خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه البخاري)
"Sebaik-baik umatku adalah pada masaku, kemudian masa orang-orang sesudah mereka, kemudian masa orang-orang sesudah mereka" (HR. Bukhari)
Pada hadis di atas disebutkan 3 masa terbaik (sejak masa Rasulullah sampai + masa 300 H. atau masa tabi'in) dari kehidupan umat Rasulullah Saw. yang kemudian disebut dengan generasi salaf (terdahulu), dan kaum Salafi & Wahabi menjadikan generasi salaf tersebut sebagai sumber rujukan yang mutlak dalam beragama. Itulah mengapa mereka merasa lebih utama dari selain golongan mereka dan dengan bangga menamakan diri dengan "Salafi" (pengikut generasi salaf).
Tidak ada yang salah dengan tekad mereka mengikuti generasi salaf, sepanjang mereka tidak menganggap bahwa setelah masa generasi salaf itu tidak ada lagi kebaikan yang pantas dijadikan teladan atau rujukan bagi umat dalam urusan agama. Permasalahannya bermula saat kaum Salafi & Wahabi seperti membatasi kebenaran dan kebaikan hanya ada pada generasi salaf tersebut (generasi umat Islam yang hidup antara masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in) dan tidak ada lagi setelahnya, lalu mengobarkan semangat kembali kepada ajaran salaf bulat-bulat tanpa melihat mata rantai ulama pewaris mereka yang juga telah menghasilkan kebaikan-kebaikan untuk umat.
Mari kita kembali kepada permasalahan dalil. Pada dalil-dalil tersebut di atas, terdapat isyarat-isyarat yang sepertinya tidak dipahami dengan jelas oleh kaum Salafi & Wahabi, dan hal ini sekaligus menunjukkan kekeliruan-kekeliruan mereka dalam mengambil kesimpulan, yaitu:
1. Khulafa'ur-Rasyidin al-Mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk) sering dimengertikan sebatas 4 khalifah setelah Rasulullah Saw., yaitu: Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., Umar bin Khattab Ra., Utsman bin 'Affan Ra., dan Ali bin Abi Thalib Ra. padahal Rasulullah Saw. tidak menyebutkan demikian kecuali hanya isyarat-isyarat saja. Di dalam riwayat Abu Dawud, Sufyan ats-Tsauri (ulama salaf) menambahkan Umar bin Abdul Aziz ke dalam lingkup khulafa' tersebut sehingga jumlahnya menjadi 5. Ini menunjukkan bahwa pengertian Khulafa'ur-Rasyidin memang tidak ada kepastiannya kecuali hanya merupakan ijtihad dari para ulama karena melihat isyarat dari dalil-dalil yang ada serta karena memperhatikan keutamaan-keutamaan yang ada pada pribadi mereka. Dan itu tidak menutup kemungkinan adanya pengertian lain tentangnya.
Salah satunya adalah seperti yang disebutkan oleh as-Sindi ketika menjelaskan hadis tersebut di dalam Sunan Ibnu Majah,
قيل هم الأربعة وقيل بل هم ومن سار سيرتهم من أئمة الإسلام المجتهدين في الأحكام فإنهم خلفاء الرسول عليه الصلاة والسلام في إعلاء الحق وإحياء الدين وإرشاد الخلق إلى الصراط المستقيم
"Dikatakan mereka itu (khulafa'ur-Rasyidin) adalah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali), dan dikatakan bahkan mereka itu adalah khalifah yang empat dan siapa saja yang menempuh jejak mereka dari para Imam (pemimpin) Islam yang berijtihad (mujtahidin) dalam hal hukum, maka sesungguhnya mereka itu adalah khulafa'ur-Rasul (pengganti Rasulullah Saw.) yang meninggikan kebenaran, menghidupkan agama, dan membimbing umat kepada jalan yang lurus."
Secara obyektif, kita memang tidak melihat pembatasan makna khulafaur-Rasyidin pada dalil-dalil yang ada, dan bahwa kata khalifah (jamak: khulafa') tidak selalu diartikan sebagai pemimpin atau penguasa, tetapi ia secara mendasar dapat diartikan "pengganti" bila dilihat dari asal katanya. Maka, khulafa'ur-Rasyidin al-Mahdiyyin itu tidak hanya 4 khalifah tersebut atau tidak terbatas hanya di tingkat shahabat saja, melainkan dapat berlaku bagi generasi selanjutnya sampai hari kiamat bagi siapa yang memenuhi kriteria rasyidin (lurus) dan mahdiyyin (mendapat petunjuk) sehingga pantas disebut sebagai khalifah (pengganti/penerus) bagi panutan yang sebelumnya.
2. Pengertian kata Sunnah pada hadis-hadis di atas sangat umum , artinya bukan saja menyangkut format/bentuk tertentu dari perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang dikaitkan kepada Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, tetapi juga termasukisyarat, prinsip dasar baik-buruk yang mereka pertimbangkan, dan cara memandang atau menyelesaikan masalah, yang semua itu dapat terus digunakan rumusannya sebagai acuan untuk menetapkan hukum pada perkara-perkara masa depan yang tidak ada format/bentuknya di masa para shahabat tersebut.
Di sinilah terdapat hikmah pada penyebutan sunnatil-khulafa' ar-Rasyidin (sunnah/jalannya para khalifah yang lurus). Sebagaimana disebut di dalam Tuhfatul-Ahwadzi bi Syarhi Jami' at-Tirmidzi, Imam asy-Syaukani menjelaskan:
إذا كان ما عملوا فيه بالرأي هو من سنته لم يبق لقوله "وسنة الخلفاء الراشدين" ثمرة.
Jika apa yang mereka (Khulafa'ur-Rasyidin/para shahabat) lakukan dengan pendapat akalnya (dianggap) itu termasuk sunnah Rasulullah Saw., maka tidak akan tersisa tsamrah (buah/faidah) pada ucapan beliau "sunnah khulafa'ur-Rasyidin" .
Ya, jika para shahabat itu hanya mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Saw., cukuplah itu disebut juga sebagai sunnah Rasulullah Saw. Tentunya penyebutan sunnahkhulafa'ur-Rasyidin secara khusus menunjukkan kondisi mandiri di saat para shahabat tidak menemukan contoh atau dalil dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw., maka mereka berijtihad untuk menentukan hukum sendiri dengan berpegang pada prinsip-prinsip dasar atau isyarat dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw. tersebut. Hasil ijtihad inilah yang secara mandiri disebut sebagai sunnah khulafa'ur-Rasyidin atau sunnah shahabat, dan cara berijtihad yang mereka jalani itu sah dan dapat ditiru oleh orang-orang setelah mereka di saat tidak menemukan contoh atau dalil dari sunnah (hasil ijtihad) para shahabat tersebut.
Otoritas terciptanya sunnah (hasil ijtihad) semacam itu ditunjukkan oleh riwayat hadis Rasulullah Saw. saat melepas kepergian Mu'adz bin Jabal Ra. ke Yaman, di mana beliau bertanya, "Dengan apa engkau menetapkan hukum?" Mu'adz menjawab, "Dengan Kitab Allah (al-Qur'an)." Rasulullah Saw. bertanya, "Bila tidak engkau temukan (di Kitab Allah)?" Mu'adz menjawab, "Dengan Sunnah Rasulullah." Rasulullah Saw. bertanya, "Jika tidak engkau temukan (di Sunnah Rasulullah)?" Mu'adz menjawab, "Aku berijtihad dengan pendapatku." Maka Rasulullah Saw. berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasul-Nya."
Penyebutan suatu amalan atau ketetapan sebagai suatu sunnah juga ditunjukkan oleh hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi "Man sanna fil-Islam sunnatan hasanatan…"(siapa yang menetapkan di dalam Islam suatu sunnah/ketetapan/kebiasaan yang baik …), dan penyebutan sunnah ini tidak terbatas hanya pada amalan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau saja. Terbukti bahwa hadis tersebut juga menyebut adanya sunnah sayyi'ah (sunnah/ketetapan/kebiasaan yang buruk) yang tidak mungkin dialamatkan kepada Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau. Lengkapnya hadis Rasulullah Saw. tersebut berbunyi:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم)
"Barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah sayyi'ah (ketetapan/kebiasaan buruk) maka atas dia dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun" (HR. Muslim)
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا ِلأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ (رواه مسلم)
"Tidaklah dibunuh satu orang secara zhalim, melainkan anak Adam yang pertama (Qabil) mendapat dosa dari (penumpahan) darah orang itu, karena ia adalah orang yang pertama mensunnahkan (membuat/menetapkan) pembunuhan" (HR. Muslim)
Bila kaum Salafi & Wahabi menafsirkan kata "sanna sunnatan hasanatan" di atas dengan makna "menghidupkan sunnah yang baik" dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. yang telah ditinggalkan orang karena melihat asbab wurud (latar belakang dikeluarkannya hadis tersebut) yaitu berkenaan dengan sedekah, maka tafsiran itu sungguh keliru dan sangat menyimpang. Sebab kata "sanna" artinya "membuat, meletakkan, menetapkan", dan untuk makna "menghidupkan" ada kata "ahyaa" yang jelas disebut di dalam riwayat hadis lain.
Kejanggalan tafsiran mereka akan lebih terlihat lagi bila dihubungkan dengan ungkapan "sanna sunnatan sayyi'atan" pada lanjutan hadis tersebut, yang bila diartikan menurut pemahaman mereka "menghidupkan sunnah yang buruk" dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. Dengan begitu kita akan bertanya, apakah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau mengajarkan keburukan yang juga harus ditiru oleh umatnya??!
3. Bila lingkup rujukan agama hanya dibatasi pada generasi salaf saja (dari masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in + 300 H.), lalu para ulama setelah mereka dianggap tidak memiliki otoritas untuk menjelaskan agama atau untuk mengijtihadkan hukum, terutama tentang perkara-perkara yang tidak ada di masa salaf tersebut, maka hal ini berarti pengingkaran dan pendustaan terhadap hadis Rasulullah Saw. tentang akan datangnya ulama mujaddid (pembaharu) yang akan diutus oleh Allah pada setiap akhir masa satu abad (100 tahun). Perhatikanlah hadis Rasulullah Saw. berikut ini:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)
"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka" (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).
Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka.
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. yang bukan hanya dari kalangan shahabat beliau saja atau para ulama salaf saja, tetapi juga para ulama pada tiap-tiap masa yang diakui keluasan ilmunya. Artinya, memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui pemahaman dan penjelasan para ulama tersebut adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus ke dalam kesesatan. Itulah rahasia kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau dan sangat berbeda kualitas keimanannya dibandingkan para shahabat atau para tabi'in. Dan kita yakin, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh wahyu Allah, dan ini bisa dikatakan sebagai salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.
Otoritas penjelasan ulama di setiap generasi dalam berijtihad (di antaranya ijtihad tentang pembagian bid'ah menjadi dua: Hasanah & sayyi'ah) legalitasnya tidak hanya ditunjukkan oleh dalil di atas, bahkan Rasulullah Saw. secara umum menyebut mereka sebagai "Pewaris Para Nabi" sebagaimana sabdanya:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذي وأبو داود وابن ماجه وأحمد وغيرهم)
"Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil (mengupayakan)nya, berarti ia telah mengambil bagian yang sangat banyak" (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Bila ditanyakan, ulama yang manakah yang termasuk kategori mujaddid atau yang pantas mendapat label "pewaris para nabi" itu? Nama-nama para mujaddid dan para ulama yang terkenal seperti berikut ini dapat dikategorikan ke dalam golongan "pewaris para nabi" sebagaimana pengakuan umat terhadap keutamaan mereka, yaitu : Khalifah Umar bin Abdul Aziz (mujaddid abad ke-I), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'I (mujaddid abad ke-II), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abul Hasan Asy'ari, Imam Isfarayini, Imam Rafi'I, Imam abul-'Abbas bin Suraij (Mujaddid abad ke-III), Imam Sahl ash-Sha'luki (mujaddid abad ke-IV), Imam Ghazali (mujaddid abad ke-V), Imam Fakhruddin ar-Razi (mujaddid abad ke-VI), Imam Nawawi (mujaddid abad ke-VII), dan para ulama lain yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa mengikuti Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau secara umum tidak terbatas pada format/bentuk amalan yang mereka lakukan di masa itu saja (kecuali ibadah mahdhah seperti: shalat, puasa, zakat, atau lainnya), tetapi juga pada cara-cara mereka berijtihad, berinovasi, dan berkreasi untuk menetapkan atau menciptakan "sunnah hasanah" (ketetapan/kebiasaan yang baik) yang secara jelas telah diketahui kebaikan dan maslahatnya di dalam pandangan agama.
Berinovasi dan berkreasi dalam kebaikan adalah suatu kebutuhan, terlebih lagi di zaman-zaman belakangan di mana umat Islam sudah semakin rendah kualitas keberagamaannya dan kurang perhatian terhadap ajaran agama. Tentu landasannya bukan karena ingin membikin-bikin syari'at baru, bukan pula untuk menambah-nambah agama, karena batasan-batasan antara perkara pokok atau ibadah di dalam agama dengan amalan kebajikan yang universal adalah jelas, tidak mungkin hal itu diabaikan oleh para ulama. Lagi pula, dalam hal ini mereka tetap mendasarinya dengan dalil-dalil yang secara implisit atau eksplisit mengisyaratkan kebolehannya, bukan dengan dorongan hawa nafsu sebagaimana dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi. Keprihatinan mereka terhadap keadaan umat lah yang membuat mereka perlu melakukan inovasi itu.
Fenomena menganggap baik dan mengamalkan bahkan menganjurkan kegiatan-kegiatan berbau agama seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., zikir berjamaah, tahlilan, ziarah kubur orang shalih, dan lain sebagainya adalah gambaran jelas dari upaya para ulama dalam memelihara kebaikan hidup umat Islam, sekaligus dalam rangka membuka peluang-peluang mendapat rahmat dan hidayah untuk mereka. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, entah sengaja atau tidak sengaja, umat terhitung melakukan kebaikan berupa: Zikir kepada Allah, bershalawat kepada Rasulullah Saw., silaturrahmi, mendengarkan nasihat dari ulama, dan berbagi rezeki antar sesama, dan kebaikan-kebaikan ini jelas ada dalilnya di dalam agama.
Luar biasanya, para ulama yang tawadhu' itu hanya menyebut kegiatan-kegiatan tersebut sebagai bid'ah hasanah, padahal Rasulullah Saw. jelas-jelas menyebut kebiasaan baik yang semacam itu sebagai sunnah hasanah. Mengapa demikian? Kemungkinan alasannya adalah agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalam pengertian sunnah; satu sisi (sebagaimana telah ditetapkan definisi khususnya oleh para ulama hadis) sunnah sebagai peninggalan Rasulullah Saw. berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat; sisi lain (sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama Fiqh) sunnah sebagai hukum amalan ibadah yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa; satu sisi lagi (sebagaimana pengertian hadis di atas) sunnah sebagai ketetapan atau jalan yang menjadi contoh atau kebiasaan yang ditiru orang lain.
Jadi, apa saja yang oleh para ulama dikategorikan sebagai bid'ah hasanah sebenarnya adalah sunnah hasanah. Menolak adanya kategori bid'ah hasanah berarti juga secara tidak langsung menolak adanya kategori sunnah hasanah. Pada poin ini, kaum salafi & wahabi (dengan pandangan mereka membatasi kebaikan & kebenaran agama hanya ada pada generasi ulama salaf, dan dengan sikap penolakan mereka terhadap adanya bid'ah hasanah) bisa dianggap telah mencampakkan dua hadis Rasulullah Saw. (entah karena tidak mengerti atau karena tidak sengaja), yaitu: Hadis mengenai akan datangnya ulama mujaddid pada akhir setiap masa seratus tahun, dan hadis tentang adanya sunnah hasanah yang tidak terbatas pada Rasulullah Saw. dan para shahabat saja.

0 Response to "KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL (BAAGIAN 1)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel