Tradisi Islam Jawa
Tuesday, December 27, 2011
Add Comment
Membincang konsep Islam vis a vis tradisi dalam disiplin antropologi terbagi menjadi dua bagian yang sering disebut dengan “tradisi besar” (grand tradition) dengan tradisi kecil (little tradition). Konsep ini dikenalkan oleh Jacques Duchesne Guillemin yang menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal. Pertautan dialektis yang kreatif antara nilai universal dari agama dengan budaya lokal telah menghadirkan corak ajaran Islam dalam kesatuan spiritual dengan corak budaya yang ragam (unity and diversity).
Melakukan pembacaan terhadap Islam di Indonesia dengan menggunakan kerangka pemahaman seperti di atas, tidak saja akan menemukan keterkaitan historis dengan realitas kesejarahan Islam, tetapi juga akan menemukan satu sisi penting dari awal proses transformasi intelektual Islam yang bertolak dari nilai-nilai universalisme Islam yang dikategorikan sebagai tradisi besar dengan tata nilai dalam setting kultural dan struktural tertentu yang sudah terpola sebelumnya.
Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan, di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil.
Menurut Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem sosial berupa tingkah-laku dan tindakan. Adapun komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian. Islam:Lokal dan Universal
Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik” yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.
Menurut Akbar S Ahmed, agama termasuk Islam harus dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim, dan Freud. Oleh karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologis Islam mulai meneliti originalitas konsep-konsep al-Qur’an.
Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental) dan dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sarat dengan muatan-muatan yang bernafaskan Islam walaupun bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.
IV. Pelembagaan Mistik Islam dalam Budaya Jawa
Ciri yang menonjol dari struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa pada masa Hindu-Budha adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif.
Dalam masyarakat Jawa pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan, ruh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini fungsi ruh nenek moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘ponakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut sebagai ‘religion magic’ dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyrakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa.
Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib di pandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak saja untuk berbakti kepada dewa saja ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.
Sejak awal budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa menjadi salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan:
“Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada zaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.”
Penanaman watak teokratis dan watak supremasi raja kepada rakyatnya melalui media hiburan rakyat, yaitu pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan sebagai tatakrama feodal yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu (tembang) merdu beserta gamelannya. Dalam cerita wayang juga disodorkan pula konsep Binathara dengan segala kesaktiannya dan pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis.
Pada konteks perkembangan budaya istana atau keraton, kebudayaan ini dikembangkan melalui “abdi dalem” atau pegawai istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Raja mempunyai kepentingan-kepentingan mencipatakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka ciptakan berupa mitos-mitos yang kemudian mitos tersebut dihimpun dalam “babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam menciptkan mitos adalah menciptakan budaya simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja.9
V. Walisongo dan Pembentukan Misitisisme Islam Jawa
Diskursus sejarah masuknya Islam di Jawa dan cara penyebarannya menurut pendapat yang paling dominan mengatakan bahwa Islam disebarkan melalui perdagangan seperti diungkapkan oleh sejarawan asal Belanda Wertheim dan Pijnapel. Namun demikian, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Islam tersebar di Jawa dilakukan oleh para dai sufi dari wilayah Bengal sebagaimana dinyatakan oleh Fatimi, John, dan Tjandrasasmita. Faktor keberhasilan dai sufi dalam berdakwah adalah kemampuan dai sufi untuk mengakomodasi ‘keyakinan lokal’ yang kemudian mewujud dalam berbagai kemasan ritual Islam. Untuk menguji teori ini, Jhon melakukan studi literature lokal yang memiliki keterkaitan dengan para pengembara sufi yang diyakini oleh penduduk lokal Nusantara pada zaman pra-Islam.
Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan ‘zaman kewalen” (zaman wali).
Perkembangan Islam di luar Jawa relatif lebih cepat penyebarannya karena tidak banyak berhadapan dengan budaya-budaya lain, kecuali budaya Hindu-Budha. Di Jawa Islam menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas.
Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren.
Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi sosial (kasta) dalam agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. Oleh karena itu, datangnya Islam membawa pengaharapan kepada mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur sosial yang tidak menguntungkan mereka. Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai kekuatan oposisi (counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha.
Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam Demak, maka dimulailah Islam sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga, berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai zaman peralihan dari zaman “kabudhan” (tradisi Hindu-Budha) ke zaman “kawalen” (wali). Pearlihan ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung zaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan bentuk peralihan yang berupa ‘sinkretisme” antara warisan budaya animisme-dinamisme dan unsur-unsur Islam.
Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dengan dua pendekatan yang nonkompromis dan kompromis. Pendekatan nonkompromis adalah dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan ajaran Islam. Pendekatan kompromis (akomodatif) adalah pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing (cultural approach). Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan kompromistik mengingat latarbelakang sosiologis masyarakat Jawa yang lengket tradisi nenek moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit. Para wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun tradisi/budaya baru melalui pesantren sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu yang semakin lama semakin surut dan akhirnya runtuh.
Pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa dapat kita temukan wujud nyatanya pada gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik Islam. Dalam silsilah geneologis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim sebagai keturunan dewa, tetapi akar geneologis teratas dilukiskan dalam konsep nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo inilah yang melahirkan nabi Adam dan dewa-dewa sebagai kakek moyang raja-raja Jawa. Istilah nur-roso dan nur-cahyo walaupun konotasinya bersifat jawa, namun substansinya mengajarkan kepada konsep nur-Muhammad.
Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada akhirnya melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (sejarah tanah jawa) sebagai berikut.
Inilah sejarah kerajaan tanah jawa, mulai dengan nabi Adam yang berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-rasa, nur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru di sebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu).
Dari kutipan naskah babad tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masayarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami.
Pementasan wayang sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai takdir.
Dilihat dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai menjadi dua, yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatanya pada ajaran-ajaran agama. Sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di jawa Tengah bagian selatan, misalnya, pergulatan santri dan abangan justru didominasi oleh kelompok abangan. Secara budaya, Clifford Geertz membagi struktur masyarakat Jawa menjadi tiga bagian, yaitu masyarakat abangan, priyayi, dan santri. Klasifikasi masyarakat Jawa ini merupakan hasil penelitian dia di daerah Mojokuto Jawa Timur. Dalam hal ini dia berkata:
Kaum abangan adalah kelompok yang menitikbertkan segi-segi sinkritisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk. Kelompok santri mewakili sikap yang menitikberatkan segi-segi Islam dalam sinkritisme, pada umumnya berhubungan dengan kaum pedagang dan petani. Sedangkan kelompok priyayi adalah sikap yang menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.
Setelah kerajaan Hindu Jawa Majapahit kehilangan kekuasaannya pada seperempat abad kelimabelas, pada zaman ini pula menandai berkuasanya sejumlah tokoh-tokoh muslim di bidang politik, khususnya di kota-kota pantai utara seperti Ampel (Surabaya), Gresik, Tuban, Demak, Jepara, dan Cirebon. Mereka adalah pemimpin pertama “religius politik” Jawa Islam. Para tokoh agama/wali dalam proses dakwahnya melalui proses pembauran dengan keluarga istana melalui perkawinan atau keturunan.
Karakteristik yang menonjol dari budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkret. Oleh karena yang ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tidak jelas karena pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu, tampilan keagamaan yang tampak di permukaan adalah pemahaman keagamaan yang bercorak mistik.
Dengan demikian, kedatangan Islam selalu mendatangkan perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Sunan Kalijogo, misalnya, dalam melakukan islamisasi tanah Jawa beliau menggunakan pendekatan budaya, yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan Majapahit. Melalui seni pewayangan ia berusaha menggunakan unsur-unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon/materi juga bentuk fisik dari alat-alatnya. Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam Jawa dilakukan oleh Walisongo, yaitu para wali yang berjumlah sembilan orang, yaitu (1) Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), (2) Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, (3) Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim, (4) Sunan Drajat, (5) Sunan Giri atau Raden Paku yang mengarang nyayian Asmarandana, (6) Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq, (7) Sunan Muria atau Raden Prawoto yang menggubah lagu-lagu jawa seperti Sinom atau Kinanthi, (8) Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatulah, dan (9) Sunan Kalijaga atau Raden Syahid. Mulai saat itulah, ada proses transformasi dari zaman Hindu-Budha berpindah menjadi zaman para wali (zaman kewalen).
Nama Walisanga (Walisongo) menurut Prof. Adnan bahwa kata sanga berasal dari perubahan dari kekeliruan dalam melapalkan kata sana yang berasal dari kata tsana yang searti dengan mahmud (terpuji). Dalam sejarahnya, walisongo merupakan tokoh sentral dalam penyebaran Islam di Jawa. Adapun nama-nama Walisongo tersebut adalah (1) Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), (2) Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, (3) Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim, (4). Sunan Drajat, (5). Sunan Giri atau Raden Paku yang mengarang nyayian Asmarandana, (6) Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq, (7) Sunan Muria atau Raden Prawoto yang menggubah lagu-lagu jawa seperti Sinom atau Kinanthi, (8) Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatulah, dan (9) Sunan Kalijaga atau Raden Syahid. Menurutnya yang betul adalah wali sana yang berarti wali-wali yang terpuji. Adapun siasat atau strategi dakwah para wali dalam rangka mengIslamkan orang Jawa adalah dengan mengisi segala cabang/aspek kehidupan dengan muatan-muatan ajaran Islam dengan tanpa ada paksaan.
VI. Karakteristik Islam Kejawen
Kejawen merupakan campuran (sinkretisme) kebudayaan Jawa dengan agama pendatang; Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Di antara percampuran tersebut yang paling dominan adalah dengan agama Islam. Menurut Soesilo Faham, Kejawen (sinkretisme) adalah percampuran agama Hindu-Budha-Islam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam putihan (santri) dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam Kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek syari’at dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.
Dalam diskursus akademik, di kalangan para peneliti istilah Kejawen ada yang menyebut dengan istilah aliran kepercayaan. Pada saat yang lain, Koentjaraningrat menyebut aliran Islam Kejawen dengan istilah Islam Jawi. Istilah agama Jawi sesungguhnya merupakan istilah yang diderivasi dari penggolongan masyarakat Jawa secara sosial agama yang digagas oleh Clifford Geertz dengan tiga varian, yaitu Islam abangan, priyayi, dan santri. Pengembangan konseptual dari gagasan di atas menurut Koentjaraningrat mendefinisikan Islam Jawi atas Islam Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung kearah mistik yang bercampur menjadi satu dan diakui sebagai sama dengan agama Islam. Komunitas Islam Kejawen dan santri terdapat dalam berbagai lapisan masyarakat di Jawa.
Adapun mengenai sitem keyakinan Islam Jawi atau Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainya, yaitu percaya pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan pada saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, mahluk halus dan roh-roh dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan orang kejawen ini lebih banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.26
Mistik merupakan salah satu bentuk dari hasil proses pembentukan kebudayaan religi di Jawa. Ketika Islam kultural dari tradisi besar pesantren bersentuhan dengan kebudayaan religi Jawa, maka terjadilah interaksi tarik ulur antara keduanya. Hasilnya adalah munculnya mistik baru yang belakangan disebut “mistik Islam Kejawen”. Sebagaimana diakui oleh para pengamat budaya Jawa bahwa daya resepsi (penerimaan) masyarakat pengembang budaya Jawa sangat lentur, yaitu budaya yang terbuka untuk menerima budaya luar tanpa kehilangan jati diri kebudayaan Jawa.
Dalam tradisi kepercayaan orang kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan dengan silsilah yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh karena itu, kalangan masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak terbiasa menulis secara cermat, tetapi hanya budaya lisan sehingga sering kali apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan saja. Lalu yang paling menonjol adalah memitoskan tokoh leluhur itu.
Dalam sistem keyakinan kejawen klasik, apa yang disebut leluhur itu adalah orang yang memiliki sifat-sifat luhur pada masa hidupnya dan setelah meninggal mereka itu selalu dihubungi oleh orang-orang yang masih hidup dengan upacara adat tertentu. Eksistensi leluhur dalam masyarakat kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang dekat dengan Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani. Kehidupan orang Jawa bergerak antara kutub-kutub kasar dan kehalusan untuk menciptakan keunggulan moral. Pemakaian bahasa Jawa dan tingkah-laku yang menyertainya jelas sekali mengekspresikan hal itu. Tidak mungkin berbicara dengan bahasa Jawa tanpa memperhatikan posisi orang yang diajak bicara. Pilihan kata mencerminkan keakraban, kedudukan, dan formalitas, usia, jarak sosial, dan peringkat berikut dengan nuansa pengharapan relatif. Kewajiban dan hak. Bahasa dan tindak tanduk digunakan untuk mengekspresikan penghormatan dan penghargaan bagi yang berhak mendapatkannya. Dengan demikian, penghormatan terhadap hirarki merupakan perilaku moral. Pola komunikasi dalam interaksi sosial dalam komunitas Jawa betul-betul menggambarkan relasi moral dengan menempatkan bahasa komunikasi sesuai dengan martabat dan keluhuran tokoh yang dihormatinya.
Konsep agama Jawa mengenai Tuhan Yang Maha Esa sangat mendalam dan dituangkan dalam istilah sebutan Gusti Allah ingkang Maha Kuwaos. Konsep tentang Tuhan bagi masyarakat kejawen sangat sederhana, yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta. Oleh karena itu, Tuhan adalah penyebab dari segala kehidupan, dunia, dan seluruh alam semesta (ngalam donya), dan hanya ada satu Tuhan (ingkang Maha Esa).
Sumber yang paling utama terkait dengan konsep Tuhan pada orang kejawen adalah buku Nawaruci yang ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Bali-Jawa, dalam bentuk prosa. Dalam buku itu Tuhan dilambangkan sebagai mahluk yang sangat kecil dan ia dapat melihat seluruh alam jagad raya. Menurut konsep agama orang kejawen bahwa Tuhan adalah keseluruhan dalam alam dunia ini yang dilambangkan dengan wujud suatu mahluk dewa yang sangat kecil sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati sanubari, tetapi Tuhan juga sekaligus besar dan luas seperti samudra dan tidak seperti angkasa dan terdiri dari semua warna di dunia.
Di samping percaya akan adanya Tuhan ingkang maha kuwaos, juga memandang Nabi Muhammad sebagai orang yang sangat dekat dengan Allah. Dalam hampir setiap ritus dan apacara pada waktu selametan. memberi sajian di samping menyebut nama Allah juga menyebut Nabi Muhammad “kanjeng Nabi ingkang sumare ing siti medinah”. Namun untuk selanjutnya Nabi Muhammad kurang mendapat perhatian dalam sistem kayakinan agama jawi.29
Keyakinan lain yang kemudian berkembang dan diyakini sebagai bagian dari sistem keyakinan terpendam mengenai adanya seorang ratu adil yang akan tiba membawa keadilan dan keteraturan di dunia ini. Konsep ini lahir dari suatu sinkretisme konsep agama Buddha mengenai empat periode perkembangan alam semesta (catur yoga) dengan harapan akan datangnya imam mahdi pada hari kiamat. Ajaran mengenai ratu adil ini biasa dijumpai pada karangan tiga orang tokoh mistik, Kiai Hasan Maulani dari Lengkeng (Cirebon), Mas Malangyuda dari Rajawan Kidul (Banyumas), dan Kiai Nurhakim dari Pasirwetan (Purwokerto) yang telah menyebarkan datangnya ratu adil serta buku-buku primbon yang mereka gunakan untuk menyebarkan ajaran-ajaran mereka di tiga daerah di Jawa Tengah bagian barat itu.
Hal lain yang juga penting dalam keyakinan Islam Jawa adalah adanya kepercayaan terhadap para dewa yang jumlahnya banyak sekali dan biasanya muncul dalam pentas cerita wayang yang berfungsi memberi pesan pendidikan dan moral. Dari sekian dewa, terdapat dua dewa yang memainkan peranan penting dalam kehidupan keagmaan orang Jawa, yaitu Dewi Kesuburan yang mereka sebut dengan Dewi Sri yang penting dalam upacara pertanian. Dewa kedua adalah Dewa Bathara Kala, yaitu dewa waktu, kerusakan, dan kematian yang juga penting dalam acara ruwat untuk menjauhkan diri dari malapetaka dan kesengsaraan hidup.
Berbagai aktivitas ritual yang selalu dijalani Islam kejawen biasanya mendasarkan pada siklus kehidupan. Sejak dari kandungan, ritual selametan sudah dimulai dengan acara yang sering disebut dengan Tingkeban saat kandungan berumur tujuh bulan yang juga terkenal dengan selametan mitoni. Kemudian selametan puput puser, kemudian upacara memberi nama dilanjutkan selametan kekah, kemudian selametan tedhak siten atau upacara menyentuh tanah, kemudian upacara sunatan atau sering disebut upacara ngIslamaken (masuk Islam). Setelah itu, diikuti dengan upacara kematian yang pelaksanaanya pada hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh, keseratus, dan keseribu hari dari kematianya. Di samping itu, terdapat upacara tahunan seperti muludan, rejeban, nisfu sya’ban, yaitu selamatan barakah sampai larut malam, upacara nyadran, yaitu pada akhir bulan ruwah. Ekspresi-ekspresi ritual dalam praktik sekarang ini juga tampak ada nuansa yang dapat dilihat, yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan budaya lokal. Contoh yang paling menonjol dan sampai sekarang masih menjadi polemik umat Islam adalah upacara peringatan untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dunia, yaitu pada hari ke-3, 7, 40, 100, dan 1000 dari kematiannya. Acara ritual ini dalam tradisi sekarang di sebut selamatan» sebuah kata yang diderivasi dari bahasa Arab yaitu Islam, salam» dan salamah yang berarti memohon keselamatan dan kedamaian. Upacara ini juga sering dikaitkan dengan istilah tahlilan» atau tahlil» yaitu membaca kalimat Thayyibah ”La ilaha illa Allah” secara bersama-sama sebagai cara efektif untuk menanamkan jiwa tauhid.
Di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi Islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan. Contoh dari simbol ini adalah bentuk arsitektur bangunan masjid masih berbentuk pure atau candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah ‘gapura’ nama yang diambil dari bahasa Arab ghofura yang berarti pengampunan. Di samping itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan jimat kalimosodo (dua kalimat syahadat) yang dijadikan pusaka kerajaan. Istilah jimat merupakan pemikiran pujangga Jawa dalam memberikan legalitas syahadat pada pewayangan yang jelas-jelas menjadi inti dari budaya keraton.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis yang merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal Jawa. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
VII. Kesimpulan
Salah satu ciri yang menonjol dari struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa pada masa Hindu-Budha didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Dalam masyarakat Jawa pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam tradisi ritual ini fungsi ruh nenek moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup.
Karakteristik yang menonjol dari budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkrit. Oleh karena yang ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tidak jelas karena pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu, tampilan keagamaan yang tampak di permukaan adalah pemahaman keagamaan yang bercorak mistik.
Akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya Jawa tampak terlihat jelas dengan mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masayarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa Islami.
Pementasan wayang sebagai instrumen budaya yang penuh dengan nuansa mistik, sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai takdir.
Dilihat dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai menjadi dua yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatannya pada ajaran-ajaran agama, sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di Jawa Tengah bagian selatan, misalnya, pergulatan santri dan abangan justru didominasi oleh kelompok abangan.
Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik” yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.
Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental) dan dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sarat dengan muatan-muatan yang bernafaskan Islam walaupun bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.
VII. Endnote
1 Syamsul Arifin dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta : SIPRESS, 1996) hal. 50-51. Dalam konsep lain untuk sekadar membandingkan dengan grand tradition dan little tradition menurut hemat kami mendekati konsep normativitas dan historisitas agama yang digagas oleh Amin Abdullah. Normativitas merupakan dimensi universalisme agama yang sakral dan konstan sementara historisitas adalah dimensi partikularisme yang profan dan dinamis.
2 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996), hal. 160.
3 M. Sirozi, “Pergumulan Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropologi,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4 / 1992, hal. 15.
6Koentjarajakti, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: UI Press, 1992), hal. 69.
8Ongkhoham, Rakyat dan Negara (Jakarta: Yayasan Obor, TT), hal. 10.
9 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 230.
14 Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, TT), hal. 63-64.
15 Babad tanah Djawi dikenal sebagai kronik sejarah dan sastra Jawa, sebuah karya yang diciptakan pada masa kerajaan Mataram pada awal abad ke-17. Para pujangga keraton Sultan Agung menciptakan Babab tanah Djawi dimaksudkan untuk menggantikan kisah-kisah sejarah Jawa lama.
16 Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan Jawa (Jakarta: INIS, 1997), hal. 20-21 Simuh, Sufisme, hal. 121.
18 Ibid.
19 Kuntowijoyo, Paradigma, hal. 231.
20 W.L Olthoff, Edisi Babad Tanah Djawi, hal. 7.
21 P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hal. 285.
22 Clifford Geertz, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta: INIS Jakarta, 1988), hal. 2.
24 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Bandung: Mizan, 1992), hal. 550.
25 Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri & Abangan (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hal. 41-43.
26 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, Perpaduanya dengan Islam (Yogyakarta: Adtya Media, 1995), hal. 288-297.
27 M.B. Rohimsyah. AR, Siti Jenar Cikal Bakal Gaham Kejawen Pergumulan Tasawuf Versi Jawa (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006), hal. 163.
26 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) hal.113-119.
27 Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa (Yogyakarta: LESFI, 2002) hal. 57-59.
28 Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, Terj. Noor Cholis (Yogyakarta: LKiS, 2007), hal. 100-101.
29 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal. 324.
30 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal. 340-367.
Daftar Pustaka
Arifin, Syamsul Arifin dkk. 1996. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SIPRESS.
Damami, Muhammad. 2003. Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI.
Geertz, Clifford. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.
Koentjarajakti. 1992. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kuntowijoyo. 1996. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
M. Sirozi. 1992. “Pergumulan Pemikiran dan Agenda Masa Depan Islamisasi Antropologi,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4 / 1992.
M.B. Rohimsyah. AR. 2006. Siti Jenar Cikal Bakal Gaham Kejawen Pergumulan Tasawuf Versi Jawa. Surabaya: Pustaka Agung Harapan.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Bandung: Mizan.
Muchtarom, Zaini. 1997. Santri dan Abangan Jawa. Jakarta: INIS.
. 2002. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri & Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah.
Mulder, Niels. 2007. Mistisisme Jawa Idiologi di Indonesia. Terj. Noor Cholis. Yogyakarta: LKiS.
Ongkhoham. TT. Rakyat dan Negara. Jakarta: Yayasan Obor.
P.J. Zoetmulder. 1990. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Patokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa, Perpaduanya Dengan Islam. Yogyakarta: Adtya Media.
Simuh. 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS.
Sumber Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 91-109 1 P3M STAIN Purwokerto | Ridwan Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen tetap Jurusan Hukum Islam (Syari’ah) STAIN Purwokerto. Bukunya yang cukup popular adalah: Membongkar Fiqh Negara (Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto & Unggun Religi, 2005).
0 Response to "Tradisi Islam Jawa"
Post a Comment