BAGIAN KEDUAPULUH TIGA: EKSPEDISI MU'TA
Wednesday, July 6, 2011
Add Comment
Muhammad Husain Haekal
Perhatian Muhammad ke Syam - Mengerahkan 3000 orang -
Panglimanya Zaid b. Haritha - Ja'far b. Abi Talib -
Abdullah b. Rawaha - Pasukan Rumawi - Dua pasukan
bertemu di Mu'ta - Tiga orang Panglima gugur
berturut-turut - Pimpinan di tangan Khalid b. Walid -
Suatu muslihat dan penarikan mundur.
MUHAMMAD belum merasa perlu: tergesa-gesa membebaskan Mekah.
Dia mengetahui sekali, bahwa soalnya hanya tinggal soal waktu
saja. Perjanjian Hudaibiya baru setahun berjalan. Juga bukan
maksudnya akan mengadakan pelanggaran. Muhammad orang yang
sangat setia tiada sebuah kata yang pernah diucapkan atau
perjanjian yang pernah dibuat, akan dilanggarnya. Oleh karena
itu tatkala ia kembali ke Medinah selama beberapa bulan tidak
terjadi bentrokkan-bentrokan, kecuali kecil-kecilan saja,
seperti pengiriman 50 orang kepada Banu Sulaim dengan tugas
dakwah mengajak mereka menganut Islam, yang kemudian dibunuh
oleh Banu Sulaim secara gelap dan dengan tidak semena-mena,
sehingga pemimpinnya yang berhasil lolos hanya karena
kebetulan saja. Begitu juga Banu Laith dan Zafar yang telah
menyerang dan merampas mereka itu. Sama pula dengan hukuman
yang telah dijatuhkan kepada Banu Murra karena pengkhianatan
mereka itu tadinya. Demikian juga adanya limabelas orang yang
telah dikirim ke Dhat't-Talh di perbatasan Syam dengan tugas
dakwah mengajak mereka mengikut Islam, dibalas dengan
pembunuhan juga, sehingga tak ada yang selamat kecuali
pemimpinnya.
Memang perhatian Nabi tertuju ke wilayah Syam dan
bagian-bagian utara ini, yaitu setelah di bagian selatan
diadakan perjanjian keamanan dengan pihak Quraisy dan setelah
penguasa di Yaman bersedia menerima seruannya. Jalur
penyebaran dakwah Islam yang pertama setelah keluar dari
semenanjung Arab sudah dibayangkannya. Dilihatnya bahwa Syam
dan daerah-daerah di dekatnya itu merupakan pintu pertama
jalur dakwah itu. Oleh karena itu beberapa bulan kemudian
sekembalinya dari umrah ia telah mengerahkan tiga ribu orang
yang kemudian di Mu'ta berhadapan dengan seratus ribu orang
pasukan lawan.
Ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat mengenai
sebab-musabab terjadinya ekspedisi Mu'ta itu. Sebagian
mengatakan bahwa dibunuhnya sahabat Nabi di Dhat't-Talh itulah
yang menyebabkan adanya penyerbuan sebagai hukuman atas mereka
yang telah berkhianat itu, yang lain berpendapat bahwa ketika
Nabi mengirim seorang utusan kepada gubernur Heraklius di
Bushra (Bostra), utusan itu dibunuh oleh orang badwi, dari
Ghassan, atas nama Heraklius. Lalu Muhammad mengirimkan mereka
yang sedang berperang di Mu'ta supaya memberi hukuman kepada
penguasa itu dan siapa saja yang membantunya.
Kalau Perjanjian Hudaibiya merupakan pendahuluan
'umrat'l-qadza', lalu pembebasan Mekah, maka ekspedisi Mu'ta
ini juga merupakan pendahuluan Tabuk; dan setelah Nabi wafat
kemudian terjadi pembebasan Syam. Soalnya akan sama saja; yang
menimbulkan ekspedisi Mu'ta itu karena dibunuhnya utusan Nabi
kepada penguasa Bushra, atau karena lima belas orang
sahabatnya yang juga dibunuh di Dhat't-Talh.
Dalam bulan Jumadilawal tahun kedelapan Hijrah [tahun 629 M.]
Nabi 'a.s. memanggil tiga ribu orang pilihan, dari
sahabat-sahabatnya, dengan menyerahkan pimpinannya kepada Zaid
b. Haritha dengan mengatakan:
"Kalau Zaid gugur, maka Ja'far b. Abi Thalib yang memegang
pimpinan, dan kalau Ja'far gugur, maka Abdullah b. Rawaha yang
memegang pimpinan.
Ketika pasukan tentera ini berangkat Khalid bin'l-Walid secara
sukarela juga ikut menggabungkan diri. Dengan keikhlasan dan
kesanggupannya dalam perang hendak memperlihatkan itikad
baiknya sebagai orang Islam. Masyarakat ramai mengucapkan
selamat jalan kepada komandan-komandan beserta pasukannya itu,
dan Muhammad juga turut mengantarkan mereka sampai ke luar
kota, dengan memberikan pesan kepada mereka: Jangan membunuh
wanita, bayi, orang-orang buta atau anak-anak, jangan
menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon-pohon. Nabi
'a.s. mendoakan dan kaum Muslimin juga turut mendoakan dengan
berkata: Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga
kembali dengan selamat.
Komandan pasukan itu semua merencanakan hendak menyergap pihak
Syam secara tiba-tiba, seperti yang biasa dilakukan dalam
ekspedisi-ekspedisi yang sudah-sudah. Dengan demikian
kemenangan akan diperoleh lebih cepat dan kembali dengan
membawa kemenangan. Mereka berangkat sampai di Ma'an di
bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui apa yang akan mereka
hadapi di sana.
Akan tetapi berita keberangkatan mereka sudah lebih dulu
sampai. Syurahbil penguasa Heraklius di Syam sudah
mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah yang ada di sekitarnya.
Pasukan tentara yang terdiri dari orang-orang Yunani dan
orang-orang Arab sebagai bantuan dari Heraklius didatangkan
pula. Beberapa keterangan menyebutkan, bahwa Heraklius
sendirilah yang tampil memimpin pasukannya itu sampai
bermarkas di Ma'ab di bilangan Balqa', terdiri dan seratus
ribu orang Rumawi, ditambah dengan seratus ribu lagi dari
Lakhm, Judham, Qain, Bahra' dan Bali. Dikatakan juga bahwa
Theodore saudara Heraklius itulah yang memimpin pasukan, bukan
Heraklius sendiri.
Ketika pihak Muslimin berada di Ma'an, adanya
kelompok-kelompok itu mereka ketahui. Dua malam mereka berada
di tempat itu sambil melihat-lihat apa yang harus mereka
lakukan berhadapan dengan jumlah yang begitu besar. Salah
seorang dari mereka ada yang berkata: Kita menulis surat
kepada Rasulullah s.a.w. dengan memberitahukan jumlah pasukan
musuh. Kita bisa diberi bala bantuan, atau kita mendapat
perintah lain dan kita maju terus. Saran ini hampir saja
diterima oleh suara terbanyak kalau tidak Abdullah ibn Rawaha,
yang dikenal kesatria dan juga penyair, berkata:
"Saudara-saudara, apa yang tidak kita sukai, justeru itu yang
kita cari sekarang ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi
musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan,
juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita
memerangi mereka hanyalah karena agama juga, yang dengan itu
Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita
maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini: menang
atau mati syahid."
Rasa bangga dari penyair pemberani ini segera pula menular
kepada anggota-anggota tentara yang lain. Mereka berkata: Ibn
Rawaha memang benar!
Mereka lalu maju terus. Ketika sudah sampai di perbatasan
Balqa', di sebuah desa bernama Masyarif, mereka bertemu dengan
pasukan Heraklius, yang terdiri dari orang-orang Rumawi dan
Arab. Bilamana posisi musuh sudah dekat pihak Muslimin segera
mengelak ke Mu'ta, yang dilihatnya sebagai kubu pertahanan
akan lebih baik daripada Masyarif. Di Mu'ta inilah pertempuran
sengit - antara seratus atau duaratus ribu tentara Heraklius
dengan tiga ribu tentara Muslimin - mulai berkobar.
Alangkah agungnya iman, alangkah kuatnya! Bendera Nabi dibawa
oleh Zaid b. Haritha dan dia terus maju ke tengah-tengah
musuh. Ia yakin bahwa kematiannya itu takkan dapat dielakkan.
Tetapi mati disini berarti syahid di jalan Allah. Selain
kemenangan, hanya ada satu pilihan, yaitu mati syahid. Dan
disinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya hancur
luluh ia oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya disambut
oleh Ja'far b. Abi Thalib dari tangannya. Ketika itu usianya
baru tigapuluh tiga tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan
dan berani, Ja'far terus bertempur dengan membawa bendera itu.
Bilamana kudanya oleh musuh dikepung, diterobosnya kuda itu
dan ditetaknya, dan dia sendiri terjun ke tengah-tengah musuh,
menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang
kena.
Bendera waktu itu dipegang di tangan kanan Ja'far; ketika
tangan ini terputus, dipegangnya dengan tangan kirinya; dan
bila tangan kiri ini pun terputus, dipeluknya bendera itu
dengan kedua pangkal lengannya sampai ia tewas. Konon katanya
yang menghantamnya orang dari Rumawi dengan sekaligus hingga
ia terbelah dua.
Setelah Ja'far tewas bendera diambil oleh Abdullah ibn Rawaha.
Dia maju dengan kudanya membawa bendera itu. Sementara itu
terpikir olehnya akan turun saja. Ia nmasih agak ragu-ragu.
Kemudian katanya:
O diriku, bersumpah aku
Akan turun engkau, akan turun
Atau masih terpaksa juga
Jika orang sudah berperang
dan genderang sudah berkumandang
Kenapa kulihat kau masih membenci surga?
Kemudian diambilnya pedangnya dan dia maju terus bertempur
sampai akhirnya dia pun tewas juga.
Mereka itulah Zaid, Ja'far dan Ibn Rawaha. Mereka bertiga
telah mati syahid di jalan Allah, dalam satu peristiwa. Tetapi
setelah berita ini diketahui oleh Nabi, ia sangat terharu
sekali, terutama terhadap Zaid dan Ja'far. Lalu katanya :
Mereka telah diangkat kepadaku di surga - seperti mimpi orang
yang sedang tidur - diatas ranjang emas. Lalu saya lihat
ranjang Abdullah b. Rawaha agak miring daripada ranjang kedua
temannya itu. Lalu ditanya: Kenapa begitu? Dijawabnya: Yang
dua orang terus maju, tapi Abdullah agak ragu-ragu. Kemudian
terus maju juga.
Orang sudah melihat teladan dan nasehat yang baik ini! Tidak
lain ini artinya, bahwa seorang mukmin tidak boleh ragu-ragu
atau takut mati di jalan Allah. Bahkan sebaliknya, setiap ia
menghadapi sesuatu persoalan ia harus yakin bahwa itu untuk
Tuhan dan tanah-air, ia harus menggenggam hidupnya di tangan,
siap dilemparkan ke muka siapa saja yang akan merintanginya
dari jalan itu. Salah satu: dia menang dan berhasil mencapai
kebenaran Tuhan dan tanah-air, seperti yang sudah menjadi
keyakinannya, atau ia gugur sebagai syahid. Ini adalah suatu
teladan yang hidup bagi angkatan kemudian, dan suatu kenangan
abadi buat jiwa besar yang bisa mengerti, bahwa harga hidup
itu ialah hidup yang dikurbankan untuk tujuan cita-citanya;
bahwa mempertahankan hidup dalam hina seperti menyia-nyiakan
hidup. Orang semacam itu tidak perlu lagi nanti dikenang dalam
hidup kita. Ada orang yang menerjunkan diri ke dalam bahaya
bila terasa hidupnya terancam demikian rupa sehingga ia pun
menjadi kurban tujuan yang tidak berharga. Begitu juga ia
berarti mengorbankan diri jika ia masih mempertahankan
hidupnya padahal oleh Tuhan Yang Maha Kuasa ia diminta supaya
hidupnya dilemparkan ke muka kebatilan, supaya dapat
menghancurkan kebatilan itu. Tetapi ia lalu bersembunyi di
balik tabir, ia sudah takut menghadapi maut, suatu perasaan
takut yang sebenarnya lebih celaka daripada maut.
Jadi kalau sikap ragu-ragu yang hanya sedikit saja tampak pada
Ibn Rawaha, padahal sesudah itu, dengan keberanian yang
luarbiasa ia pun bertempur lagi sampai mati sebagai syahid
masih ditempatkan tidak sama dengan Zaid dan Ja'far yang
menyerbu barisan maut dengan gembira menghadapi mati sebagai
syahid, apalagi buat orang yang lalu berbalik surut hanya
karena mengharapkan kedudukan atau harta atau sesuatu tujuan
duniawi lainnya ! Kalau begitu tidak lebih dia hanyalah
serangga yang hina saja, meskipun kedudukannya di muka orang
banyak sudah tinggi dan hartanya sudah melampaui harta karun.
Benarlah jiwa manusia itu baru merasa gembira apabila ia sudah
dapat berkurban untuk sesuatu yang diyakininya bahwa itu
benar, sampai akhirnya ia pun gugur untuk.membela kebenaran
itu, atau kebenaran itu dapat menguasai hidupnya!
Ibn Rawaha tewas setelah sebentar ragu-ragu lalu tampil lagi
dengan keberanian yang luarbiasa. Sekali ini bendera diambil
oleh Thabit b. Arqam [Banu 'Ajlan], yang kemudian berkata:
"Saudara-saudara kaum Muslimin. Mari kita mencalonkan salah
seorang dari kita."
Mereka segera menjawab:
"Engkau sajalah."
"Tidak, saya tidak akan mampu,"
Kemudian pilihan mereka jatuh kepada Khalid bin'l-Walid.
Diambilnya bendera itu oleh Khalid setelah dilihatnya barisan
Muslimin mulai centang-perenang, kekuatan moril mereka mulai
kendor. Khalid sendiri seorang jenderal yang cukup ulung,
seorang penggerak militer yang tidak banyak bandingannya,
Dengan demikian ia mulai memberikan komando. Barisan Muslimin
dapat diaturnya kembali. Sekarang dalam menghadapi musuh itu
sengaja ia membuat insiden-insiden kecil yang diulur-ulur
sampai petang hari. Malamnya kedua pasukan itu tentu akan
meletakkan senjata menunggu sampai pagi.
Pada saat itulah Khalid mengambil kesempatan menyusun siasat
perangnya. Anak buahnya dipencar-pencar demikian rupa dengan
jumlah yang tidak kecil, dalam suatu garis memanjang, yang
dikerahkan maju dari barisan belakang. Pagi-pagi bila orang
sudah bangun, dirasakannya ada kesibukan dan hiruk-pikuk
demikian rupa yang cukup menimbulkan perasaan gentar di
kalangan musuh, dengan anggapan bahwa bala bantuan telah
didatangkan dari pihak Nabi. Kalau jumlah tiga ribu orang itu
pada hari pertama telah membuat peranan begitu besar terhadap
pasukan Rumawi dan tidak sedikit pula jumlah mereka yang sudah
terbunuh - meskipun tak dapat mereka pastikan - konon apa lagi
yang akan dapat mereka lakukan dengan adanya bala bantuan yang
baru didatangkan itu, dengan tiada orang yang mengetahui
berapa besarnya!
Oleh karena itu pihak Rumawi jadi menjauhkan diri dari
serangan Khalid dan senang sekali mereka kalau Khalid tidak
sampai menyerang mereka. Tetapi sebenarnya Khalid lebih senang
lagi. Ia dapat menarik mundur pasukannya, kembali ke Medinah,
setelah mengalami suatu pertempuran yang tidak membawa
kemenangan buat pasukan Muslimin, dan yang juga sama tidak
membawa kemenangan buat lawan mereka itu.
Bilamana Khalid dan pasukannya sudah hampir sampai di Medinah,
Muhammad dan kaum Muslimin yang lain sudah pula bersama-sama
menyongsong mereka. Atas permintaan Muhammad kemudian Abdullah
b. Ja'far dibawa dan diangkatnya di depannya. Orang ramai
datang menaburkan tanah kepada pasukan tentara itu seraya
berkata:
"He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!"
Tapi Rasul segera berkata:
"Mereka bukan pelarian. Tetapi mereka orang-orang yang akan
tampil kembali, insya Allah."
Sungguh pun sudah begitu rupa Muhammad menghibur orang-orang
yang baru kembali dari Mu'ta itu, namun Muslimin belum mau
juga memaafkan mereka karena penarikan mundur dan mereka
kembali itu; sampai-sampai Salama ibn Hisyam tidak mau ikut
sembahyang bersama-sama dengan Muslimin yang lain, kuatir
masih akan terdengar suara-suara orang bila melihatnya:
"He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah."
Kalau tidak karena adanya tindakan-tindakan yang berarti dari
mereka yang kembali dari Mu,ta itu, terutama tindakan Khalid
sendiri, niscaya Mu'ta masih akan dianggap suatu cemar karena
pelarian yang telah dicontengkan saudara saudara seagania di
kening mereka itu.
Begitu pedih perasaan duka itu menusuk hati Muhammad setelah
diketahuinya Zaid dan Ja'far telah tewas. Begitu sedih ia
menanggung dukacita karena mereka itu.
Setelah Ja'far mendapat malapetaka, Muhammad pergi sendiri ke
rumahnya, dijumpainya isterinya Asma bt. 'Umais yang pada
waktu itu ia sudah membuat adonan roti, anak-anaknya sudah
dimandikan, sudah diminyaki dan dibersihkan.
"Bawa kemari anak-anak Ja'far itu," kata Muhammad kepadanya.
Setelah mereka dibawa, diciuminya anak-anak itu, dengan
airmata yang sudah berlinangan.
"Rasulullah," kata Asma' gelisah; ia sudah merasa apa yang
terjadi. "Demi ayah bundaku! Kenapa menangis, Rasulullah?! Ada
hal-hal yang menimpa Ja'far dan kawan-kawannya barangkali?"
"Ya," jawabnya. "Hari ini mereka tewas." Berkata begitu
airmatanya sudah makin tak dapat ditahan, deras berderai.
Asma, juga lalu menangis keras-keras sehingga banyak
wanita-wanita yang datang berkumpul.
Bila Muhammad pulang ia berkata kepada keluarganya:
"Keluarga Ja'far jangan dilupakan. Buatkan makanan buat
mereka. Mereka sekarang dalam kesusahan." Ketika dilihatnya
puteri Zaid - bekas budaknya itu - datang, dibelai-belainya
bahunya sambil ia menangis. Ada sahabat-sahabat yang merasa
terkejut melihat Rasul menangisi orang yang mati syahid itu.
Lalu katanya, yang maksudnya: Tapi itu airmata seorang kawan
yang kehilangan kawannya.
Ada sumber yang menyebutkan, bahwa jenazah Ja'far dibawa ke
Medinah dan dikebumikan di sana tiga hari kemudian setelah
Khalid dan pasukannya sampai. Sejak hari itu Rasul menyuruh
orang supaya jangan lagi menangis. Kedua tangan Ja'far yang
terputus, oleh Tuhan telah diganti dengan sepasang sayap yang
menerbangkannya ke surga.
Beberapa minggu kemudian setelah Khalid kembali, Muhammad
bermaksud hendak mengembalikan pula kewibawaan Muslimin di
bagian utara jazirah itu. Dalam hal ini ia menugaskan 'Amr
bin'l-'Ash supaya mengerahkan orang-orang Arab ke Syam. Memang
demikian, sebab ibn 'Amr ini berasal dari kabilah daerah itu.
Tentu akan lebih mudah ia bergaul dengan mereka. Tetapi
setelah ia sampai di sebuah pangkalan air di daerah kabilah
Judham yang disebut Silsil, mulai ia merasa kuatir. Segera ia
mengirim kurir kepada Nabi 'alaihissalam meminta bantuan. Dan
Nabi pun segera mengirim Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah dari
kalangan Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar.
Sebagai orang yang masih baru dalam Islam, Muhammad kuatir
'Amr akan berselisih dengan Abu 'Ubaida sebagai anggota
Muhajirin yang mula-mula, maka dipesannya kepada Abu 'Ubaida
ketika dilepaskan. Jangan berselisih.
***
"Engkau datang kemari sebagai pembantuku. Pimpinan tentara
ditanganku," kata 'Amr kemudian kepada Abu 'Ubaida.
Abu 'Ubaida adalah orang yang sangat lemah-lembut, dan serba
mudah dalam masalah-masalah duniawi.
"Rasulullah sudah berpesan," katanya kepada 'Amr "Kita jangan
berselisih. Kalau engkau tidak taat kepadaku, akulah yang taat
kepadamu."
Dan dalam melakukan sembahyang jamaah juga 'Amr yang menjadi
imam.
Sekarang ia mulai bergerak maju memimpin pasukannya itu. Pihak
Syam yang bermaksud hendak menggempurnya telah diubrak-abrik.
Dengan demikian kewibawaan Muslimin di bilangan daerah itu
telah dapat dipulihkan
Dalam pada itu Muhammad masih teringat juga pada Mekah dan
segala sesuatunya. Akan tetapi, seperti sudah disebutkan, ia
sangat memegang teguh isi Perjanjian Hudaibiya. Ia harus
menunggu sampai habis waktu dua tahun. Sementara itu
satuan-satuan tetap dikirimkan guna menjaga adanya
pemberontakan kabilah-kabilah, yang berjiwa memang suka
berontak itu. Tetapi hal ini tidak banyak makan tenaga.
Utusan-utusan sudah berdatangan kepadanya dari segenap
penjuru, mereka sudah menyatakan ketaatan dan kesetiaan yang
penuh kepadanya. Hal inilah yang telah merupakan pengantar
akan dibebaskannya Mekah serta akan kedudukan Islam yang kukuh
di tempat ini, sebagai tempat yang paling disucikan untuk
selama-lamanya.
0 Response to "BAGIAN KEDUAPULUH TIGA: EKSPEDISI MU'TA"
Post a Comment