Benteng Kita, Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghozali
Tuesday, October 29, 2013
Add Comment
“Hampir
saja posisi Ihyâ’ menandingi al-Qur’an”. Sanjungan tersebut disampaikan
oleh tokoh karismatik `Ulamâ’ul-islâm al-Imâm al-Faqîh al-Hâfizh Abû
Zakariya Muhyiddîn an-Nawawi atau lebih dikenal dengan sebutan Imâm
Nawawi Shâhibul-majmû`, yang hidup dua abad pasca Imâm Ghâzali.Quthbil-’auliyâ’ as-Sayyid Abdullâh
al-`Aydrus berpesan kepada segenap umat Islam untuk selalu berpegang
teguh pada al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan penjelasan keduanya, menurut
beliau, telah termuat dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn karya Imâm Ghâzali.
Dua komentar ulama tadi telah membuktikan keagungan dan pembelaan kitab Ihya
ini dan besarnya anugrah yang diraih oleh Imâm Ghâzali. Sampai-sampai
kritikus dan peneliti Hadis Ihyâ’, al-Imâm al-Faqîh al-Hâfîzh Abûl Fadhl
al-`Irâqi, turut memberikan apreseasi positif terhadap kitab yang
ditakhrîjnya itu. Beliau menempatkan Ihyâ’ sebagai salah satu kitab
teragung di tengah-tengah khazanah keilmuan Islam yang lain.
Begitu pula al-Faqîh al-`Allâmah
Ismâ`il bin Muhammad al-Hadhrami al-Yamani ketika ditanya tentang
karya-karya Imâm Ghâzali; beliau menjawab “Muhammad bin Abdillâh adalah
sayyidul-’anbiyâ’, Muhammad bin Idris as-Syâfi’i sayyidul-a’immah,
sedangkan Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghâzali adalah
sayyidul-mushannifîn“.
Sungguh agung sanjungan ulama-ulama
tersebut terhadap kitab Ihyâ’ dan al-Ghâzali. Karenanya, tidak
berlebihan bila Syârih (komentator) kitab tersebut, Murtadhâ az-Zabîdi,
memunculkan sebuah imege “andaikan masih ada nabi setelah Muhammad r
niscaya al-Ghâzali orangnya”.
Mengenal Ihyâ’ Ulûmiddîn
Disamping karena cakupan materi yang
tersaji di dalamnya, kitab ini juga ditopang oleh jurnalistik yang
sistematis. Sistematika penulisan yang begitu rapi menjadikan Ihyâ’
lebih menarik dan mudah dibaca oleh berbagai kalangan; sederhana,
berbobot, dan tidak terlalu meluas dalam penyajian. Lagi pula
istilah-istilah rumit juga jarang ditemui dalam pembendaharaan kata yang
terpakai.
Imâm Ghâzali telah mengkonsep materi
yang ditulisnya dalam empat klasifikasi kajian pokok. Dari masing-masing
klasifikasi tersebut terdapat sepuluh entri pembahasan utama (kitab).
Secara global, isi keseluruhan kitabnya telah mencakup tiga sendi utama
pengetahuan Ajaran Islam, yakni Syarî`at, Tharîqat (Tasawuf), dan
Haqîqat (Hakikat). Imâm Ghâzali juga telah mengkoneksikan ketiganya
dengan praktis dan mudah ditangkap oleh nalar pembaca. Sehingga,
as-Sayyid Abdullâh al-`Aydrus memberikan sebuah kesimpulan bahwa dengan
memahami kitab Ihyâ’ seseorang telah cukup untuk meraih tiga sendi agama
Islam tersebut.
Inilah dibeberapa alasan kenapa kitab
ini sangat digemari oleh banyak kalangan. Oleh fukaha, Ihyâ’ dijadikan
sebagai rujukan standar dalam bidang Fiqh. Oleh para Sufi, kitab ini
menjadi materi pokok yang tidak boleh ditinggalkan. Kedua studi ilmu
tersebut telah tercover dalam karya momumental Imâm Ghâzali ini.
Karenanya al-Habîb Muhammad Luthfy bin Yahya, pimpinan Jam`iyah Tharîqah
Mu`tabarah Nahdiyah yang sekaligus mursyid Tharîqah Naqsabandi,
menyebut Ihyâ’ sebagai panduan utama tasawuf bagi pemula, atau dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah tasawwuful-fuqahâ’.
Sebenarnya, tidak hanya dua kelompok
ini yang banyak mereferensi Ihyâ’, Para teolog Islam juga menganggap
penting untuk menempatkan Ihyâ’ sebagai bahan dasar kajian. Paradigma
bertauhid yang disajikan Imâm Ghâzali di awal pembahasan kitab Ihyâ’
sangat membantu pada pencerahan akal dalam proses penggesaan Allah I.
Imâm Ghâzali mampu mengarahkan logika pembaca pada sebuah kesimpulan
yang benar dalam bertauhid dengan nalar berfikir yang tepat dan berdiri
kokoh di atas dalil-dalil naqli.
Koreksi Terhadap Ihyâ’
Meskipun posisi Ihyâ’ di tengah-tengah Keilmuan Islam sangat tinggi, bukan berarti kitab ini terlepas sepenuhnya dari koreksi dan kritik.
Banyak sekali komentar negatif dan bantahan yang ditujukan kepada Imâm
Ghâzali atas karya momumentalnya ini, utamanya dalam studi Hadis yang
beliau sajikan.
Hadis-hadis Ihyâ’ ditengarai banyak
bermasalah oleh beberapa kritikus Hadis. Keberadaannya menjadi sorotan
utama dan sebagai bahan pokok kritikan para rival al-Ghâzali, semisal
al-Hâfizh Abûl Faraj Abdurrahmân Ibnu al-Jauzi. Ibnul Jauzi yang dikenal
anti Ihyâ’ banyak memfonis palsu pada hadis-hadis yang ditulis Imâm
Ghâzali dalam kitab tersebut.
Dinamika inilah yang selanjutnya
diangkat kepermukaan oleh kelompok ekstrimis dan orentalis untuk menolak
sepenuhnya isi kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn. Lebih-lebih, kelompok ini tanpa
malu-malu menyebut al-Ghâzali sebagai pemalsu hadis. Pemalsuan tersebut,
dalam pandangan mereka, merupakan hal wajar karena Imâm Ghâzali tidak
membidangi studi hadis dalam kajian keislamanya.
Membela Ihyâ’ Al-Ghâzali
Benarkah al-Ghâzali pemalsu hadis? Atau memang beliau tidak membidangi studi ini? Dan apakah kitab Ihyâ’ banyak memuat Hadits
palsu sehingga tidak layak untuk dipelajari? Berikut sebagai bahan
pertimbangan ilmiah sebelum pembaca ikut mengiyakan tuduhan tersebut:
Pertama,
Apabila dikatakan bahwa kitab Ihyâ’
banyak memuat Hadis-hadis palsu dan tidak terdapat landasan ilmiah dalam
pembelaannya, maka tuduhan ini terlalu tergesa-gesa. Terhitung, hanya
tiga redaksi Hadis yang diklaim maudhû` oleh al-Hâfizh al-`Irâqi ketika
mentakhrîj lebih dari empat ribu limaratus hadis yang ditampilkan Imâm
Ghâzali dalam kitab Ihyâ’-nya. “Bilangan tersebut sangatlah kecil” tutur
al-`Irâqi. Lebih-lebih, apabila kita memandang jumlah Hadis yang
ditampilkan oleh Imâm Ghâzali secara keseluruhan. Setidaknya, kuantitas
hadis Imam Ghazali dalam kitab Ihyâ’-nya telah setingkat dengan beberapa
kitab sunan, semisal Sunan Abî Dâwud, Sunan Nasâ’i, dan bahkan dapat
dikatakan melebihi bilangan hadis yang terdapat dalam Sunan Ibnu Mâjah.
Lebih lanjut, al-`Irâqi juga
memberikan sebuah pembelaan bahwa sebagaian dari Hadis maudhû` tadi
disampaikan tanpa memakai shîghat riwayat. Sehingga, dalam studi
methodologi Hadis, Imâm Ghâzali tidak dapat diposisikan sebagai perawi
yang mendapat ancaman dari baginda nabi Muhammadr.
Kedua,
Perlu dipahami bahwa ketiga Hadis tadi bukanlah REFERENSI
utama Imâm Ghâzali, malainkan sekedar tambahan dari dalîl shahîh yang
mendasari ijtihadnya. Imâm Ghâzali selalu mendahulukan landasan
ijtihadnya dengan dasar yang shahîh sebelum kemudian menampilkan dalil
lain yang selevel atau di bawahnya.
Dan sekali lagi, bilangan tersebut
sangatlah kecil. Tentu sangat na’if bila bagian kecil dari kekeliruan
(untuk tidak mengatakan kesalahan karena keduanya memiliki perbedaan
makna yang signifikan) tersebut dapat menghapus pada seluruh kebenaran
yang terkandung dalam kitab Ihyâ’. Generalisasi seperti ini merupakan
salah satu bentuk paralogis yang biasa dipakai oleh bandit intelektual
ketika menghantam lawan pemikirannya. Atau dalam istilah kita disebut
dengan gebyah uyah tanpa memandang esensi kebenaran lain yang lebih
berharga.
Ketiga,
Apabila dikatakan bahwa Imâm Ghâzali
tidak kapabel dalam studi Hadis maka sangat keliru sekali. Al-Mustashfâ
karya al-Ghâzali di bidang Usul Fikih cukup kiranya untuk membuktikan
kapabelitas beliau dalam bidang kajian Hadis. Dalam kitab tersebut,
tepatnya pada entri pembahasan sunnah, Imâm Ghâzali telah panjang lebar
menuturkan konsep dan perdebatan ulama mengenai dinamika kajian Hadis,
utamanya yang berkenaan dalam proses istinbâtul-ahkâm. Bahkan,
al-Ghâzali juga sempat memberikan tarjîh ketika terjadi perselisihan
alot antara ulama, baik itu yang muncul dari kalangan ushûliyyin atau
muhadditsîn.
Keempat,
Ancaman
Rasulullah SAW kepada para pemalsu Hadis hanya tertuju kepada pemalsu
yang sengaja berspekulatif. Hal tersebut terbukti dari tambahan redaksi
`amdan atau muta`ammidan dalam beberapa riwâyat shahîh dari
kutubis-sittah. Husnuzh-zhan kita, kesengajaan dalam pemalsuan Hadis
tidak akan terjadi pada ulama sekaliber al-Ghâzali. Terlalu rendah
intelektualisme al-Ghâzali bila harus memalsukan Hadis untuk menopang
pemikirannya. Imâm Ghâzali sendiri telah meletakkan sebuah prinsip bahwa
pemalsuan Hadis dengan alasan apapun tidak diperkenankan. Pernyataan
tersebut sebagai penangkis terhadap dugaan bolehnya memalsukan Hadis
untuk fadhâ’ilul-a`mâl atau pencegah tindakan tercela. Menurut
al-Ghâzali keberadaan ayat dan Hadis sahih telah cukup untuk memenuhi
tujuan tersebut.
Dari sini, kita dapat menyimpulkan
bahwa penulisan Hadis palsu dalam literatur Imâm Ghâzali muncul dari
unsur ketidak sengajaan atau keliru. Dalam pembendaharaan kata arab
istilah yang dipakai untuk menyatakan makna ini adalah kata khatha’
bukan ghalath. Abû Hilâl al-Hasan Abdullâh bin Sahal al-`Askari
membedakan antara keduanya dengan menitiktekankan terhadap ada dan
tidaknya unsur kesengajan. Jika memang sengaja maka disebut ghalath dan
khata’ apabila sebaliknya.
Kemudian, kesimpulan ini dihadapkan
pada sabda Nabi r “rufi`a `an ummati al-khata’“, yakni diantara
perbuatan umat Islam yang dimaklumi (dimaafkan) adalah tindakan yang
muncul tanpa adanya unsur kesengajaan (khatha’); bukan yang memang
bertujuan salah (ghalath). Karenanya, tiada dosa bagi tindakan yang
muncul tanpa disengaja. Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni telah mengutip
adanya konsesus ulama akan hal ini, termasuk keliru dalam meriwayatkan
Hadis. Lalu, akankah kita menghukumi al-Ghâzali sebagai pendosa dan
pendusta?
Kelima,
Apabila kita bercermin pada takhrîj
al-Hafizh al-Irâqi, maka tidak akan ditemukan lebih dari tiga Hadis yang
disepakati kepalsuannya. Namun, berbeda apabila kita mengacu pada
komentar al-Hâfizh Ibnu al-Jauzi. Terdapat sekitar dua puluh lima Hadis
yang diklaim maudhû` olehnya. Ibnul Jauzi memang dikenal sebagai ulama
yang sembrono dalam memfonis palsu sebuah Hadis. Sikap kontroversi Ibnul
Jauzi ini banyak mendapat sorotan kritis dari para muhadditsîn.
Sehingga, banyak klaim yang dilontarkan Ibnul Jauzi justru mendapat
bantahan balik.
Al-Hâfizh al-`Irâqi dan al-Hâfizh Ibnu
Hajar al-`Asqalâni memberikan sanggahan khusus terhadap tuduhan palsu
Ibnul Jauzi akan kesahihan beberapa riwayat Imâm Ahmad. Sedangkan
al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthi menulis Al-Qaul al-Hasan fîdz-Dzabbi
`anis-Sunnan yang secara umum membantah segenap tuduhan palsu Ibnul
Jauzi terhadap riwayat Imâm Bukhâri, Muslim, Ahmad, Dâwud, Turmuzi,
Nasâ’i, Ibnu Mâjah, Mustadrak al-Hâkim, dan beberapa Hadis lagi di
berbagai literatur yang lain.
Ringkasnya, sebagaimana yang telah
disimpulakan oleh as-Syaikh Muhammad Mahfûzh bin Abdullâh at-Turmûsi,
mayoritas Hadis yang diklaim palsu oleh Ibnul Jauzi dalam beberapa karya
kritisnya, semisal Al-Maudhû`at dan Al-`Ilal al-Mutanâhiyah, adalah
hadis shahîh, hasan atau juga dha`îf. Kesimpulan ini diperkuat dengan
adanya pernyataan Ibnu Shalâh bahwa Ibnul Jauzi memang banyak memfonis
palsu terhadap Hadis dha`îf tanpa ada dasar kepalsuan.
Fakta
lain berbicara mengejutkan ketika kita menyimak berbagai karya Ibnul
Jauzi; tidak hanya kedua kitab di atas, utamanya di bidang mawâ`izh dan
tasawuf, semisal Bahrud-Dumû` dan Al-Wafâ fî Ahwâlil-Mushtafâ. Kedua
kitab ini banyak memuat Hadis palsu lebih dari isi kitab yang ia
kritisi. Sampai-sampai, Dr. Ibrâhîm Bâjis bin Abdul Majid dan Dr.
Mushtafâ Abdul Qadîr `Athâ terkejut akan kenyataan ini. Sosok Ibnul
Jauzi yang terbilang berlebihan dalam kritik Hadis dan keras menentang
cerita-cerita aneh, justru karya-karyanya dipenuhi oleh kedua hal
tersebut. Ibnul Atsir sejarawan abad VII juga menyatakan keterkejutan
serupa dalam Al-Kâmil fî at-Târîkh-nya.
Untuk itu tidak salah apabila al-Imâm
al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni memberikan sebuah kritik pedas bahwa
“mayoritas riwayat yang termuat dalam karya-karya Ibnul Jauzi (selain
kitab kritik hadisnya) adalah maudhû’. Riwayat yang perlu dikritisi
lebih banyak daripada yang tidak”. Bahkan Ibnul Jauzi tidak segan untuk
mengutip sebuah riwayat dari karya yang pernah dikritisinya, atau
sekedar menukil Hadis-hadis yang telah difonis palsu dalam kitab
Al-Maudhû`ât-nya.
Namun, bukan berarti menyerang balik
terhadap sebuah kenyataan yang sama pahitnya. Menyimak fakta ini, kita
juga perlu bersikap bijak tanpa mengkesampingkan etika intelektualitas
melalui sisi pandang kebenaran yang lain.
Keenam
Mengenai perselisihan dalam status
hukum maudhû` yang muncul dari penilaian Imam Hadis selain Ibnul Jauzi,
cukup kiranya diketahui bahwa hal tersebut masih dalam ranah ijtihâdi
yang tidak perlu dielukan. Penilaian muhaddits dalam studi kritiknya
memang cenderung beragam, karena fonis palsu dalam kritik Hadis hanyalah
aplikasi dari sebuah praduga yang tidak menutup adanya kemungkinan
keliru. Lebih-lebih, apabila kritik diarahkan pada mata rantai
periwayatan.
Dan lagi, jumlah yang diperselisihkan
itu terbilang sangat sedikit; tidak lebih dari tiga redaksi Hadis.
Diantaranya adalah Hadis yang menyebutkan keutamaan membaca
Fâtihatul-Kitâb dan dua ayat dari surat Ali `Imrân yang diklaim palsu
oleh Imâm Ibnu Hibbân. Di dalam rangkaian sanad Hadis tersebut terdapat
Al-Haris bin `Amîr yang menurut Ibnu Hibbân sebagai sosok periwayat
Hadis palsu. Namun, tuduhan ini dibantah oleh al-Hâfizh al-`Irâqi.
Al-Hâfizh melandasi bantahannya pada label tsiqqah yang telah diberikan
oleh Hammâd bin Zaid, Ibnu Mu`in, Abû Zar`ah, Abû Hâtim, dan Imam Nasâ’i
kepada Al-Haris bin `Amîr.
Penutup
Wal hasil, sebesar apapun kritikan
terhadap Ihyâ’ Ulûmiddîn secara khusus dan literatur-literatur salaf
yang lain secara umum tidak akan mengurangi nilai kebesaran yang telah
diraihnya. Pembuktian secara ilmiyah dan obyektif telah memberikan
bantahan nyata terhadap kritik dan tuduhan yang tidak berdasar itu.
Sejarah juga turut menjadi Bukti akan kebesaran mereka. Mereka telah
memberikan sumbangsih yang tiada ternilai untuk Islam. Lalu apa yang
telah kita berikan kepada Islam?
0 Response to "Benteng Kita, Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghozali"
Post a Comment