Mengamalkan Hadits Dlo'if Tidak Bid'ah
Monday, May 27, 2013
Add Comment
Namun sayang sekali, dibalik perkembangan ilmu hadits ini, ada pula kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menghancurkan ilmu hadits dari dalam. Di antara kelompok tersebut, adalah kalangan yang anti hadits dha'if dalam konteks fadhail al-a'mal, manaqib dan sejarah, yang dikomandani oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tokoh Wahhabi dari Yordania, dan murid-muridnya. Baik murid-murid yang bertemu langsung dengan al-Albani, maupun murid-murid yang hanya membaca buku-bukunya seperti kebanyakan Wahhabi di Indonesia.
Sebagaimana dimaklumi, para ulama telah bersepakat tentang
posisi hadits dha'if yang boleh diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal
(amalan-amalan sunat), targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib
(peringatan meninggalkan larangan), manaqib dan sejarah. Dalam hal ini, al-Imam
al-Nawawi berkata:
"Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha'if) dan meriwayatkan hadits dha'if yang tidak maudhu' serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha'ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum." (Tadrib al-Rawi, 1/162).
"Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha'if) dan meriwayatkan hadits dha'if yang tidak maudhu' serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha'ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum." (Tadrib al-Rawi, 1/162).
Pernyataan al-Imam al-Nawawi di atas memberikan kesimpulan
sebagai berikut tentang hadits dha'if. Pertama, boleh meriwayatkan dan
mengamalkan hadits dha'if dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat
Allah, akidah dan hukum-hukum halal dan haram. Kedua, pendapat ini adalah
pendapat seluruh ahli hadits dan selain mereka.
Menurut al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi wilayah bolehnya
mengamalkan hadits-hadits dha'if tersebut, mencakup terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan fadha'il al-a'mal, kisah-kisah para nabi dan orang-orang
terdahulu, mau'izhah hasanah atau targhib dan tarhib dan yang sejenisnya.
Pernyataan al-Imam al-Nawawi dan al-Suyuthi di atas berkaitan dengan bolehnya
mengamalkan hadits dha'if dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan semacamnya
sebenarnya diriwayatkan dari ulama-ulama salaf antara lain al-Imam Ahmad bin
Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi dan semacamnya. Mereka
mengucapkan sebuah yang sangat populer, "idza rawayna fil halam wal haram
syaddadna waidza rawayna fil fadhail wa nahwiha tasahalna (apabila kami
meriwayatkan hadits-hadits mengenai halal dan haram, kami menyeleksinya dengan
ketat, tetapi apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai fadha'il dan
semacamnya, kami memperlonggar)". (Tadrib al-Rawi, 1/162).
Bahkan menurut Syaikh Abdullah Mahfuzh al-Haddad dalam kitabnya
al-Sunnah wa al-Bid'ah (hal. 110), tidak ada seorang pun ulama yang melarang
mengamalkan hadits dha'if, dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan sejenisnya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, kita temukan kitab-kitab
hadits ulama terdahulu seperti karya-karya al-Bukhari (selain Shahih-nya),
al-Tirmidzi, al-Nasa'i, AbuDawud, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain
banyak mengandung hadits-hadits dha'if. Hal ini juga diikuti oleh ulama-ulama
berikutnya seperti al-Thabarani, Abu Nu'aim, al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi
dan lain-lain. Sehingga kemudian tidaklah aneh apabila kitab-kitab tashawuf dan
adzkar yang memang masuk dalam wilayah fadha'il al-a'mal seperti Ihya' 'Ulum
al-Din, karya al-Ghazali, al-Adzkar karya al-Nawawi dan semacamnya banyak
mengandung hadits-hadits dha'if. Bahkan kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama
panutan Wahhabi seperti Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim dan Muhammad bin Abdul
Wahhab al-Najdi juga penuh dengan hadits-hadits dha'if dan terkadang pula
hadits-hadits maudhu'.
Pendeknya hadits dha'if memang boleh diamalkan berdasarkan
pendapat seluruh ulama salaf dan khalaf dalam konteks fadha'il al-a'mal dan
sejenisnya. Sedangkan orang pertama yang menolak terhadap hadits dha'if dalam
wilayah apapun termasuk dalam konteks fadha'il al-a'mal adalah Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, ulama Wahhabi dari Yordania. Al-Albani bukan hanya
menolak hadits dha'if, bahkan juga beranggapan bahwa mengamalkan hadits dha'if
dalam fadha'il adalah bid'ah dan tidak boleh dilakukan. Lebih dari itu,
al-Albani juga memposisikan hadits dha'if sejajar dengan hadits maudhu' seperti
dapat dibaca dari judul bukunya, Silsilat al-Ahadits al-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah
wa Astaruha al-Sayyi' lil-Ummah (serial hadits-hadits dha'if dan maudhu' serta
dampat negatifnya bagi umat). Hadits dha'if yang sebelumnya dianjurkan diamalkan
oleh para ulama salaf dan khalaf, kini al-Albani menganggapnya bid'ah dan
berdampat negatif bagi umat. Secara tidak langsung, al-Albani berarti telah
menghujat seluruh ahli hadits sejak generasi salaf yang meriwayatkan
hadits-hadits dha'if dalam kitab-kitab mereka sebagai memberi contoh yang
negatif bagi umat.
0 Response to "Mengamalkan Hadits Dlo'if Tidak Bid'ah"
Post a Comment