Diskusi buku “Asas Moral dalam Politik”


Diskusi buku “Asas Moral dalam Politik”
Pembicara:
Franky Budi Hardiman
Luthfi Assyaukanie
Freedom Institute, 11 April 2006





Trisno S.:

Selamat malam. Malam ini kita akan mendiskusikan buku “Asas Moral dalam Politik”. Sebuah buku yang diterjemahkan oleh Freedom Institute dan akan diluncurkan bulan ini. Sebuah buku karya Ian Shapiro. Buku ini menurut penulisnya adalah semacam pengantar untuk mereka yang baru menggeluti filsafat politik. Tapi kalau kita membacanya dengan serius, ini bukan suatu pengantar sederhana sebagaimana lazimnya buku pengantar, tapi merupakan suatu uraian serius tentang teori politik kontemporer untuk menjawab suatu pertanyaan dasar yang membingkai buku ini: Kapan sebuah pemerintahan berhak memperoleh kesetiaan kita dan kapan tidak layak. Ini pertanyaan inti yang menjadi pergulatan Shapiro sepanjang bukunya.
            Di ujung diskusinya tentang teori-teori Utilitarian, Marxis dan Kontraktarian, dia sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi masih merupakan sistem politik terbaik. Nah, malam ini kita akan berdiskusi tentang hal itu. Satu hal yang menarik dari buku ini adalah bahwa ia ditulis dalam tradisi anglo-saxon. Ini jarang ada di Indonesia. Dan kebanyakan diskusi yang ada di Indonesia adalah dalam tradisi kontinental. Kita mengenal Hegel, Marx, dan Machavelli, atau yang lebih kontemporer adalah Gramsci, Habermas. Tapi kita kurang mengenal Nozick, Dworkin, Rawls.
            Nah buku ini adalah pengantar ke situ dengan segenap kerumitannya. Jadi buku ini memberi kita lanskap yang luas. Saya kira saya tidak perlu memperkenalkan kedua pembicara karena mereka sudah dikenal sangat luas. Saya persilahkan ke Franky dan kemudian Luthfi.

<b>Franky Hardiman: </b>

Selamat malam. Buku yang akan kita bahas adalah The Moral Foundations of Politics, karya Ian Shapiro. Setelah saya membaca buku ini, saya menemukan warna buku ini bahwa penulis ingin menghubungkan modernitas dan legitimasi moral dari politik. Dalam diskusi ini kita bisa melihat buku ini dari berbagai perspektif, tapi salah satunya adalah hubungan modernitas dan legitimasi politik.
            Buku ini membahas banyak tokoh, yakni Burke, Rousseau, Bentham, kaum Komunitarian, Rawls. Jika dilihat baik-baik, sulit ditemukan tesis penulis buku ini itu apa. Dia mirip seorang dosen yang mengajarkan berbagai macam teori, dan di situ ada benang merah. Nah, benang merah inilah yang ingin saya jabarkan di sini.
            Buku ini menambah kepiawaian kita dalam memahami hubungan moralitas dan politik dalam lanskap modernitas. Dengan demikian, kita harus memahami dulu apa yang terjadi dalam modernitas dibanding masyarakat tradisional. Bagaimana politik dalam masa modern ini mencari legitimasinya.
            Jadi duduk perkaranya adalah sebagai berikut. Ada dua kategori besar. Kalau kita bicara tentang kategori politik, kita sebenarnya bicara tentang perubahan, kebebasan, kemungkinan. Saya sebut ini sebagai territory of becoming. Sedangkan alam itu menampilkan pola, permanensi, determinisme. Saya sebut ini sebagai territory of being. Nah, problem politik modern adalah bagaimana menghubungkan kedua teritori itu. Modernitas ingin menemukan mesin yang bisa membuat kita memprediksi pola politik.
            Shapiro banyak berbicara tentang Descartes di sini. Dan kita jadi tahu bahwa Descartes ternyata bukan hanya bicara epistemologi, namun juga mendasari politik modern.
            Politik modern sebenarnya dimulai sejak Machiavelli. Jadi politik legitimasinya bukan lagi dari agama, melainkan dari virtue, kepiawaian, techne, strategi. Nah, sekarang bagaimana kita membaca teori-teori yang ada di sini dan menemukan benang merahnya. Setelah membaca buku ini, saya menemukan akses masuk lewat Hobbes. Sebab Hobbes mendasari politik modern, dan ini dibahas dalam buku Shapiro.
            Jadi pertanyaannya adalah sebagai berikut. Problem Hobbes membuka hubungan antara politik dan moralitas dan itu menjadi pertanyaan sentral buku ini. Pertama, bagaimana legitimasi politik setelah agama tidak lagi bisa dijadikan legitimasi politik. Kata moral dalam buku ini mengacu pada moral modern dan itu hanya bisa dipahami dalam konfrontasinya dengan moral abad pertengahan, yakni agama. Jadi legitimasi seperti itu mengalami krisis, dan terjadi pluralisasi bentuk-bentuk kehidupan. Nah, politik itu melegitimasi dirinya seperti apa sekarang. Kedua, apakah arti moralitas dalam politik yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan.
            Strktur dari buku Shapiro saya lihat ada 4 tesis. Pertama tesis titik tolak menyangkut politik abad 18 yang tidak lagi mendasarkan politik pada sesuatu yang sakral, melainkan pada konsensus rasional. Kemudian tesis yang pro-pencerahan, seperti Marxisme, Utilitarianisme, kontrak sosial. Dan tesis kontra-pencerahan, seperti konservatisme, anti-fondasionalisme, komunitarianisme. Lalu di bagian akhir ada tesis posisional Shapiro, yakni tentang demokrasi. Demokrasi menjadi kata akhir bagi dia.
            Buku ini dimulai dengan uraian yang sangat menarik tentang hubungan politik dan pencerahan. Satu hal yang patut dicatat, pencerahan itu memberi dasar bagi status epistemologis politik dalam hal status moralnya. Jadi politik beroperasi menurut hukum yang dapat dikenali. Jadi bagaimana mechanical world view seperti dalam geometri diterapkan dalam politik. Sehingga politik menjadi predictable. Jadi ini adalah usaha untuk sedapat mungkin menjadikan politik itu ilmiah. Ini adalah ambisi pencerahan.
            Nah, pencerahan, khususnya Hobbes dan Locke, itu percaya adanya hakekat tatanan. Nah, kalau struktur obyektif politik itu ditemukan, maka legitimasi politik itu juga ditemukan. Dalam arti ini, legitimasi moral di masa pencerahan sangat minimal. Jadi ambisi pencerahan adalah menjadikan legitimasi itu ilmiah bukan moral. Hal ini juga tampak sampai abad 20 pada pandangan neopositivisme Ayer. Moral seperti ini demi rakyat, ini demi mengentaskan kemiskinan, demi keadilan sosial, kata-kata ini nonsense semua menurut pencerahan karena tidak faktual dan hanya transendental, noumenal.
            Dalam buku ini dijelaskan bahwa sejak pencerahan sudah ada antinomi antara sains dan hak-hak individu. Di mana tegangannya? Pencerahan itu berusaha menjadikan politik itu rasional, universal, mekanis. Di pihak lain, ada tuntutan bahwa politik juga memperhatikan hak-hak individu. Ini kontradiksi, antara determinisme ilmu alam dan kebebasan individu. Antinomi ini tidak selesai, menurut Shapiro, dan baru di akhir buku ia mengatakan bahwa dalam demokrasi pertentangan itu sedikit banyak selesai.
            Di sini dibahas secara teologis bahwa apa yang dipahami oleh Locke sebagai natural law sebenarnya pikiran Allah sendiri tentang hak dia. Tapi bagi manusia itu kewajiban. Yang bagi manusia hak itu disebut natural rights. Oleh karena itu dalam politik diusahakan sedapat mungkin ada pendamaian antara natual rights dan natural law. Pikiran Allah ini sebenarnya ada dalam kodrat. Pada masa modern hal ini diterjemahkan dalam hukum akal budi. Dari sini moral pada masa ini juga diturunkan.
            Bagian yang kedua buku ini adalah tentang utilitarianisme. Paham ini menemukan sesuatu yang secara ilmiah bisa dites. Yakni hukum positif. Jadi legitimasi politik tidak dari hukum kodrat, tapi dari hukum positif.
            Jadi begini. Kehidupan masyarakat itu ada agama, kebudayaan, moral dan berbagai macam ideal. Bagi Bentham, Mill, hal itu tidak bisa menyatukan manusia. Yang bisa dites secara obyektif adalah rasa nikmat dan rasa sakit. Kita bisa menemukan apa yang disebut sebagai utilitometer. Oleh karena itu prinsip utilitarianisme adalah kebahagiaan terbesar untuk sebanyak mungkin orang. Ini bisa diukur dan karena itu ilmiah. Moral harus bisa seilmiah itu.
            Nah sekarang pertanyaannya adalah mengapa kita perlu negara. Hukum negara menurut Bentham itu menjadikan individu sebagai utility maximizer. Di Indonesia, kalau dilihat secara utilitarian, kebijakannya banyak sekali yang kontra-utilitarian. Misalnya, jelas banyak sekali kemiskinan tapi orang malah ribut ttg pornografi. Yang menyakitkan masyarakat adalah kemiskinan, bukan pornografi. Kalau kesejahteraan itu ditingkatkan, yang lain-lain akan mengikuti. Jadi politik harus dilegitimasi dengan asas utilitas. Dan ini berbasis pada sains.
            Kemudian Shapiro masuk ke dalam Marxisme. Marxisme menurut Shapiro didasarkan pada pengetahuan yang deduktif. Sejarah berjalan menurut materialisme dialektis, misalnya. Skema ini kita tahu didapat dari Hegel. Jadi dia sebenarnya mengkuti Bacon bahwa kalau kita ingin mengubah sejarah, kita harus mengetahui hukum-hukum sejarah. Marxisme sebenarnya bergerak pada tataran yang serupa. Jadi basis ekonomi itu menentukan superstruktur kesadaran. Ini adalah inti dogmatis ajaran Marxis. Dan Shapiro  melihat bahwa Marx muda itu berhasil mendamaikan antara determinisme sains dan kebebasan individu.
            Namun, dalam Marx tua, persoalan bergeser kembali ke dalam determinisme ilmiah. Jadi teori marx itu mengandung tilikan normatif tentang keadilan struktural. Kontribusi Marxisme adalah menjelaskan bahwa moral bukan persoalan individu, namun struktural politik. Jadi moral dalam marxisme terintegrasi dalam tindakan emansipatoris kaum proletar.
            Shapiro banyak sekali bicara tentang Marxisme di sini, termasuk evaluasi mengapa marxisme gagal. Tesisnya juga tidak seperti kebanyakan kritikus Marxis bahwa marxisme itu gagal karena determinismenya. Dia menunjukkan bahwa kegagalan marxisme itu sudah inheren dalam proyek pencerahan itu sendiri. Yakni ketegangan antara saintisme dan individualisme. Marx muda itu masih lebih politis dibanding Marx tua. Jadi ketika masih muda, tidak ada fondasi moral, yang ada fondasi ilmiah semua.
            Kemudian kontraktualisme. Menurut teori ini, politik harus didasarkan pada deliberasi publik. Shapiro menelusuri argumen-argumen kaum kontraktualisme klasik seperti Hobbes, Locke, Habermas, Rawls. Di sini proses deliberasi ditunjukkan sebagai proses moral. Muatan moral yang cukup kuat dia tunjukkan dalam teori kontrak ini. Ada pergeseran yang sangat eksplisit ditunjukkan Shapiro dalam teori ini, yakni dari kontraktualisme klasik yang bersifat konkretis—rakyat berkumpul—menuju kontrak hipotetis. Jadi tidak perlu rakyat berkumpul, tapi rasio bisa menentukan apakah sesuatu itu bisa diuniversalkan atau tidak. Habermas dan Rawls itu termasuk teori kontak hipotetis seperti itu. Jadi politik menurut teori kontrak harus dilegitimasi menurut konsensus rasional. Moral dalam poltik berkaitan dengan publisitas suatu keputusan.
            Kemudian kontra-pencerahan. Di sini dibahas banyak argumen politis kontra-pencerahan. Baik dilatarbelakangi oleh budaya, sekularisme, atau agama. Menurut kaum kontra-pencerahan, pandangan bahwa peradaban maju lewat rasionalisme sains itu suatu delusi yang berbahaya. Orang seperti Burke, Rorty dan kaum komunitarian itu dimasukkan ke dalam pemikir anti-pencerahan. Isinya bisa dirumuskan dalam tiga hal. Para pemikir antipencerahan itu mengambil jarak terhadap pandangan bahwa subyek itu otonom. Subyek itu melekat pada tradisi. Karena itu politik antipencerahan adalah politik konservasi tradisi. Shapiro menunjukkan bahwa ada yang benar juga dari pemikiran seperti Burke, misalnya. Shapiro menunjukkan bahwa pencerahan yang matang seharusnya mendengarkan kaum antipencerahan dan mengintegrasikannya dalam proses demokrasi.
            Yang kedua adalah fondasionalisme. Jadi seluruh garis pemikiran pencerahan itu oleh Rorty disebut fondasionalisme, karena ingin mengasalkan semua hal pada subyek yang universal dan berpikir apriori. Ini dia sebut representasionalisme. Ini dikritik oleh Rorty dengan  mengatakan bahwa filsafat sudah selesai. Jangan lagi bicara tentang hakikat. Kita hanya menafsirkan, berbicara, bercakap. Oleh karena itu relativisme menjadi alternatif.
            Individualisme pencerahan ditentang lewat komunitarianisme, yang menyatakan bahwa individu identitasnya didapat melalui komunitas. Menurut mereka legitimasi politik harus dikembalikan pada tradisi, komunitas dan tidak bisa abstrak universalistik.
            Sekarang posisi Shapiro. Dia membuat distingsi yang sangat bagus di sini, yakni antara early enlightment dan mature enlightment. Jadi pencerahan awal itu fondasional, universalistik, mechanical worldview. Pencerahan awal ini rentan terhadap  kritik dari kaum antipencerahan. Namun pencerahan yang matang menganggap bahwa pengetahuan dapat direvisi, non-substantif. Konsep mature enlightment ini tidak jauh beda dari konsep second modernity dari Beck, misalnya. Atau Habermas dan Giddens. Shapiro berada dalam posisi serupa. Dan sistem politik yang menunjukkan nilai-nilai pencerahan matang adalah demokrasi. Demokrasi yang dia pikirkan bukan demokrasi yang menyingkirkan tradisi, tapi demokrasi yang merangkul baik kaum konsevatif maupun progresif dalam suatu proses deliberatif.
            Demokrasi memang mengandung bahaya. Misalnya doxa pada Plato, atau tirani mayoritas, ingat Tocqueville. Namun sejarah mencatat bahwa demokrasi lebih menghargai kebebasan sipil dan HAM dibanding sistem nondemokrasi. Dia mengkritik utilitarianisme dan antipencerahan yang tak peduli pada hak individu. Demokrasi adalah sistem di mana mereka yang dirugikan dimungkinkan untuk merevisi peraturan-peraturan yang ada.
            Sekarang keterbatasan dari Shapiro. Posisi dia sendiri kurang dielaborasi. Dia lebih memberi pengantar ke dalam berbagai teori ketimbang memberikan penjelasan sistematis tentang hubungan antara moral dan politik dalam modernitas. Dia misalnya tidak mengelaborasi makna moral dalam bukunya.
            Kelebihannya, sarat dengan detail tiap teori yang diulas. Studi komparatif cukup tajam. Benang merah keberpihakan kepada hak dan kebebasan individu cukup jelas. Saya menyebut buku ini tentang mature enlightment. Terima kasih. Semoga meningkatkan nafsu baca anda sekalian.
           
Trisno S.:

Terima kasih. Sekarang giliran Luthfi untuk memberi komentar kritis dari apa yang ada dalam buku ini. Silahkan.

Luthfi Syaukanie:

Terima kasih. Teman-teman sekaian, selamat malam. Saya membaca tradisi filsafat barat secara melompat-lompat dan menurut saya buku ini cukup sulit dan rumit. Concern saya sebenarnya adalah filsafat Islam. Ketika saya membandingkan tradisi filsafat politik Islam dan Barat, itu saya melihat ada revolusi yang cukup besar dalam tradisi pemikiran politik barat. Revolusi itu adalah memutuskan apa yang disebut Leo Strauss sebagai political theology menjadi political philosophy. Yang kedua ini adalah studi tentang pemikiran atau filsafat politik. Dan ini adalah cabang dari filsafat. Jadi tekanannya adalah pada filsafat. Sedangkan yang pertama adalah studi ajaran-ajaran politik berdasarkan wahyu Tuhan. Di Abad Pertengahan, misalnya, yang dikembangkan adalah political theology.
Di era sekarang, political philosophy sebenarnya lebih pada political science.  Orang seperti Saiful dan Celi kan sebenarnya seorang ilmuwan politik, bukan filsuf politik.
Ada sebuah buku yang ditulis oleh Hamid Enayad, seorang Iran, yang berjudul Modern Islamic Political Thought. Ia mengatakan bahwa dalam tradisi Islam pemikiran filsafat politik tidak berkembang karena pemikiran politik diajarkan dalam 2 disiplin yang berbeda. Yakni disiplin fikih dan disiplin filsafat. Nah, malangnya, dalam Islam yang dikembangkan itu adalah disiplin fikih. Dan karena itu dia tidak bisa keluar dari paradigma teologi politik. Padahal menurut Hamid Enayad dalam Islam ada tradisi pemikiran politik yang sangat maju dan liberal. Misalnya adalah pemikiran Al-farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan lain-lain. Leo Strauss sendiri sebenarnya adalah ahli Al-Farabi.
Ini hanya gambaran umum saja. Buku yang kita bahas kali ini adalah upaya menjawab persoalan legitimasi politik dalam kerangka political philosophy. Buku ini ingin menjawab pertanyaan bagaimana legitimasi politik itu bertahan. Atau apa alasan kita tetap mendukung suatu pemerintahan, misalnya.
Sebetulnya kan ada 2 jawaban. Baru-baru ini di Thailand kita melihat ada pemimpin yang kehilangan legitimasi. Peristiwa ini dialami oleh PM Thaksin. Salah satu dosa dia kenapa sampai kehilangan legitimasi adalah karena bisnis keluarga dsb. Penjelasan ini adalah penjelasan ilmuwan politik atau pengamat politik. Hilangnya legitimasi sebenarnya bisa dijelaskan secara gamblang tanpa membaca buku Shapiro yang sangat rumit itu. Namun Shapiro ingin memberikan jawaban lain, yakni dari sudut political philosophy. Dan salah satu sarjana yang tekun mendalami political philosophy adalah Leo Strauss.
Saya ingin memberikan sebuah kritik singkat sebenarnya pada Ian Shapiro. Tadi sudah dijelaskan bahwa dia membahas sejarah pemikiran politik selama 4 abad, dari masa Pencerahan sampai sekarang ini. Dan dia menyimpulkan bahwa legitimasi yang paling bisa dipegang adalah demokrasi.
Nah, saya ingin membedakan antara substansi legitimasi dan prosedur legitimasi. Apa yang dibicarakan oleh para pemikir politik seperti Marxisme, Utilitarianisme dan lain-lain itu adalah substansi legitimasi. Yakni bagaimana legitimasi itu berjalan. Misalnya tradisi Utilitarianisme. Salah satu prinsip utama utilitarianisme adalah memaksimalkan kebahagiaan. Kata kuncinya adalah happiness dan pain. Kaum utilitarian itu berbeda pendapat dalam hal bagaimana suatu kebahagiaan itu dihadirkan pada rakyat. Selain utilito meter sebenarnya ada istilah lain, yakni tort meter. Di sini yang ditekankan adalah sisi pain-nya. Ini adalah penjelasan substansi legitimasi. Karena legitmasi sudah ada di sana.
Sementara yang dibanggakan oleh Shapiro adalah demokrasi. Dan demokrasi itu kan prosedur. Dan kalau kita mau mendiskusikan, itu kita punya varian yang sangat banyak. Model yang paling baik mungkin adalah buku David Held, models of democracy. Di sana kita melihat Marxisme juga sebagai model demokrasi. Ada sekitar 14 model demokerasi.
Dari sini, marxisme pun bisa menjadi sebuah prosedur untuk mencari demokrasi. Maksud saya adalah bahwa tidak fair jika setelah mendiskusikan demikian banyak pemikiran, Shapiro mengatakan bahwa yang ini adalah pemikiran yang terbaik. Pemikiran kan berevolusi, dan bisa mencapai satu titi. Ini yang harus diakui oleh semua orang. Jadi kita harus membedakan substansi dan prosedur demokrasi dan legitimasi. Ian shapiro tampaknya hanya berkutat pada prosedur ddan mengabaikan substansi secara umum.
Saya kira saya sudah tidak ada lagi yang mau saya sampaikan karena jika demikian hal itu bisa mengulang apa yang dikatakan Franky. Saya cukupkan uraian saya sampai di sini. Terima kasih.

Trisno S.:

Terima kasih. Memang ketika membaca buku ini kita merasa sedikit aneh. Istilah dari Luthfi tadi adalah loncat. Tiba-tiba saja membicarakan demokrasi. Demokrasi itu kan sistem, sementara utilitarianisme adalah faham. Artinya bisa saja utilitarianisme ada di dalam demokrasi. Atau marxisme dalam demokrasi dan sebagainya. 
            Dan saya kira Shapiro kurang memberikan argumentasi yang menohok tentang mengapa demokrasi dianggap sebagai sistem yang terbaik.
            Saya akan membuka tanya jawab kepada anda. Saya kira empat penanya dulu. Silahkan. Tolong sebut nama.

Penanya I:

Terima kasih. Nama saya Rizal Ramli. Apa yang dijelaskan oleh Mas Franky dan Luthfi tadi sudah sangat gamblang. Saya ke sini sudah membawa pertanyaan. Buku ini kan membahas hubungan moral dan politik dalam konteks modernitas. Dan modernitas mempunyai ciri yang tadi sudah disebutkan.
            Saya ingin menanyakan tentang relevansi dari apa yang tadi dijelaskan, karena yang terjadi di sini adalah bahwa masyarakat Islam masih sangat sering mengaitkan moral dengan agama. Semua itu kan relevan dalam masyarakat sekular yang sudah tercerahkan. Ini bagaimana. Karena ini seperti membayangkan sebuah masyarakat yang belum terjadi. Saya kira itu saja terima kasih.

Trisno:

Terima kasih. Penanya selanjutnya, silahkan.

Penanya II:

Terima kasih. Nama saya Martin. Saya agak sulit mengatakannya. Tapi akhirnya memang mengarah pada yang teologis. Namun dengan cara yang dewasa.
            Pertanyaan saya adalah apakah Shapiro cukup terbuka. Menurut saya persoalan demokrasi sekarang lebih dari sekadar sistem yang bisa memperbarui diri. Yang kita butuhkan adalah komitmen pada kehidupan. Artinya begini. Baik sekali bahwa Shapiro telah melampaui Pencerahan awal, apalagi kalau kita mendengar tangisan Benjamin. Di mana dia melihat malaikat yang terbang ke mundur belakang dan dia melihat reruntuhan ada di sekitarnya. Dan ini berlanjut ke masa depan. Dan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terluka dari sistem ini.
            Nah, ketika Shapiro terbuka pada pembaruan sistem demokrasi, pertanyaan saya adalah apakah yang dibutuhkan adalah pembaruan sistemik atau justru yang dibutuhkan adalah suara moral baru.
            Maksudnya adalah begini. Ketika isu global yang sekarang berlaku adalah globalisasi yang tidak bermakna ini, sebuah clash, bukankah yang kita butuhkan adalah pengakuan terhadap the others. Nah, apakah Shapiro membuka ruang untuk itu. Dan kalau ia membuka ruang itu, maka barangkali teologi harus dipanggil juga.
            Demikian pertanyaan saya, terima kasih.

Trisno:

Terima kasih. Penanya selanjutnya, yang di sebelah kiri. Silahkan.

Penanya III:

Nama saya Surya. Saya sudah membaca bukunya. Ada kata yang terlewatkan oleh mas Franky, yakni falibilisme. Ia kritik terhadap pencerahan awal karena itu unfallibilism. Kritik ini ada pada pencerahan akhir yang sudah dewasa tadi.
            Ada juga kritik Shapiro terhadap konsensus. Karena konsensus itu mengkhianati demokrasi kompetisi. Nah, sebagai orang yang pernah membaca Habermas, bagaimana pandangan Franky terhadap kritik itu. Kalau ada konsensus model Ralws atau Habermas, maka tidak ada lagi demokrasi kompetisi. Dan tujuan dari kompetisi adalah mengoreksi siapa yang memimpin. Konsensus memang perlu, tapi itu cukup pada nilai kebaikan bagi masyarakat.
            Nah, bagaimana posisi mas Franky terhadap kritik Shapiro itu. Demikian pertanyaan saya. Terima kasih. 

Trisno:

Terima kasih. Penanya selanjutnya, silahkan. Yang di belakang.

Penanya IV:


Terima kasih. Nama saya Guntur. Mas Franky, saya jadi tidak tertarik untuk membaca buku itu lagi. Karena penjelasan anda dan sistematika anda sangat luar biasa. Itu yang pertama.
            Yang kedua adalah bahwa realitas umat Islam di sini adalah moralitas politik yang masih berbasis agama, yang bisa dikategorikan antipencerahan. Sedangkan buku ini sudah sangat jauh membahas bagaimana membangun moralitas politik tanpa berbasis agama, kultur dan sebagainya.
            Saya pernah membaca buku lain tentang etika politik. Tulisan Romo Haryatmoko, tentang bagaimana politik sebagai seni memperoleh kekuasaan tidak lagi mengindahkan moralitas. Ini yang terjadi dalam konteks Indonesia, seperti agitas, money politics, dan adu domba.
Untuk mas Luthfi. Perdebatan politik dalam dunia Islam kan perdebatan yang tidak ada gunanya. Karena nuansa agama sangat kental di situ.
Kepada mas Franky lagi. Bagaimana menjelaskan realitas politik tidak lagi pada kontrak sosial, misalnya. Bagaimana cara menghadapi politik yang didasarkan pada basis agama dan kultural. Kita masih di sini. Kita tidak bisa menghindar bahwa kita masih dalam era sebelum pencerahan.
            Jadi buku ini sudah sangat jauh, namun kita masih saja mendiskuskan hal-hal yang ada di abad pertengahan. Itu saja terima kasih.

Trisno:

Terima kasih. Silahkah Franky saya beri kesempatan lebih dahulu.

Franky Hardiman: HaH  z Z ZLAksjASDIOPQjeosjjsaJSKAjsklASNMA,SNMA````

Pertanyaan pertama adalah apa relevansi moral dan politik dalam modernitas bagi masyarakat kita yang sangat diwarnai oleh tradisi agama. Begini, ini kan pertanyaan yang mengacu pada pengambilan kebijakan konkret.
            Saya mulai dengan modelnya dulu. Apa yang dibahas dalam buku Shapiro. Apa yang berkembang di abad Pencerahan adalah mendamaikan bermacam-macam kepentingan dengan kerangka rasio. Kita ambil contoh pembahasan tentang Hobbes. Bagaimana mungkin dari chaos bisa lahir cosmos yang dianggap mewakili kepentingan semua orang. Begini, kalau kita mendengar debat mengenai RUU Porno, itu kita melihat ada tirani dari publik. Seolah mereka adalah pemegang monopoli tafsir atas RUU itu. Di sini kan sebenarnya ada berbagai kepentingan, yang jumlahnya banyak sekali. Nah, kalau semuanya menuntut untuk dipenuhi, maka jalan satu-satunya adalah perang. Namun dalam kondisi yang seperti itu mestinya ada satu kepentingan yang membuat gairah untuk membunuh ditunda. Yakni keinginan untuk hidup, survival. Saya mau hidup maka semua pertikaian kepentingan harus dihentikan.
            Namun ini jadinya berbasis ekonomi. Hobbes sebenarnya memang pemikir yang berbicara secara biologis namun dia bukan Darwinis. Dia lebih dalam kerangka borjuasi yang tumbuh dan lebih membela kepentingan kaum borjuis.
            Kalau politik mengukurnya dari adanya suatu titik temu, ekuilibrium, maka berbagai kepentingan akan dapat bertemu di sana. Titik ekuilibrium inilah yang dicari dalam modernitas.
            Kalau anda bertanya tentang relevansi buku ini di Indonesia, maka buku ini sangat berguna bagi kaum akademikus yang mendalami topik ini. Nah kalau bagi politikus, karena para politikus kita berlatar naluri dan bukan teori, maka itu tidak akan dijadikan model. Jadi relevansinya bagi kita adalah bahwa kita bisa belajar model-model politik apa yang ada dan mengamati kebijakannya.
            Kalau kita hanya bergumul dengan teori seperti Shapiro ini, ini memang untuk konsumsi kampus. Kalangan yang bersentuhan dengan dunia baca. Dan orang-orang ini biasanya tidak bersentuhan dengan politik praktis. Begitu masuk ke politik mereka berhenti baca. Di Indonesia ini lebih banyak fenomena politik yang lebih bisa didekati dengan psikologi politik dan bukan filsafat politik. Tapi ini kan tidak normatif, tapi faktual.
            Yang normatif itu buku seperti ini. Jadi ini sebenarnya penting untuk membuat politik itu ditempatkan dalam jalur yang bisa diprediksi oleh semua orang. Orang bisa berharap dalam politik. Orang bisa menemukan pola dalam politik. Ilmu politik itu hidup dalam politik yang berpola. Kalau tidak, maka yang lebih berlaku adalah psikologi politik.
            Kedua, apakah Shapiro membuka ruang untuk teologi. Setelah saya baca, buku ini sebenarnya menyinggung banyak hal. Sejarah, ekonomi, budaya, sosiologi ada dan semuanya dalam bingkai filsafat politik. Tadi dikatakan oleh Strauss bahwa teologi politik sangat penting untuk memahami politik. Carl Schmidt bahkan mengatakan bahwa semua teori politik itu implisit teologi politik. Teori-teori politik pascapencerahan itu menurut Schmidt lebih tampak sebagai deisme. Bukan teisme atau monoteisme.
            Jadi sebetulnya ada suatu teologi implisit di balik setiap filsafat politik. Nah, persoalannya di sini adalah apakah orang seperti Shapiro ini memberi ruang pada komitmen pada kehidupan, nilai-nilai moral. Saya tidak menemukan hal itu di sini.
            Dalam buku demokrasi juga dibahas bukan sebagai isme, tapi lebih sebagai prosedur. Oleh karena itu diskusi di sini lebih kering. Dimensi gender, misalnya, tidak tampak. Hubungan hermeneutik juga agak kurang.
            Soal falibilisme dan unfalibilisme. Begini, ketika dia membahas tentang kontrak sosial, saya heran bahwa kontrak sosial tidak dimasukkan ke dalam demokrasi. Tentang konsensus, ia mungkin membawa pada totalitarianisme, karena individu hanya dianggap sebagai suatu kolektivitas. Jadi pendapat umum dianggap lebih penting ketimbang pendapat individu. Dengan demikian, kontrak sosial itu sangat rentan terhadap totalitarianisme. Kontrak sosial Rousseau, misalnya. Pada Rawls abstraksi lebih bermain, tapi kemudian dilawan oleh komunitarianisme. Jadi artinya, teori kontrak sosial itu mengandung titik lemah.
            Demokrasi itu, menurut Shapiro, adalah sesuatu yang lain. Di sini ada koreksi terus-menerus. Shapiro itu banyak mengacu pada Habermas tahun 1980-an, yakni tentang teori komunikasi. Itu memang kontrak sosial hipotetis. Namun dalam Between Fact and Norm, pemikiran Habermas mendekati pemikiran Shapiro di sini. Bahwa dalam demokrasi apa yang penting adalah komunikasi konkret. Jadi berbeda dari Rawls bahwa the veil of ignorance  itu harus ada dalam pikiran setiap orang yang masuk dalam proses deliberasi, Habermas mengatakan bahwa kita membawa identitas kultural dan agama kita. Hanya bedanya, dalam demokrasi itu semua harus dilihat dalam konteks agama lain dan kultur lain.
            Shapiro di sini hanya menyinggung soal itu dan tidak membahas secara komprehensif. Sayang sekali dia menawarkan demokrasi tapi tidak menjelaskan model demokrasi seperti apa yang sedang dia bela. Seolah-olah dia menganggap bahwa pembaca sudah tahu apa yang dia maksud. Dan menurut saya yang dia maksud adalah demokrasi liberal tapi yang mempertimbangkan tradisi dan budaya.
            Yang keempat, bagaimana modernitas menghadapi semangat antipencerahan. Betul bahwa buku ini jauh dari realitas kita, tapi tidak betul bahwa orang Indonesia tidak berpikir seperti buku ini. Kelompok-kelompok yang kritis dalam masyarakat kita sebenarnya pemikirannya kan mengarah ke yang dipikirkan Shapiro.
            Dalam semangat antipencerahan, pencerahan pun dianggap sebagai sektarianisme. Jadi misalnya Islam Liberal mengangkat diri sebagai suatu sekte, sekte liberal, itu nanti akan kontraproduktif. Apa yang disebut penderahan itu kan suatu dialog yang tidak pernah selesai. Nah, pemutusan dialog itulah yang berbahaya.
            Jadi sebenarnya dalam demokrasi hal-hal yang bersifat manipulatif itu selalu ada. Tetapi yang bisa kita harapkan dari demokrasi adalah bahwa setiap peserta dialog dalam demokrasi mempunyai harapan untuk mengubah suatu situasi. Dari sini pencerahan yang dewasa muncul. Kalau debat tentang RUU Porno ini dihentikan dengan ketok palu begitu saja, maka itu bahayanya. Jadi dalam demokrasi orang masih bisa berharap bahwa kebenaran itu bisa direvisi.
            Demikian dari saya. Terima kasih.


Trisno:

Terima kasih. Sekarang bagian Luthfi. Ada pertanyaan mendasar yang dari tadi muncul. Yakni, apakah ada moral pascaagama. Atau moral yang sudah tidak berkaitan dengan agama.



Luthfi Assyaukanie:

Sebenarnya ada 3 poin yang ingin saya komentari. Yang pertama soal istilah moral. Dalam filsafat politik, moral itu bukan hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang bersifat metafisis. Kalau anda buka ensiklopedia britannica dan baca entri moral philosophy atau political philosophy, penjelasannya itu sama. Karena pertanyaan dasar filsafat politik adalah sistem sosial apa yang paling baik. Dan ketika anda berbicara tentang sesuatu yang baik dan buruk, maka itu adalah suatu persoalan moral.
            Ada sebuah review yang mengatakan bahwa buku ini misleading karena judulnya seperti ini, moral foundations of politics. Kalau mau tidak misleading, maka judulnya seharusnya adalah The philosophical Foundations of politics. Karena ketika kita berbicara tentang filsafat politik, kita berbicara tentang moral politik.
            Itu komentar pertama. Komentar kedua, menyangkut pertanyaan Martin. Saya kira pertanyaannya cukup logis dan itu menjadi perhatian kita semua yang meminati agama. Apakah agama masih punya tempat di era yang sudah berusaha membuang persoalan yang antipencerahan. Mungkin kita harus berkaca pda pembahasan pemikiran politik yang lebih partikular. Kalau anda membaca buku tentang konservatisme, maka agama memiliki tempat yang sangat luas. Misalnya buku-buku Fukuyama. Ini adalah buku yang menurut saya sangat agamis. Karena dasar dia adalah konservatisme. Dan orang konservatif masih mempercayai bahwa tradisi tetap bermanfaat buat tatanan politik. Dari perspektif ini, saya berpendapat bahwa agama mempunyai tempat jika itu dilihat dari segi fungsionalis.
            Yang ketiga pertanyaan Guntur. Benar bahwa berbeda dari tradisi filsafat Kristen, Islam itu betul-betul mandek pemikiran politiknya. Karena yang dikembangkan itu teologi politik dan bukan filsafat politik. Padahal Islam punya tradisi filsafat politik. Kalau anda baca sejarah filsafat Islam, maka sebagian porsinya adalah pemikiran tentang filsafat politik. Sayangnya ini tidak dikembangkan.
            Dan yang agak disayangkan adalah bahwa dalam filsafat Islam, yang dikembangkan adalah filsafat Plato dan bukan Aristoteles. Buku-buku Aristoteles itu tidak diterjemahkan dalam bahasa Arab. Yang dibaca adalah buku politiknya Plato. Karena itu dalam Islam yang dikembangkan adalah negara model Plato, republik. Padahal politik Aristoteles itu kan rasional.
            Persoalannya di Indonesia adalah bahwa kalau kita ingin mengembagkan pemikiran politik maka yang dikembangka harus filsafatnya. Persoalan yang lain adalah di Indonesia filsafat itu diharamkan. Sesuatu yang bisa kita jadikan harapan justru diharamkan oleh MUI dll.
Saya kira itu saja dari saya, terima kasih.


Trisno:

Terima kasih. Tepuk tangan bagi kedua pembicara. Waktunya sudah setengah sepuluh. Apakah masih mau dilanjutkan? Tapi kelihatannya sudah pada pulang. Karena bukunya rumit maka mereka keluar cepat-cepat.
            Ok, terima kasih atas kehadirannya. Sampai ketemu lagi dalam diskusi yang lain.


0 Response to "Diskusi buku “Asas Moral dalam Politik”"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel