Syaikhona Kholil Bangkalan

   ( PENCARI ILMU SEJATI )
“Ilmu tidak akan memberimu sebagian darinya, kecuali bila kamu memberikan dirimu kepadanya secara utuh”. rupanya prinsip ini sangat kental mendarah daging pada sosok kita, sang penuntut ilmu yang juga pengikut tarekat al-Qadariah wa al-Naqshibandiah, Syeikh Khalil Bangkalan.
Nama Syeikh Khalil sudah tak asing lagi bagi masyarakat madura khusunya dan penduduk Jawa pada umumnya. Dialah seorang pendiri NU dan ulama terkemuka yang dikenal memiliki waskita serta karomah bahkan cukup masyhur untuk disebut sebagai wali Allah.
Belum jelas kapan tahun kelahiran beliau, hanya saja ada suatu riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1252 H bertepatan pada tahun 1835 M. Putra dari kyai Abdul Lathif dan adik laki-laki dari Nyai Maryam dan Nyai Sa’diyah. Dilihat dari nasab, dari garis laki-laki beliau adalah keturunan Sunan Kudus dan dari garis perempuan beliau adalah keturunan sunan Gunung Jati. Dari kedua sunan tersebut, nasab beliau bersambung ke Rasulullah SAW.
Desa Martajazah, tempat pembaringan terakhir sang tokoh spiritual ini, merupakan salah satu central tujuan para pelancong yang hendak mengunjungi Madura. Konon, rupanya nama beliau cukup harum melanglang buana ke hampir seluruh pelosok negeri Indonesia. Sehingga, setiap orang yang berziarah ke makam beliau, tak segan-segan mereka untuk berdiam lama disana, memperbanyak baca al-Qur’an dan berdoa kepada Allah di atas makam beliau.
Semenjak kecil, Syeikh Khalil sudah memiliki tanda-tanda kewalian dan karomah, seakan Allah telah menganugerahkan ilmu tersendiri dalam hatinya. Meski demikian, namun semangat mencari ilmu dan seorang guru panutan tetap tertancap dalam tekad yang membara. Pengembaraan ilmu yang di seberanginya sudah melintasi banyak pesantren. Terhitung ada tiga pesantren yang telah beliau arungi di pulau Jawa, pesantren Bunga, Gresik dengan diasuh oleh Kyai Sholeh, lalu beliau pindah ke pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan di bawah asuhan Kyai Asyik. Tak lama kemudian beliau pindah lagi ke pesantren Kebon Candi, Pasuruan, dengan pengasuh Kyai Arif sambil lalu menimba ilmu pada Kyai Nur Hasan Sidogiri.
Beliau tergolong santri yang berprinsip sangat patuh pada guru dan tunduk pada ilmu. Demi mencari ilmu pada sang guru, apapun beliau lakukan. Meski harus dengan cara hidup yang memprihatinkan. Sehingga, bisa dibilang beliau tak hanya berstatus sebagai santri namun juga budak sang guru. Beliau abdikan seluruh dirinya untuk sang guru, bahkan melakukan segala pekerjaan rumah gurupun juga dikerjakannya. Dari mulai membersihkan rumah, mencuci pakaian guru, menanam di kebun dan sebagainya. Sehingga sang gurupun tak segan-segan menyuruh Syeikh Khalil dengan pekerjaan apapun yang dirasa sulit.
Seperti suatu ketika, di kala musim paceklik panjang menghampiri daerah Bangil, masyarakat sekitar sudah mulai terlunta-lunta oleh kekeringan yang kian memuncak itu. Ketika itu beliau masih nyantri di Cangaan, Bangil. Maka suatu hari, sang guru seperti sudah tau kelebihan Khalil kecil, maka beliau menyuruh Khalil untuk menggali sumur. Khalil kecil pun segera melakukan perintah gurunya. Baru mencapai kedalaman satu meter pun, tiba-tiba air sudah menyembur dengan derasnya. Bagai titisan air zam-zam yang mengalir, air itu tak habis-habisnya mengalir, hingga sampai sekarangpun, tempat air penggalian Khalil inipun masyarakat Bangil menyebutnya sebagai sumur Syeikh Khalil.
Setelah cukup dewasa, keinginannya untuk menimba ilmu di Makkah al-Mukarramah sudah tak terbendung lagi. Dengan bekal tekad dan semangat menggali ilmu serta uang saku yang tak seberapa, akhirnya beliau pun sampai ke tanah Suci.
Di tanah suci Makkah, Syeikh Khalil segera mencari guru tempat beliau menambatkan ilmunya. Di antara guru beliau adalah syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyah al-Rahbini. Di sini jualah beliau mulai menguasai ilmu Fikih dan Nahwu berikut Tarekat. Jiwa Kemandirian yang telah dimilikinya semenjak kecil tetap dipertahankan. Yang kemudian, berkat kecerdasan akal dan spiritualnya, beliau menulis kitab, Alfiah karangan Imam Ibn Malik. Salah satu kitab Nahwu yang banyak dimbil rujukan oleh para pembelajar ilmu sastra arab hingga zaman kontemporer sekarang ini. Selain itu, dengan keahlian beliau dalam bidang kaligrafi, beliau kembangkan bakatnya yang darinya mendapatkan penghasilan. Namun, setiap penghasilan berapapun yang beliau dapatkan, tak lantas diambilnya sendiri. Tapi semuanya beliau haturkan pada gurunya. Sedangkan beliau sendiri memilih untuk hidup dalam kezuhudan. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, sampai pakaiannya pun beliau jadikan sebagai kertas tempat beliau mencatat semua ilmu yang didapat. Setelah dipahami dan dihafal, kemudian pakaian tersebut beliau cuci dan dipakainya kembali. Seperti itu terus menerus yang beliau lakukan hingga kembali ke tanah kelahiran beliau, Bangkalan Madura.
Sesampainya di tanah kelahiran, meski dianggap sudah kenyang oleh ilmu, tapi ilmu laksana makanan pokok setiap harinya dan beliau tetap mencari ilmu meski harus berguru pada santrinya sendiri. Seperti mendalami ilmu Fikh kepada Kyai Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya.
Demikian sekelumit gambaran masa hidup Syaikhona Kholil, tokoh spiritual yang kaya ilmu. Sekarang Syeikh Khalil sudah tiada, kini tinggal kita sebagai generasi penerus menanggung beban guna melanjutkan langkah mulianya.

0 Response to "Syaikhona Kholil Bangkalan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel