Sejarah Singkat Gerakan Serikat Buruh Indonesia Masa Kolonial Belanda
Wednesday, July 6, 2011
Add Comment
Ini merupakan periode organisasi dini, dikarakterisasi oleh kehati- hatian, beberapa keragu-raguan dan kesabaran. Namun, setelah beberapa tahun, gerakan yang baru lahir ini menjadi sadar akan kekuatan dan kemampuan-kemampuannya; kehati-hatian dan kesabarannya digantikan oleh kenekadan dan radikalisme. Perubahan itu terutama merupakan hasil dari propaganda sosialis dan komunis, tetapi ia juga ditimbulkan oleh sikap kaku di satu pihak dari para majikan Belanda yang menjalankan seluruh perekonomian negeri itu, dan di pihak lain, dari Pemerintah Kolonial yang tidak siap untuk menghadapi suatu gerakan seperti itu.
Kerja upahan telah diberlakukan di Indonesia sekitar tahun 1870. Baru pada awal abad ke duapuluh kaum buruh Indonesia mencapai kedudukan dimana mereka dapat melahirkan suatu gerakan terorganisasi, yang bertujuan memajukan standar hidup mereka, dan, -pada umumnya, pada emansipasi kelas pekerja Indonesia yang bebas. Ini tampaknya disebabkan oleh tersebar luasnya buta-huruf dan tingkat pendidikan yang rendah di kalangan kaum buruh, kelangkaan para tukang ahli dan kaum buruh trampil lainnya, dan kekurangan para pemimpin serikat buruh yang berkemampuan. Namun, tibanya gerakan yang terlambat secara pasti juga dikarenakan sikap bermusuhan dari kebijakan kolonial ketika itu terhadap semua jenis kegiatan bersama yang mungkin dimulai oleh penduduk pribumi. Sebagai kenyataan, baru pada permulaan abad sekarang undang-undang yang melarang kebebasan untuk berhimpun dan berkumpul telah dibatalkan.
Organisasi kaum pekerja upahan pertama yang dikenal di Indonesia telah dibentuk pada tahun 1894 oleh para guru sekolah dasar dan menengah Belanda. Asosiasi para guru ini –nama Belandanya ialah Nederlandsch-Indisch Onderwijzers Genootschap, disingkat NIOG – mempertahankan sifat khusus Belandanya, dan karena itu, tidak pernah memainkan suatu peranan penting di dalam gerakan kaum buruh di Indonesia. Dengan dikeluarkannya para guru Belanda dari sekolah-sekolah publik setelah berdirinya Republik, NIOG menjadi suatu serikat para guru yang kecil di sejumlah sekolah swasta Belanda. Ia masih ada hingga sekarang. Pada tahun 1956 ia terdaftar pada Kementerian Perburuhan sebagai mempunyai 6 cabang dan suatu jumlah keanggotaan dari 320 orang.
Pada tahun 1905, pegawai Keret-api Negara mendirikan SS Bond, yang berarti: Serikat Personel Keret-api Negara. Serikat itu mencakup pengawai Belanda maupun Indonesia di antara anggotanya, tetapi para pemimpinnya kesemuanya orang Belanda. Serikat itu kuat dan terorganisasi baik; ia mempunyai suatu pandangan yang agak konservatif, sekali pun kadang kala ia terjerumus dalam kesulitan dengan pelaksana yang bahkan lebih konservastif dari Perkereta-apian Negara. SS Bond tidak pernah berkembang menjadi suatu organisasi kaum buruh yang militan, dan mengakhiri karirnya yang tidak menghebohkan pada tahun 1919 tanpa mampu mempertahankan persaingan dengan serikat kaum buruh kereta api lain yang lebih baru.
Situasinya ialah bahwa banyak pegawai kereta api memandang dengan pengabaian atau bahkan penyesalan pada SS Bond, karena keterbatasannya pada Perkereta-apian Negara dan kenyataan bahwa kebanyakan dari anggotanya terdiri dari personel lebih tinggi dan kepemimpinannya adalah sepenuhnya Belanda.
Pada tahun 1908, wakil-wakil kaum buruh yang bekerja di Perkereta- apian Negara maupun di berbagai perusahaan kereta-api dan tram yang dimiliki swasta, berkumpul di Semarang (Jawa Tengah) dan memproklamasikan kelahiran sebuah perserikatan baru, Vereeniging van Spoor- en Tramweg Personeel in Nederlandsch- Indie (VSTP). Perserikatan baru itu dibangun atas suatu landasan yang lebih luas; tidak saja karena ia terdiri dari perkereta-apian yang dimiliki oleh negara dan yang dioperasikan oleh swasta, namun juga karena ia bertekad untuk mengorganisasi semua buruh kereta-api tanpa perbedaan ras, jenis pekerjaan, kedudukan di dalam dinas Negara atau di dalam perusahaan. Tampaknya menjadi maksud para perancang organisasi itu untuk meletakkan tekanan dan pusat kekuatan lebih pada sang pelaku (operatif), pekerja tangan dan teknik daripada pada non-pelaku (non-ops), para pegawai krah putih dan yang lebih tinggi. Demikianlah, jalannya telah diratakan bagi sebuah organisasi massa yang militan.
VSTP memang menjadi sebuah serikat buruh yang militan dan agresif; teristimwa setelah tahun 1913, manakala kaum sosialis menjadi lebih unggul di dalam kepemimpinan. Sifat militan serikat buruh itu tidak muncul dari Anggaran Dasarnya (Konstitusi). Konstitusi ini yang hanya terdiri atas tujuh pasal, menyatakan dalam Pasal 2 tujuan dari VSTP sebagai: memajukan kepentingan material dan spiritual para anggotanya. Tiada apapun yang dimuat di dalam Konstitusi ini tentang azas-azas, tentang aspirasi-aspirasi politik dan sejenisnya, persoalan-persoalan yang begitu karakteristik dari serikat-serikat buruh Indonesia masa kini. Tetapi, sudah tentu, tidak mungkin bagi para pendiri VSTP untuk merancang sebuah konstitusi politik atau sosialistik, karena anggaran dasar itu mesti diajukan kepada Gubernur-Jendral untuk mendapat persetujuan.
Bahkan anggaran dasar VSTP yang ini mesti terlebih dulu dipelajari secara tuntas oleh para pembesar yang semestinya sebelum persetujuan dapat diberikan oleh Gubernur-Jendral. Pada waktu pembentukannya, Presiden dan Sekretaris VSTP adalah dua orang sosialis Belanda, yaitu C.J. Huishoff dan H.W. Dekker, sedang beberapa kedudukan lain di dalam komite eksekutif dipegang oleh orang-orang Indonesia. Setelah 1913, kaum sosialis sayap-kiri (komunis) mendominasi kepemimpinan serikat buruh itu. Komunis Belanda Sneevliet menjadi Presiden VSTP bersama Semaun, seorang revolusioner Indonesia muda, sebagai murid dan seorang tangan-kanannya.
Kemudian Semaun menjadi Presiden dan Sneevliet Sekretaris dari Serikat Buruh itu. Demikian, VSTP, yang didirikan pada 14 November, 1908, merupakan serikat buruh pertama dengan orang-orang Indonesia di dalam kepemimpinannya dan dengan kaum buruh Indonesia sebagai mayoritas keanggotaannya yang besar sekali.
Pegawai Indonesia dari dinas-dinas pemerintahan lainnya dari perusahaan-perusahaan milik-Pemerintah segera mengikuti contoh dari kaum buruh kereta api dalam mengusahakan perbaikan kondisi-kondisi kerja mereka melalui persatuan dan organisasi. Pada 1 November, 1910, para pegawai Dinas Bea Cukai mengumumkan pembentuk Bond van Ambtenaren bij de In- en Uitvoerrechten en Accijnzen in Nederlandsch-Indie, juga dirujuk sebagai Douanebond. Pada awalnya, namanya adalah Belanda dan Presidennya seorang Belanda. Tetapi kemudian serikat buruh itu mengadopsi sebuah nama Indonesia: yaitu, Perhimpunan Bumiputera Pabean. Menurut Anggaran dasarnya Douane-bond mempunyai sebagai sasarannya: perbaikan kepentingan korps pegawai Jawatan Bea Cukai (Pabean) dan kepentingan Jawatan itu sendiri; pembentukan suatu perhimpunan yang kuat di antara para anggotanya; penyebaran pengetahuan mengenai Kepabeanan di kalangan para anggota. Pada tahun 1912, para guru Indonesia dari sekolah-sekolah public segera disusul oleh Asosiasi Guru dari Sekolah-sekolah Desa, yaitu membentuk Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) Perhimpunan Guru Bantu atau PGB. Pada tahun tahun 1915, Opiumregiebond dibentuk oleh para pegawai pabrik Opium di Jakarta (ketika itu Batavia) dan dari kantor-kantor distribusi opium di seluruh negeri.
Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB), yaitu Perserikatan Pegawai Rumah Pegadaian Indonesia, telah didirikan pada tahun 1916. Dari awalnya perserikatan ini sepenuhnya dalam tangan orang Indonesia. Presiden perserikatan itu ialah R. Sosrokardono yang militan.
Juga pada tahun 1916 telah didirikan Vereeniging Inlandsch Personeel Burgelijke Openbare Werken, (VIP-BOW), Perhimpunan Pegawai Pekerjaan Umum Sipil Indonesia.
Para pegawai Pemerintah lainnya mendirikan organisasi-organisasi serupa. Jenis perkembangan ini membuktikan kepemimpinan dan panduan yang diberikan oleh para pegawai Pemerintah di dalam pendirian dan pertumbuhan asli gerakan serikat buruh Indonesia. Gejala ini tidak aneh karena di Hindia Belanda nyaris semua kaum intelektual Indonesia dipekerjakan oleh Pemerintah.
Para pegawai Pemerintah lainnya mendirikan organisasi-organisasi serupa. Jenis perkembangan ini membuktikan kepemimpinan dan panduan yang diberikan oleh para pegawai Pemerintah di dalam pendirian dan pertumbuhan asli gerakan serikat buruh Indonesia. Gejala ini tidak aneh karena di Hindia Belanda nyaris semua kaum intelektual Indonesia dipekerjakan oleh Pemerintah.
Namun segera, para pengawai perusahaan swasta, baik pekerja krah putih maupun pekerja kasar, mengikuti jejak para pegawai Pemerintah. Pada tahun 1919, para pegawai Indonesia dari pabrik-pabrik gula di wilayah Yogyakarta (Jawa Tengah) mengorganisasi diri mereka dalam Personeel Fabrieks Bond (PFB) atau Perserikatan Personel Pabrik. Di bawah kepemimpinan yang bersemangat dari R.M. Suryopranoto, PFB segera berkembang kepada pabrik-pabrik gula lainnya di Jawa. Pada waktu itu terdapat kira-kira seratus pabrik gula di Jawa.
Perserikatan-perserikatan lain, yang segera terbentuk di sektor ekonomi swasta, adalah Serikat Buruh Onderneming (SBO), yang merupakan perserikatan pertama dari para pengawai perkebunan, yang didirikan pada tahun 1924, Serikat Sekerdja Pelabuhan dan Pelajaran (perserikatan buruh pelabuhan dan pelaut), didirikan pada tahun 1924 yang segera menjadi Serikat Buruh Pelabuhan dan Laut; dan selanjutnya, serikat-serikat buruh pertambangan, buruh metal, percetakan, buruh listrik, pegawai dalam industri-minyak, sopir, buruh penjahit dan busana, dsb. Menjelang tahun 1920 sudah terdapat kira-kira seratus serikat buruh dengan jumlah keanggotaan hampir 100.000 buruh. Serikat buruh terbesar, yang paling penting dan paling militan adalah dan tetap VSTP yang, di bawah kepemimpinan Semaun, terus-menerus terlibat di dalam agitasi sosialis dan dalam membela hak-hak dan memajukan kondisi-kondisi kaum buruh kereta-api.
Pengaruh gagasan-gagasan sosialis pada VSTP sudah terbukti dini sekali karena para pendiri dan pemimpin serikat buruh itu selalu sosialis dan komunis (Dekker, Sneevliet, Semaun dan lain-lainnya). Pada tahun 1914, kaum sosialis yang memimpin VSTP, bersama dengan kaum kiri lainnya seperti A.Baars, P. Bergsma, R. Darsono, Brandsteder dan juga sejumlah kaum sosialis modern, seperti P.F. Dahler, mendirikan partai sosialis pertama di Indonesia, Indisch Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV). Sejak awal, kaum sosialis atau komunis sayap-kiri dalam ISDV unggul di dalam partai itu. Demikianlah, dengan Partai ini sebagai Staf atau Barisan Depan, dan VSTP sebagai organisasi massa atau tentara besar, sosialisme dan komunisme revolusioner sudah dipropagandakan di Indonesia sebelum atau pada awal Perang Dunia Pertama.
Pada tahun 1917, kaum sosialis moderat mengundurkan diri dari ISDV dan mendirikan Indisch Sociaal- Democratische Partij (ISDP). ISDV kini menjadi monopoli kaum sayap-kiri. Semaun cum sui segera setuju menamakan diri mereka sendiri secara resmi komunis. Demikianlah, pada 23 Mei, 1920, nama ISDV ditransformasi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), seksi dari Communist International (Comintern), dengan Semaun sebagai Presiden. Pemimpin-pemimpin PKI lainnya adalah Tan Malaka, Alimin, R. Darsono, Musso, Ali Archam, Dengah dan Soegono. Baik di bidang politik maupun dalam gerakan serikat buruh kekuasaan kaum sosialis revolusioner dan kaum komunis ditantang oleh sebuah partai politik lain, yaitu Sarekat Islam (SI) atau Asosiasi Islam.
Di dalam SI, suatu perpaduan ajaran-ajaran Islam, nasionalisme dan ide-ide sosialis merupakan azas-azas dasarnya. Para pimpinan tertinggi dan mayoritas keanggotaannya menentang komunisme. SI, yang didirikan pada tahun 1911, segera berkembang menjadi suatu gerakan politik kerakyatan. Di dalam beberapa tahun keanggotaan SI berjumlah lebih dari satusetengah juta orang, tersebar di kepulauan Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Para pemimpin tertinggi SI adalah H.O.S. Tjokroaminoto, Abdul Muis, H.A. Salim, R. Sosrokardono dan lain-lainnya. Semaun, yang kemudian menjadi pemimpin ISDV dan Partai Komunis, pada mulanya juga berafiliasi dengan Sarekat Islam. Ia mempunyai banyak sekali pengikut dalam pangsa-pangsa SI tertentu, menjadi ketua dari cabang SI Semarang, dan kemudian berhasil mengubah kelompok-kelompok penting dari SI ke dalam komunisme.
Dalam gerakan serikat buruh, SI berhasil dalam mendapatkan kepercayaan Personeels Fabrieks Bond (PFB), Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) dan sejumlah perserikatan lainnya dari para pegawai Pemerintah. Para pemimpin sosialis (komunis) dan Serikat Islam segera mengakui pentingnya bersatunya gerakan serikat buruh menjadi satu federasi tunggal. Usaha pertama untuk membentuk sebuah federasi serikat- serikat buruh dilakukan oleh ISDV pada tahun 1916. Platformnya ialah: perjuangan terhadap kaum kapitalis dengan pemogokan sebagai alat utama. Usaha ini tidak membawa hasil. Dalam tahun yang sama, Semaun, sebagai Presiden VSTP, mengirim sebuah pesan kepada semua serikat buruh yang di dalamnya ia mengajukan saranan untuk menjadikan VSTP perwakilan dari semua serikat buruh. Usaha kedua ini juga, tidak berhasil. Pada tahun 1918, VSTP mengorganisasi sebuah konferensi serikat-serikat buruh. Hasilnya ialah terbentuknya sebuah komite sentral yang bertindak atas nama serikat-serikat buruh yang diwakili dalam konferensi itu. Namun, sebuah konferensi kedua, yang kemudian berkumpul pada tahun yang sama, hanya dihadiri oleh VSTP dan PPPB (pegawai pegadaian).
Lebih berhasil adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh Suryopranoto dan Sosrokardono, dua pemimpin serikat buruh yang tersebut di muka dalam Bab ini, yang juga anggota-anggota yang setia dari Sarekat Islam. Setelah delapan bulan persiapan, kedua pemimpin ini menyelenggarakan sebuah konferensi serikat-serikat buruh dalam bulan Desember 1919. Sarekat Islam dan ISDV juga mengirim delegasi-delegasi ke rapat yang dihadiri oleh para wakil hampir semua serikat buruh yang ada. Demikianlah, federasi pertama didirikan; nama yang disetujui ialah Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) atau Federasi Serikat-serikat Buruh.
Pada bulan Agustus 1920, federasi yang baru lahir itu mengadakan Kongresnya yang Pertama di Semarang, pusat dari gerakan komunis. Selama seluruh konvensi itu kaum komunis dan orang-orang Sarekat Islam terus-menerus berselisih mengenai azas-azas dasar. Kongres itu memilih sebuah komite eksekutif terdiri atas tujuh anggota. Semaun dipilih sebagai Presiden, Suryopranoto dan H.A. Salim sebagai Wakil-Presiden dan Sekretaris. Namun, markas besar Federasi itu mesti dipindahkan dari Semarang yang didominasi-komunis ke Yogyakarta yang nasionalistik. Sementara itu, melalui Semaun dan VSTP, kaum komunis dapat mengerahkan pengaruh yang semakin besar di dalam Federasi itu.
Selama Kongres Kedua pada bulan Juni 1921, perbedaan pendapat di antrara kaum komunis dan unsur-unsur Sarekat Islam di dalam Federasi itu tidak dapat diredahkan. Sebaliknya, ia berkembang menjadi suatu perpecahan lengkap. Semaun dan para pengikutnya mundur dari komite eksekutif itu dan, sambil menangguhkan konvensi, memproklamasikan pendirian sebuah pusat baru, yang disebut Revolutionary Trade Union Central (Pusat Serikat Buruh Revolusioner). Empatbelas serikat buruh, yaitu VSTP dan bagian besar serikat buruh dalam perusahaan-perusahaan swasta, bergabung pada organisasi baru itu, sedangkan Personeels Pabrieks Bond, para pegawai rumah pegadaian (PPPB), sejumlah serikat buruh guru, pegawai pekerjaan umum (VIP-BOW), dan bagian besar serikat buruh pegawai Pemerintah lainnya tetap setia pada Federasi lama itu.
Pada bulan September 1922, dua gerakan serikat buruh itu lebur kembali, terutama melalui usaha Semaun sendiri. Nama gerakan yang dipersatukan itu ialah Persatuan Vakbonden Hindia, disingkat PVH. Nama itu berarti: Federasi Serikat-serikat Buruh Indonesia. Semaun dan para pengikutnya kembali berhasil dalam memperleh pengaruh yang besar di dalam Federasi baru itu.
Dengan berakhirnya Perang Dunia Pertama gerakan serikat-serikat buruh Indonesia ditantang oleh suatu keadaan ekonomi yang kontroversial. Seperti diketahui, Indonesia, seperti Holland di Eropa, tidak secara langsung terlibat di dalam perang itu. Periode segera setelah perang itu ditandai oleh suatu permintaan yang luarbiasa besarnya dari negeri-negeri Eropa akan bahan-bahan yang diproduksi oleh Indonesia. Demikianlah, para pemilik perkebunan, para produsen gula, pengusaha pertambangan, para eksportir, dan pengusaha-pengusaha Belanda lainnya mempunyai masa yang menguntungkan. Sementara itu, barang-barang konsumsi seperti tekstil, bahan makanan tertentu, kimia, barang mewah, dan juga bahan-bahan bangunan, peralatan, dan komoditi lainnya, yang diperlukan oleh penduduk, yang mesti diimpor dari Holland dan negeri-negeri lain, meningkat dalam harga. Para orang Indonesia yang penghasilannya berupa upah, yang dibayar di bawah harga, bangkit memprotes. Kegoncangan buruh menyusul. Pemogokan dan ancaman pemogokan menandai tahun-tahun dari 1920 hingga 1923.
Pemogokan besar pertama terjadi pada tahun 1920 di dalam industri gula yang aksinya ditindas sejak paling awal oleh Pemerintah. Pada bulan Maret 1920, Personeels Pabrieks Bond mengajukan tuntutan-tuntutan bagi suatu kenaikan upah yang berarti kepada Sindikat Gula, organisasi para produsen gula. Para majikan/pengusaha, sambil meraup keuntungan-keuntungan yang luar biasa besarnya, menolak memenuhi tuntutan-tuntutan itu.
Pada bulan Agustus 1920 PFB mengumumkan bahwa mereka siap melancarkan pemogokan di semua perkebunan tebu dan pabrik gula. Para pengusaha (Belanda) meminta bantuan Pemerintah berdasarkan motif-motif politik, yang tujuan akhirnya ialah penumbangan Pemerintah Hindia Belanda! Sementara itu, sepenuhnya bertentangan dengan penalaran yang dinyatakan oleh perintah itu, Pemerintah menasehati para pengusaha/majikan agar melakukan sesuatu untuk meringankan kesukaran-kesukaran para buruh gula. Demikian aksi-pemogokan merupakan satu kegagalan, dan konsesi-konsesi yang diberikan oleh para produsen gula menjadi tidak berarti.
Sektor-sektor lain dari industri kaum buruh juga menuntut upah yang lebih tinggi. Di mana para pengusaha tidak menjawab secara memuaskan, serikat-serikat buruh mengancam akan melakukan pemogokan. Dalam banyak kejadian, pemogokan-pemogokan telah terjadi. Misalnya, pada bulan Agustus 1921 pekerjaan di pelabuhan besar Surabaya (Jawa Timur) dilumpuhkan, dengan demikian menimbulkan kerusakan besar pada industri-industri milik-Belanda di bagian penting negeri. Suatu konflik besar lainnya terjadi pada bulan Januari 1922 di rumah-rumah pegadaian Pemerintah, sekali pun pemogokan ini tidak secara langsung berkaitan dengan tuntutan-tuntutan upah. Aksi perserikatan para pegawai rumah-rumah pegadaian merupakan akibat sikap congkak seorang Belanda pelaksana sebuah rumah pegadaian terhadap pegawai Indonesia. Lebih dari seribu pegawai melakukan aksi walk out sebagai protes. Pemerintah menjawab dengan memecat semua pemogok. VSTP dan Pusat Merah mengorganisasi suatu kampanye untuk mendukung para pemogok secara finansial. Tetapi Pemerintah bertekad untuk menghancurkan seluruh aksi itu. Kedua pemimpin komunis, Tan Malaka dan P. Bergsma, yang aktif dalam mendukung para pemogok, ditangkap dan dibuang dari negeri itu. Demikianlah, pemogokan para pegawai rumah pegadaian hancur.
Pada tahun 1923 kegoncangan perburuhan baru dan yang meluas mengganggu negeri. Sebabnya adalah sebuah keputusan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk memotong gajih para pegawai sivil dan dari pegawai perusahaan-perusahaan milik-Pemerintah. Tahun 1922 telah menjadi awal dari suatu periode depresi ekonomi, dan Pemerintah telah berusaha menghadapi krisis ini dengan, antara lain, memangkas pengeluaran-pengeluarannya.
Berbagai perserikatan pegawai Pemerintah digelisahkan oleh maksud-maksud Pemerintah. Rapat-rapat anggota dan konferensi- konferensi antar-perserikatan diselenggarakan untuk mendiskusikan persoalan itu. Banyak pemimpin perserikatan menganjurkan penggunaan senjata mogok.
Selama Kongres Persatuan Vakbonden Hindia (Federasi itu) pada bulan Desember 1922 kemungkinan akan suatu pemogokan umum telah menjadi topik utama. Semangat melambung-lambung tinggi.
Pada bulan Januari 1923, VSTP mengirimkan sebuah sirkuler kepada semua perserikatan di mana mereka didesak untuk menjawab tindakan-tindakan Pemerintah dengan satu pemogokan umum. Namun, reaksi serikat-serikat buruh terlalu lamban bagi Semaun. Demiukianlah ia memutuskan untuk bertindak atas kewenangan dirinya sendiri, dengan bersandar pada kekuatan serikat buruh kereta api. Ia mengeluarkan sebuah peringatan kepada manajemen perusahaan kereta-api agar mereka jangan bermain dengan api. Pada bulan April, Semaun meminta diadakannya suatu konferensi dengan manajemen Kerta Api Negara. Pada pertemuan itu Semaun memberikan penjelasan mengenai keberatan-keberatan VSTP dan dari serikat-serikat buruh lainnya terhadap tindakan-tindakan yang diumumkan itu. Namun, manajemen Kereta Api Negara tidak menemukan alasan untuk memenuhi harapan atau keluhan perserikatan-perserikatan itu. Dalam kenyataan, Pemerintah berketetapan untuk mengakhiri kegiatan-kegiatan perserikatan-perserikatan itu dan, untuk maksud itu, memancing suatu bentrokan. Bahkan suatu saran dari Semaun yang menyerukan disusunnya suatu prosedur keluhan dengan suatu sistem arbitrase tidak dapat diterima oleh Direktur Kereta Api Negara.
Semaun cum sui tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyerahkan kasus itu kepada para anggota biasa yang berarti bahwa suatu pemogokan sedang mendekat. Dalam sebuah rapat VSTP pada 6 Mei 1923, Semaun menyarankan bahwa pemogokan itu mesti dimulai segera setelah salah seorang dari para pemimpin VSTP ditangkap oleh polisi, suatu aksi dari pihak Pemerintah yang telah diantisipasikan perserikatan. Pemerintah tampaknya mengetahui tentang rencana-rencana ini. Dua hari kemudian Semaun sendiri ditangkap. Seketika komite eksekutif VSTP mulai beraksi dan mengumumkan pemogokan itu. Beribu pegawai dari Kereta Api Negara dan semua perusahaan kereta api lainnya di Jawa tidak masuk bekerja, melumpuhkan seluruh sistem transportasi. Namun Pemerintah melakukan tindakan-tindakan drastik. Para pemimpin pemogokan segera ditangkap dan para pemogok sendiri diancam dengan pemecatan. Selanjutnya, perserikatan dilarang mengadakan rapat-rapat. Tambahan pula, setiap propaganda yang berpihak pada pemogokan dinyatakan sebagai suatu tindakan kriminal.Tindakan-tindakan lain telah diambil untuk mencegah berkembangnya pemogokan itu ke jawatan-jawatan dan perusahaan-perusahaan lain, seperti pembatasan-pembatasan hak untuk mengadakan rapat-rapat di daerah-daerah tertentu yang tidak hanya berlaku pada kaum buruh kereta api. Akibatnya tindakan-tindakan drastik ini ialah bahwa pemogokan itu hancur di dalam satu bulan.
Semaun sendiri, tanpa diadili, diberitahu bahwa ia mempunyai pilihan untuk dibuang ke sebuah kamp konsentrasi di sesuatu pulau yang jauh, atau seketika meninggalkan negeri. Demikian, Semaun meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Eropa. Ia bermukim di Holland untuk beberapa waktu lamanya, namun kemudian pergi ke Moskow. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah sehubungan dengan kebebasan berbicara dan hak untuk berkumpul dihadapi oleh kaum komunis dan rakyat pada umumnya dengan kekesalan yang semakin besar, segera berakibat kegiatan-kegiatan permusuhan. Partai Komunis, berkumpul dalam kongres pada bulan Desember 1924, menyusun sebuah rencana untuk konsolidasi dan memperkuat pengaruh-pengaruh komunis dalam serikat-serikat buru melalui pendirian inti dan sel-sel partai. Akibatnya ialah serangkaian pemogokan lokal di perusahaan-perusahaan vital sepanjang seluruh tahun 1925, dan agitasi terus-menerus di kalangan kaum buruh dan petani pada umumnya. Penciptaan sebuah sekretariat Serikat-serikat Buruh Merah Indonesisa, anggota Profintern di Moskow, dan disusun sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang disetujui pada konferensi Profintern di Kanton, Tiongkok, pada bulan Juni 1924. mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan kaum komunis Indonesia dengan gerakan revolusioner internasional.
Pemerintah Hindia Belanda siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Kegiatan-kegiatan serikat-serikat buruh itu dikenakan pembatasan-pembatasan ketat. Demikianlah PVH yang non- komunis secara sepenuhnya dilumpuhkan.
Pada tahun 1926 keadaan sampai pada suatu bentrokan. Di seluruh Jawa dan di Sumatera Tengah Pemerintah secara tiba-tiba digelisahkan oleh tanda-tanda suatu perlawanan bersenjata. Pada bulan November 1926, sejumlah gerombolan orang Indonesia yang bersenjata menyerang bangunan-bangunan Pemerintahan, barak- barak militer dan pos-pos polisi di berbagai bagian Jawa, teristimewa di Jawa Barat; mereka membongkar jalanan kereta api, merusak jembatan-jembatan, memotong kawat telefon dan telegraf, membunuh pegawai sivil, Belanda maupun Indonesia, dan melakukan tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Pada bulan Januari tahun berikutnya gangguan-gangguan serupa terjadi di Sumatera Tengah. Pemerintah Belanda menghadapi situasi itu dengan menggunakan kesatuan-kesatuan besar Tentara Kolonial. Ratusan orang Indonesia telah terbunuh dalam aksi itu; beribu ditangkap dan dipenjara. Mereka yang dapat diadili dijatuhi hukuman dan digantung atau diberi hukuman-hukuman berat lainnya. Tetapi untuk bagian terbesar orang yang ditangkap tiada terdapat cukup bukti untuk diadili. Setelah setahun atau lebih banyak dari mereka dilepaskan, namun kira-kira seribu orang, lagi-lagi tanpa bukti, dibuang ke New Guinea dan dilempar ke dalam kamp konsentrasi yang terkenal buruk di Boven Digul di suau daerah rawa-rawa pulau yang sangat tidak bersahabat.
Pemerintah merujuk pada pemberontakan itu sebagai dipimpin atau diilhami oleh kaum komunis. Namun, dari ribuan yang dipenjarakan atau dibuang ke Boven Digul hanya satu bagian saja adalah orang-orang komunis. Banyak dari mereka adalah anggota organisasi-organisasi biasa atau orang-orang yang sepenuhnya tidak terlibat atau tidak terikat.
Untuk mencegah gangguan-gangguan serupa di masa depan, Pemerintah menyatakan dilarangnya Partai Komunis Indonesia dan semua organisasi lainnya yang dipengaruhi-komunis. Ini berarti bahwa tidak hanya Partai Komunis yang dilarang, melainkan juga serikat-serikat buruh dan organisasi-organisasi lain yang di dalam metode-kerja dan propaganda menggunakan azas-azas seperti komunis atau semurninya sosialis. Akhirnya, pembatasan- pembatasan yang dipaksakan atas hak berkumpul, berhimpun, atas kebebasan pers dan kebebasan berbicara, menjadikan sulitnya atau nyaris mustahilnya setiap aktivitas revolusioner.
Sekali pun ini mula-mula merupakan suatu periode kemunduran dan kesulitan-kesulitan, ia kemudian disusul dengan kemajuan berangsur dalam pengorganisasian. Banyak serikat buruh yakin bahwa, untuk bertahan hidup, mereka mesti menyesuaikan diri mereka dengan keadaan. Mereka mesti menahan diri dari metode- metode dan aksi-aksi yang dapat mengingatkan para pembesar kolonial pada peristiwa-peristiwa sebelum tahun 1927.
Pada bulan Juli 1927, sejumlah pegawa kereta api membentuk sebuah perserikatan baru, Perhimpunan Beambte Spoor dan Tram (PBST), Perserikatan Pegawai Kereta Api dan Tram. Organisasi baru ini cukup berhasil. Ia mencapai jumlah anggota yang melebihi lima ribu orang di dalam beberapa bulan.
Secara khusus menarik adalah karya Dr. R. Sutomo di Surabaya, Jawa Timur. Nasionalis terkemuka ini, seorang humanis dan pekerja sosial, di samping kegiatan-kegiatannya dalam gerakan politik nasionalis, juga terlibat dalam mengorganisasi berbagai kelompok buruh industri, pegawai dalam perusahaan-perusahaan perdagangan dan pegawai sivil dari Pangkalan Angkatan Laut (Naval Establishment) menjadi serikat-serikat buruh sejati.
Berbagai perserikatan para pegawai Pemerintah yang telah didirikan sebelum tahun 1927, dan telah menderita di bawah tindakan-tindakan Pemerintah sebelum dan setelah pemberontakan 1926-1927 beransgur-angsur pulih dan mendapatkan kembali kekuatan dan prestise mereka. Misalnya, pada tahun 1927 berbagai perserikatan para guru bersatu dalam sebuah federasi.
Sekali pun perserikatan-perserikatan itu kini membatasi diri mereka pada promosi kondisi-kondisi kerja, partai-partai politik tidak berhenti mengerahkan pengaruh mereka atas perserikatan- perserikatan itu. Kali ini itu merupakan suatu pertandingan di antara Sarekat Islam dan kaum nasionalis yang terorganisasi dalam sebuah partai politik baru, Partai Nasional Indonesia (PNI), yang didirikan dan dipimpin oleh Dr. Soekarno (yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia).
Di samping dua kelompok politik ini terdapat satu faktor politik ketiga, yaitu kaum komunis yang telah lolos dari razia menyusul pemberontakan 1926/1927 dan kini aktif dalam suatu gerakan bawah tanah (PKI ilegal, sebagaimana itu diungkapkan setelah Perang) atau dalam berbagai organisasi dengan label-label nasionalis. Dari waktu ke waktu Pemerintah Kolonial menggerebek organisasi-organisasi tertentu, menangkap orang-orang yang dicurigai sebagai orang komunis, dan mengirim mereka ke Boven Digul di New Guinea. Misalnya, Politieke Inlichtingendienst (PID), yaitu badan intelijens politik Pemerintah Kolonial, telah untuk sekian lamanya curiga terhadap kegiatan-kegiatan Sarekat Kaum Buruh Indonesia (SKBI), yang didirikan pada bulan Juli 1928 di Surabaya sebagai sebuah federasi serikat-serikat buruh lokal. Organisasi itu menggunakan slogan-slogan nasionalistik dan melakukan propaganda nasionalistik. Namun, PID menerima laporan-laporan bahwa SKBI dalam kenyataan didirikan oleh kaum komunis dan bahwa ia mempertahankan hubungan-hubungan dengan Moskow. Organisasi itu segera berkembang ke daerah- daerah lain. Di Medan, Sumatera, sebua cabang dari SKBI didirikan dan dipimpin oleh Iwa Kusuma Sumantri, seorang pengacara yang baru saja kembali dari studinya di Holland. Pemerintah mengetahui bahwa, Iwa Kusuma Sumantri adalah seorang kiri dan bahwa ia juga telah belajar pada Eastern University di Moskow. Demikian, pada tahun 1928 Pemerintah menggerebek markas besar dan cabang-cabang lokal dari organisasi itu dan menangkap para pemimpinnya. Iwa Kusuma Sumantri dan sejumlah orang lain seketika dikirim/dibuang ke Boven Digul atau kamp-kamp konsentrasi lain, lagi-lagi tanpa diadili.
Pada bulan April 1930, sejumlah perserikatan pegawai Pemerintah memutuskan untuk bekerja sama dalam sebuah federasi. Hasilnya ialah pembentukan Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri atau Federasi Perserikatan Pegawai Negeri, disingkat PSPN. Presidennya adalah R.P. Soeroso. Namun, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputera (PPBB), perhimpunan para Pegawai Sivil yang tersohor, tetap berada di luar federasi ini.
Bulan berikutnya, perserikatan kaum buruh dalam perusahaan- perusahaan swasta di Jawa Timur bersambut pada seruan Dr. Sutomo dari Surabaya untuk berorganisasi dalam sebuah federasi perserikatan pegawai dalam sektor industri swasta. Persatuan Sarekat Sekerdja Indonesia (PSSI) telah dibentuk. Setelah huruhara tahun 1926/1927, tiada yang terdengar lagi mengenai Persatuan Vakbonden Hindia (PVH), Federasi yang didirikan pada bulan September 1922. Karenanya, kedua federasi baru itu, PVPN dan PSSI, kini mengambil alih kepemimpinan gerakan serikat buruh dari tahun-tahun 1930-an.
Pada umumnya, periode ini merupakan suatu periode kegiatan yang tenang dan kemajuan yang stabil. Sikap Pemerintah Hindia Belanda terhadap trade unionisme (perserikatburuhan) adalah suatu sikap kewaspadaan dan bahkan permusuhan. Polisi, selalu siap sedia, dari waktu ke waktu melakukan penggerebekan- penggerebekan. Orang-orang yang dicurigai sebagai komunis atau orang revolusioner pada umumnya, ditangkap dan dibuang ke Boven Digul, tanpa diadili.
PVPN membatasi kegiatan-kegiatannya di dalam batas-batas trade unionisme semurninya dan menahan diri dari politik. Dalam kenyataan, federasi itu tidak menginginkan tujuan-tujuan politik. Pada bulan Juni 1931, PVPN bergabung pada International Federation of Trade Unions. PSSI, federasi serikat-serikat buruh dalam perusahaan-perusahaan swasta, juga terorganisasi dengan baik. Tetapi ia hanya merupakan sebuah organisasi kecil karena mayoritas kaum buruh tetap tidak terorganisasi, dan hanya satu bagian dari serikat-serikat buruh yang ada berafiliasi dengan federasi itu. Seperti itu situasi saat Jepang menyerbu negeri itu dalam bulan Februari 1942.
Sumber : “Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia”, Iskandar Tedjakusuma, Seri Monograf Modern Indonersia Project Southeast Asia Program Department of Far Eastern Studies Cornell University Ithaca, New York 1958.
0 Response to "Sejarah Singkat Gerakan Serikat Buruh Indonesia Masa Kolonial Belanda"
Post a Comment